Kira-kira sepekan lalu, sebagian anggota milis Jaringan Islam Liberal berpolemik dalam diskusi elektronik di islamliberal@yahoogroup.com. Polemik dipicu oleh judul sebuah berita koran nasional (Jumat, 11/07/03) yang dinilai bermasalah. “Umat Islam Terbelakang Akibat Ajaran yang Salah”, demikian judulnya. Isi berita tersebut memuat inti pidato Perdana Menteri Malaysia, Mahatir Mohamad dalam acara Konferensi Internasional Para Ulama Islam di Kuala Lumpur. Fokus perdebatan terletak pada kalimat “ajaran yang salah”.
Bagi yang mempermasalahkan, tidak betul umat Islam terbelakangan akibat ajaran yang salah. Bukan ajarannya yang salah, tapi “pengajaran” yang bermasalah. Ajaran dan pengajaran adalah dua hal yang berbeda. Ajaran menyangkut materi yang diajarkan (paham keislaman itu sendiri), sementara pengajaran menyangkut cara (teknik mengajarkannya). Mereka sebenarnya ingin menegaskan, tak ada yang error dari materi keislaman itu sendiri; yang salah hanya cara mengajarkannya. Pendek kata, mereka tak bisa menerima ajaran Islam dipersalahkan, atau diasumsikan dapat mengandung kesalahan. Bagaimana salah, bukankah Islam agama paling sempurna yang pernah “diturunkan” Tuhan?!
Pola pikir semacam itu bukan pertama kali kita amati. Menegasikan kemungkinan salahnya ajaran suatu agama merupakan nalar kolektif yang hinggap di kepala banyak umat beragama, bahkan penganut suatu ideologi umumnya. Sama sekali bukan khas Islam. Pola pikir demikian, bukan hanya dianut mereka yang berdiskusi via internet, tapi juga dipegang jutaan umat Islam lainnya. Penganut pola piker ini, selalu saja menegasikan kemungkinan salahnya ajaran dan paham yang kita anut. Akibatnya, tak ada self correction; budaya kritik menjadi lemah atau tak ada sama sekali.
Tanpa disadari, sebenarnya di situlah inti persoalan kita. Masing-masing, tidak memiliki kerendahan hati --sebagaimana Ahmad Wahib-- untuk mengakui bahwa beberapa aspek dalam ajaran agama kita mungkin salah; sebagian yang kita anut mungkin tak becus. Kita, rupanya sedang dikungkungi oleh sebentuk nalar yang disebut pemikir asal Lebanon, Ali Harb (1994: 200), sebagai nalar teologis (al-‘aql al-aqâidiy).
Nalar ini banyak digunakan dalam retorika agama untuk sekedar berapologi atau mengabaikan kenyataan yang potensial mengurangi nilai kebenaran suatu teori atau mengeliminir sakralitas suatu keyakinan. Nalar ini berinteraksi dengan doktrin atau ajaran sebagai “benda” metafisis, esensi yang berdiri sendiri, hidup terpisah, dan tak tersentuh proses sejarah.
Aib terbesar nalar ini adalah pada ketidakmampuan untuk melihat kenyataan sebagaimana adanya. Alih-alih mengeritik satu-dua kesalahan dalam ajaran agama, mereka justru berkelit dengan misalnya, menyalahkan sisi praksisnya saja, atau mengambinghitamkan aktor-aktor penerap ajaran tersebut. Bagi nalar ini, kesalahan bukan pada teori (ajaran agama), tapi terletak pada praktek pelaku. Teori dan praktek dipisahkan secara diametral. Tak ada yang salah dari Islam, hanya umat saja yang keliru, entah dalam memahami Islam itu sendiri maupun dalam menerapkannya.
Rupanya, nalar teologis tidak saja menggelayuti pola pikir kalangan awam, tapi juga membelenggu pemikir sekaliber Muhammad Abduh. Perhatikan saja! Abduh pernah berujar miris: “Aku melihat Islam (di Barat) tanpa berjumpa dengan orang Islam. Dan aku tidak melihat Islam (di banyak negeri muslim yang terbelakang), kendatipun mayoritas mereka menganut Islam.”
Terang saja, ungkapan tersebut terasa cukup melegakan karena tidak mengandung secuil kritik pun pada contents ajaran Islam. Islam tetap necis, suci, kudus dan terlindungi; yang babak belur hanya umatnya. Padahal, bukankah hubungan keduanya bersifat dialektis dan saling mempengaruhi? Ajaran Islam terpengaruh --sedikit banyak-- oleh daya tangkap umatnya, sementara umat Islam tak pelak juga dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam.
Tapi persoalan yang paling problematis dari ungkapan Abduh adalah, perasaan yang terucap bahwa kemajuan apapun tak mungkin dicapai tanpa Islam. Kalau dicermati lebih jauh, Abduh seakan ingin menegaskan: majunya Barat, kurang lebih juga karena nilai-nilai Islam. Dalam pandangannya, Islam tetap unggul dan tak ada yang lebih unggul darinya.
Dalam batas tertentu, nalar teologis memang melegakan. Nampaknya itulah yang diinginkan Abduh dan mereka yang disebut pembaru Islam. Hanya saja, dia juga melenakan, lalu membuat kita tak sadar diri. Saya kira, sudah saatnya kita pelan-pelan meninggalkan nalar basa-basi seperti ini, sekalipun dia cukup membesarkan hati. Kita lebih perlu untuk rendah hati, sekaligus tidak merasa rendah diri. [Novriantoni]
No comments:
Post a Comment