Pekan ini (21/12), Jaringan Islam Liberal menggelar diskusi tentang Islam dan Orientalisme. Diskusi ini penting diadakan untuk meninjau, mengkritik, serta mengapresiasi kembali kajian-kajian orientalisme yang kaya itu, terutama dalam bidang doktrin dan peradaban Islam. Rasanya, sayang betul bila hasil kajian yang bersungguh-sungguh dan mendalam tentang Islam itu dibuang begitu saja, hanya karena kita sudah terjebak dalam pandangan yang pejoratif dan simplistik tentang orientalisme.
Terasa lebih sayang lagi bila kita mengabaikan kajian-kajian orang di luar kita hanya karena alasan-alasan ideologis dan psikologis, bukan karena alasan ilmiah. Penolakan ideologis atas orientalisme sampai kini sangat dipengaruhi oleh kritik-kritik intelektual semacam Anwar Abdul Malik (1963), Hisyam Jaid (1978), Edward Said (1978), dan Hassan Hanafi (1981) tentang keterkaitan orientalisme dengan proyek kolonialisme. Kritik semacam ini, kini sudah sepantasnya ditinjau ulang secara kritis.
Sementara penolakan yang bersifat psikologis datang dari kalangan agamawan dalam wujud buku-buku apologis seperti al-Islam wal Mustasyriqun (Islam dan Kaum Orientalis) karangan Mushtafa Sibai, al-Istisyraq wal Mustasyriqun (Orientalisme dan Kaum Orientalis) karangan Abdul Jalil Syalabi, al-Fikrul Islami wa Shillatuhu bil Isti`maril Gharbi (Pemikiran Islam dan Hubungannya dengan Penjajahan Barat) karangan Muhammad al-Bahi.
Mereka-mereka yang disebut belakangan ini mengeritik orientalisme bukan karena tesis-tesis para orientalis itu tidak lebih akurat dibandingkan antitesis mereka, tapi tak jarang justru karena mereka memang sedari awal tidak ingin mendengar pendekatan kritis dan ilmiah apapun terhadap agama. Terlebih bila kritik itu datang dari luar Islam. Padahal, faktanya tak jarang pengkajian ilmiah atas Islam yang dilakukan oleh kalangan orientalis jauh lebih bersungguh-sungguh dan bermutu dibandingkan kajian mereka yang hanya bersikap reaktif saja.
Tapi sebetulnya, sejarah tanggapan yang reaktif, baik yang bersifat psikologis maupun ideologis terhadap orientalisme, baru berkembang di dunia Arab setelah tahun 1960-an. Sebelum 1960-an, reaksi terhadap orientalisme jauh lebih berbobot dan cukup positif. Jajaran intelektual Mesir di eranya yang liberal, lebih terbuka dalam proses berdialog dan berdebat dengan kalangan orientalis. Bahkan, mereka memberi tempat yang proporsional bagi beberapa pemuka orientalis untuk melakukan kajian yang ilmiah terhadap dunia Timur, terutama tentang Islam.
Universitas Mesir yang kini menjadi Universitas Kairo, sebelum tahun 1960-an sempat menjadi tempat berkarir beberapa orientalis ternama seperti Arthur John Arberry, Ignaz Goldziher, Joseph Scacht, dan Louis Massignon. Tidak hanya melakukan respons yang positif, benih oksidentalisme pun sudah mulai disemai oleh kalangan intelektual semacam al-Thahtawi, Thaha Hussein, Amir Syakib Arsalan, Ali Abdul Raziq, Qasim Amin, dan sedikit-sedikit Muhammad Abduh.
Yang dimaksud benih-benih oksidentalisme di sini adalah respons yang alamiah tatkala intelektual dunia Timur juga melakukan kajian-kajian tentang peradaban Barat—sebagaimana orang Barat melakukannya terhadap Timur—dengan segenap kelebihan dan kekurangannya. Di samping telah menunjukkan semangat keterbukaan dan ilmiah untuk memahami orang lain, apa yang mereka lakukan juga menunjukkan bahwa dialog antarperadaban dan antarkebudayaan mungkin dilaksakan dengan cara-cara yang beradab dan ilmiah.
Kalau merujuk ke masa itu, tampak bahwa kecenderungan hitam putih ala Saidisme (merujuk ke Edward Said) dan Sibaisme (merujuk ke Musthafa Sibai) dalam memandang orientalisme, kini sudah tidak banyak gunanya lagi. Sebab konsekuensinya, kita akan dipaksa untuk mengabaikan banyak kajian dan temuan berharga dari kalangan orientalis (lama maupun baru) yang ikut menyumbangkan proses pengayaan khazanah kebudayaan kita, paling tidak dari segi literatur dan pemikiran.
Para intelektual Barat yang telah menghasilkan karya-karya keislaman bermutu seperti Philip K Hitti, Albert Hourani, William Montgomerry Watt, George Abraham Makdisi, Karen Armstong, Annemarie Scimmel, Henri Corban, Lapidus Ira, Sachiko Murata, William C. Chittick, untuk menyebut sebagian, sangat mubazir dilewatkan sumbangan pemikiran mereka bagi dunia kita.
Untuk itu, alih-alih bersikap emoh dan bermusuhan terhadap orientalisme, kita justru harus lebih waspada terhadap ideologi Saidisme dan Sibaisme. Kewaspadaan itu sangat kita perlukan demi memperkaya pehamahan kita tentang diri dan kebudayaan kita, walau lewat sudut pandang orang lain.[Novriantoni]
No comments:
Post a Comment