Pada sesi kedua Tadarus Ramadan tentang pemikiran Ibn Arabi, Jaringan Islam Liberal (JIL) menelaah kitab terbesar Ibn Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah (Inspirasi-Inspirasi dari Mekah). Tadarus Selasa lalu itu (3/10), menghadirkan KH Said Agil Siraj (Ketua PBNU), Syafiq Hasyim (Deputi Direktur International Center for Islam and Pluralism) dan Zainul Ma’arif (alumnus Universitas al-Azhar yang menjadi peneliti di Puan Amal Hayati). Diskusi dipandu Novriantoni dari JIL. Berikut reportasenya.
Murcia, Andalusia, 1198 M. Filosof sufi, Ibn Arabi bermimpi melihat seekor burung yang seakan-akan menitahkannya untuk merantau meninggalkan kampung halaman. Burung itu terbang di atas Arasy yang konon merupakan singgasana tempat Tuhan bertahta. Disertai empat pilar cahaya, ia dengan secepat kilat menuntun Ibn Arabi menuju arah timur dunia Islam.
Sejak saat itu, dalam umur tiga puluh, Ibn Arabi mulai melanglangbuana menuju pelbagai belahan dunia, termasuk ke kota Mekkah. Di sanalah ia menghasilkan garis besar mahakaryanya, al-Futuhat al-Makkiyyah (selanjutnya disebut Futuhat saja). Namun Futuhat dalam bentuknya yang utuh baru dirampungkannya tiga puluh tahun kemudian di Damaskus, tempat ia meninggal dunia (638 H/1240 M).
Tapi, bukan sekadar mimpi yang membawanya pergi. Ia juga bulat tekad angkat-kaki dari ibu pertiwi karena kondisi sosial-politik yang sedang tak menentu di kawasan Magribi Islam (Andalusia dan Afrika Utara) kala itu. Dalam suasana kacau dan nuansa senjakala peradaban Islam Andalusia, kebuntuan, kekakuan, dan fanatisme-sempit adalah ciri khas pemikiran kaum ulama eksoterik.
Mereka itulah yang disebut Ibn Arabi sebagai kaum formalis (ulamâ’ur rusum) yang tambah menjadi-jadi menguasai kehidupan sosial-politik-keagamaan. Bagi filosof sufi yang berimajinasi tinggi seperti Ibn Arabi, sudah pasti tak tersisa lagi ruang untuk mengemukakan pandangan-padangannya yang esoterik tentang Islam. Mereka lebih suka hal-hal yang tersurat dari agama, terutama yang termaktub dalam kitab suci, sementara Ibn Arabi tak pernah henti menyelami apa yang tersirat atau disiratkan Tuhan di dalam lembaran-lembaran kitab suci agama.
Zainul Ma’arif dalam makalahnya menggambarkan kondisi kepengarangaan Ibn Arabi sedemikian rupa. Dunia Islam kala itu memang sedang bergejolak. Di bagian Barat, Dinasti Mohad atau kaum Muwahhidun mulai merenta di bawah pemimpinan Muhammad an-Nasir (610 H). Di Timur, kekacauan serupa juga tak kurang gawatnya. Lebih dari 100 tahun, Perang Salib telah berhasil menyulut kebencian yang panjang dan telah pula merenggut banyak nyawa. Di Bagdad, pasukan Mongol menghancurkan Dinasti Abbasiah dan membumihanguskan kota Bagdad. Dalam kondisi demikian, oleh para pengagumnya, Futuhat Ibn Arabi dianggap sebagai ”suluh penerang kegelapan yang mengungkung umat Islam”.
Lepas dari penilaian yang agak berlebihan itu, Futuhat memang sebuah adikarya, baik dari sisi kualitas isi maupun kuantitas halamannya. Kitab ini tak kurang dari 560 bab yang terbagi 6 pasal. Pasal pertama bicara tentang macam-macam jenis pengetahuan (al-ma’ârif); kedua tentang model-model tindakan atau hubungan sosial (al-mu`âmalat); ketiga soal kondisi-kondisi spiritual (al-ahwâl); keempat mengenai titik-titik menetesnya spiritualitas (al-manâzil); kelima tentang titik-titik perjumpaan spiritual antara Tuan dan hamba (al-munâzalat); dan terkahir tentang tingkatan-tingkatan spiritualitas (al-maqâmat).
