Agresi militer gabungan AS dan sekutunya, sampai tulisan ini dibuat sudah berlangsung lebih dari seminggu. Sudah banyak korban berjatuhan. Meski begitu, institusi-institusi formal, baik regional maupun internasional, seperti Liga Arab, tak mampu berbuat satu apa, bahkan dianggap telah “wafat”. OKI tak berdaya; gerakan Non Blok juga tak banyak membantu. Ini mungkin dapat dimaklumi, sebab institusi perdamaian dunia seperti PBB saja tak mampu mencegah ambisi Bush apatah lagi yang beberapa derajat berada di bawahnya. Kini, PBB juga pantas dipertimbangkan relevansinya, dan mungkin dalam tingkat yang lebih ekstrim, patut diberi “sertifikat kematian” juga.
Institusi-institusi formal dunia yang melambangkan pola hidup beradab dan berhukum di dunia, memang nyaris tak relevan lagi, tapi apa yang mampu menghentikan Bush? Jawabnya mungkin jalur tak resmi: dengan unjuk rasa naluri kemanusiaan. Barangkali agak naif mengandalkan nilai-nilai kemanusiaan di tengah menggelegaknya nafsu barbarian. Bukankah dunia hanya bisa mengurut dada? Hanya saja, bila mereka mampu mengkooptasi PBB, dapatkah mereka membungkam naluri kemanusiaan di mana-mana?
Naluri kemanusiaan masih hidup. Dia belum meninggal dan tak akan pernah mati. Demikian Syekh Yusuf Al-Qardlawi mengomentari tingginya gelombang protes dunia atas aksi unilateral AS atas Irak (http://www.qaradawi.net). Al-Qardlawi mungkin tepat adanya. Unjuk rasa kemanusiaan yang masih kita saksikan di banyak tempat sampai kini, nampaknya tak mudah berhenti, bahkan potensial terus meningkat. Saat ini, kita menyaksikan lonjakan naluri kemanusiaan yang tak mengenal ras, suku, bangsa dan agama. Dia bersifat universal, tak mengenal batas identitas korban kemanusiaan.
Meski terlampau jauh, agaknya inilah yang mengingatkan kita pada “humanisme” ala Nabi ketika dia berkata, alaisat nafsan (bukankah dia juga sebuah jiwa?). Ketika itu, naluri kemanusiaan Nabi coba dieksklusi beberapa sahabat yang kurang menghormati jenazah seorang Yahudi yang sedang menuju pemakaman. Mungkin banyak yang tak sepakat kita menamakan ujaran Nabi itu sebagai humanisme, kemanusiaan dalam makna filosofis zaman kini. Beberapa orang mungkin menyebut “itulkah Islam!”. Itu tak apa. Bagi kita, tak masalah dia berasal dari agama mana. Naluri kemanusiaan yang kini kita saksikan, menunjukkan kalau dia lebih universal dari sekedar agama.
Oleh sebab itu, sangat bijak rasanya kalau naluri kemanusiaan itu kini tetap dipelihara, dikembangkan bahkan ditingkatkan menjadi oposisi kemanusiaan atas perang yang tak pernah adil. Itu bisa dilakukan dan sedang dilakukan, melalui aliansi-aliansi protes lintasras, lintasbangsa dan lintasagama. Nah, apakah masih tersisa alasan bagi kelompok-kelompok tertentu untuk mengeksklusi solidaritas kemanusiaan yang tengah ranum ini dengan sentimen-sentimen tertentu yang lebih sempit, sekalipun dalam bentuk agama? Adakah tindak-tindak manipulasi atas isu Irak demi tendensi sektarian masih bisa dibenarkan? Fa‘tabirû yâ ulil albâb, pertimbangkanlah wahai orang-orang yang bernalar! Demikian Alqur’an mengajak belajar dari kealfaan-kealfaan yang tak perlu. Wallâh Alîm!
[Novriantoni]
No comments:
Post a Comment