Thursday, January 10, 2008

Setan dan Tatanan Kosmos

01/11/2004

Setiap bulan Ramadan, kita selalu mendengar hadis tentang pintu surga yang menganga, gerbang neraka yang terkatup rapat, dan setan-setan yang “terbelenggu”. Hadis ini biasanya diletakkan dalam konteks keberkahan puasa. Para ustadz yang ditanya tentang hadis ini, lazimnya berusaha menerangkan dengan pelbagai cara yang bisa dipahami dan masuk akal. Perlu dicatat, jarang sekali ada ustazd-ustadz yang memahami hadis ini secara lahiriah dan harfiah. Mereka cenderung menggunakan tafsiran simbolik (al-tafsîr al-isyârî) untuk mengerti maksud hadis ini, dan menganggapnya sebagai metafor tentang banyaknya potensi dan kesempatan untuk berbuat baik di dalam bulan puasa. Sebab, kalau setan benar-benar dibelenggu—menurut tafsiran yang lahiriah dan harfiah—bagaimana menjelaskan pelbagai tindak tercela yang masih terjadi pada bulan Ramadan? Bukankah setan, si pangkal dosa dan sumber keburukan dan kejahatan sudah tiada daya tiada upaya?

Terkait soal setan, Taufik al-Hakim, seorang sastrawan Mesir, pernah menulis cerpen berjudul al-Syahîd, Sosok yang Syahid. Cerpen ini lebih ekstrem dari kisah setan yang terbelenggu. Dia menceritakan sosok setan yang coba bertobat dari segala bentuk beban dan tugas yang selama ini ditimpakan kepadanya. Konon, untuk misi pertobanan itu, setan berkunjung ke beberapa lembaga agama yang dia percaya mampu membimbing ke jalan yang benar: Vatikan, Rabi Tertinggi Israel dan Syekh al-Azhar Mesir.

Setan berharap ketiga pemuka agama itu menerima tobatnya. Tapi malang, tak satupun yang sanggup dan merasa berwenang menerima tobat setan. Pertama, bagaimana mereka bisa percaya kalau setan akan bertobat. Bukankah dia sudah ditakdirkan untuk selalu identik dengan hal-hal buruk, hina-dina, dan tercela, setidaknya sebagaimana dikabarkan kitab suci? Kedua, andai mereka menerima tobat si setan, tidakkah itu akan berisiko menganulir dan mengubah secara radikal kebanyakan isu atau kandungan dari kitab suci –mengingat setan merupakan salah satu tema sentral kitab suci?

Ketiga, kalau tobat setan dapat diterima, tentu konsekuensinya lebih berat lagi. Itu tidak hanya akan mengubah kandungan kitab suci, tapi juga seluruh tatanan kosmos yang sudah ada. Apa relevansi dan nilai kebajikan dalam dunia, dan untuk apa lagi ada agama yang selalu menganjurkan berbuat baik dan menghindarkan kejahatan? Kalau setan sudah bertobat, darimana datangnya godaan untuk berbuat jahat? Tidakkah manusia justru akan berubah menjadi malaikat: selalu taat dan tak akan pernah berbuat durhaka?

Ilustrasi al-Hakim dalam cerpen itu tentu pengandaian-pengandaian buah imajinasinya yang sangat liar dan nakal. Tapi bukankah kita masih dipermaklumkan untuk berandai-andai dan berimajinasi, andaipun semua itu tidak pernah terjadi di dunia nyata? Saya menduga, pesan moral utama yang ingin disampaikan al-Hakim, tak lain agar kita melihat segala sesuatu—entah itu kebajikan ataupun kejahatan—sebagai sesuatu yang fungsional. Keburukan dan godaan-godaan untuk berbuat jahat tidak akan pernah lenyap dan tidak mungkin ditiadakan sama sekali. Yang penting adalah bagaimana kita mampu menjadi panglima bagi diri sendiri sehingga mampu mengatasi godaan-godaan dan giuran-giruan itu. Itulah inti dari berpuasa, mengendalikan diri atau imsâk.

Makanya, orang-orang yang ngotot ingin melenyapkan dan meniadakan giuran-giuran dan godaan-godaan pada bulan Ramadan, sesungguhnya perlu ditanya soal kekokohan mekanisme pertahanan dirinya. Aksi sweeping atas tempat-tempat hiburan, razia ruang-ruang yang menggoda iman, dan menggelandang para pekerja seks komersial (PSK) pada bulan puasa, tidak serta merta menggambarkan kekuatan iman dan kemenangan kita melawan setan. Alih-alih kita yang menang, justru setan yang akan selalu menjadi syahid atau martir, karena telah berkorban demi Allah, dan taat asas untuk selalu menjaga status quo tatanan kosmos yang sudah ditetapkan-Nya. Wallahu’a’lam! [Novriantoni]

No comments: