Pembaca buku-buku keislaman di Indonesia perlu berbahagia dalam memperingati maulid Nabi Muhammad beberapa hari yang lewat. Tahun ini, ada “kado istimewa” yang patut disambut khalayak pembaca Islam. Buku memikat tentang peri kehidupan Nabi, Muhammad: Nabi dan Negarawan, karya W. Montgomery Watt, baru saja terbit dalam bahasa Indonesia.
Buku ini merupakan ringkasan dari dua buku Watt sebelumnya, yaitu Muhammad at Mecca (1953) dan Muhammad at Medina (1956). Buku yang aslinya berjudul Muhammad: Prophet and Stateman (1961) itu, diterjemahkan dengan cukup baik oleh salah seorang intelektual Indonesia, Djohan Effendi.
Penulisnya memang seorang orientalis yang sering dijuluki the last orientalist. Tapi nada umum uraiannya tentang sejarah Nabi bernada sangat simpatik. Maklum saja, Watt memang mengabdikan hampir seluruh karir akademiknya untuk menjembatani dialog Islam dengan Kristen, bahkan Islam dengan dunia Barat.
Buku ini ikut menambah koleksi buku terjemahan tentang sejarah Nabi yang ditulis oleh sarjana Barat, disamping buku Karen Armstrong yang telah terbit beberapa tahun sebelumnya, Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis. Bedanya, Armstong tampak ingin lebih menyelami pergulatan batin Nabi—dan karena itu dia juga memasukkan legenda-legenda yang dalam timbangan sejarah agak meragukan—sementara Watt lebih ketat menapis mana yang fakta dan mana yang legenda. Kalau pun sebuah legenda ia muat, dia segera memberi catatan. Karenanya, buku Watt terkesan ”lebih kering” dibanding buku Armstrong.
Namun janganlah kuatir, sebab keseluruhan isi buku Watt juga sedang berkisah. Lewat buku ini, kita tanpa sadar sedang dibawa Watt untuk mengarungi situasi di zaman Nabi dengan segenap persoalannya. Kita diajak menyelami kepribadian Nabi; watak dan perawakannya, kegundahan dan pengendaliannya, diplomasi dan kebijakannya, kedudukan dan kepemimpinannya. Pendeknya, buku ini memberi banyak pencerahan.
Jika memakai kategori intelektual Maroko, M. Abied al-Jabiri tentang pentingnya mempertimbangkan unsur Aqîdah (ideologi), Qabîlah (solidaritas sosial), dan Ghanîmah (insentif ekonomi), sebagai kerangka penulisan sejarah Islam, maka Watt tampaknya sudah menerapkan itu secara cerdas dan berhasil.
Faktor Aqîdah dapat ditelusuri dari pergulatan batin Nabi dan kehadiran wahyu yang menyertai perjalannya dalam memperjuangkan Islam. Faktor Qabilah tampak jelas dari uraian Watt yang sangat memikat tentang konstelasi kesukuan dan puak-puak di Mekah maupun Madinah zaman Nabi.
Sementara faktor Ghanîmah tampak dari beberapa penjelasan Watt soal insentif ekonomi yang diharapkan sebagian penganut Islam belakangan jika menganut Islam dan berpihak kepada masyarakat baru yang sedang dibentuk Nabi dengan penuh resiko dan rintangan.
Setelah menguraikan peri kehidupan Nabi secara apik dan dengan kronologi peristiwa yang teratur, Watt menyimpulkan, ”Ketiga Muhammad wafat, negara yang didirikannya sudah seperti perusahaan yang sedang jalan dan mampu menahan kejutan kepergiannya. Dan begitu sembuh dari keterkejutan itu, ia meluas dengan kecepatan yang luar biasa (hal. 327).
Untuk mengantisipasi agar bukunya tak dijadikan bahan taklid buta oleh sebagian kaum Muslimin, Watt juga berpesan dengan sebuah tanda tanya: ”Mampukah (Muslim masa kini) menyaring segi-segi yang universal dari segi-segi yang partikular dalam kehidupan Muhammad, dan dengan demikian membuka prinsip-prinsip moral yang dapat memberi sumbangan kreatif terhadap situasi dunia saat ini?” (hal. 324).
Ya, mungkin itulah yang dibutuhkan umat Islam masa kini. Inti agenda kita adalah: bagaimana menjadikan Nabi sebagai teladan, terutama pada aspek-aspek yang universal dan eternal dari ajarannya yang agung, sembari menafsir ulang aspek-aspek yang partikular dan situasional di masanya. Itulah pergulatan banyak ulama sejak dari dulu, sehingga Islam layak menjadi rahmat bagi semesta alam dan relevan untuk semua tempat dan semua zaman.[Novriantoni]
No comments:
Post a Comment