Namun dari begitu luasnya bidang bahasan Ibn Arabi, Zainul fokus menjawab soal apakah gagasan-gagasan Ibn Arabi mengandung semangat liberalisme keagamaan? Tak tegas betul jawaban Zainul. Namun ia memberi beberapa sinyal bahwa sebagian gagasan Ibn Arabi telah memuat seperangkat nilai dan ajaran yang dimuliakan para pemikir liberal sekarang, baik di Barat maupun di Timur. Ibn Arabi setidaknya telah mengakui (1) hak dan kebebasan tiap-tiap individu dalam berpikir dan berkeyakinan; (2) relativisme, inklusivisme, dan pluralisme kebenaran; (3) esoterisme atau pementingan sisi batin agama; (4) toleransi agama; dan (5) pemihakan kalangan minoritas dan kaum tertindas.
Sementara itu, Syafiq Hasyim memaparkan makalah tentang pembagian ilmu menurut Ibn Arabi, hubungan manusia dan alam, manusia dan citra Ilahi, Nabi dan wali; hakikiat dan syariat. Tapi Syafiq mengakui bahwa Futuhat bukanlah karya yang mudah ditangkap maksudnya. Ia mengaku sangat terbantu oleh buku Nasr Hamid Abu Zayd, Falsafatut Ta’wil `Inda Ibn Arabi (Filsafat Takwil Ibn Arabi) dalam memahami Futuhat. ”Untung ada buku pintar ini, sehingga pemikiran Ibn Arabi dalam Futuhat lebih gampang dimengerti,” jelas Syafiq.
Dari pemaparan dua pembicara tadi, peserta diskusi tampaknya masih penasaran tentang apa sebenarnya yang diinginkan Ibn Arabi dengan Futuhat. Mereka yang mengikuti sesi tentang Fushûsul Hikam segera tahu bahwa Ibn Arabi ingin mengungkap dimensi hikmah atau kebijaksanaan yang terkandung dalam kisah-kisah kerasulan mulai dari Adam sampai Muhammad. Tapi Futâhat?
Oleh sebagian orang, Futuhat memang dianggap Injîl al-Islâm al-bâthini atau ”kitab suci para penganut Islam esoterik”. Namun para pengkaji ilmiah kitab ini hanya menyebutnya gudang (mustauda’) segenap perhimpunan pengetahuan dan kebijaksanaan yang dimiliki Ibn Arabi. Sebagai karyanya yang terbesar, Futuhat juga memuat beberapa bagian dari kitabnya yang lain. Beberapa penggal puisi cinta Ibn Arabi dalam Tarjumanul Asywâq (Ungkapan Kerinduan) dan intisari ajaran hikmahnya di Fushus, juga termaktub dalam kitab ini.
Berhubung tak semua yang dituliskan Ibn Arabi gampang dimengerti, pembicara ketiga, KH Said Agil Siraj sengaja bicara terfokus pada inti pokok ajaran Ibn Arabi tentang wahdatul wujûd atau kesatuan wujud/eksistensi. Dengan gaya tutur yang penuh canda dan guyonan-guyonan segar, gagasan-gagasan Ibn Arabi mampu diurai Agil dengan urat syaraf peserta diskusi yang relatif sudah mengendor.
”Tasawuf bukan akhlakul karimah, bukan memperbanyak ibadah, bukan pula perdukunan,” gebrak Agil di awal pembicaraannya. ”Tasawuf yang hakiki hanya ada di tasawuf falsafi,” tegasnya. Namun ia tidak menafikan kegunaan apa-apa yang dianggapnya bukan benar-benar tasawuf tadi. Semua itu ada kegunaan masing-masing. ”Tapi kalau hendak bicara soal sufisme secara mendalam, mari bicara soal tasawuf falsafi,” ajaknya.
Di tengah tatapan peserta yang sudah segar dan antusias, Agil membedakan antara sufi, mutashawwif, dan guru tasawwuf. Sufi merupakan orang yang hidupnya sarat dengan refleksi-refleksi filosofis dalam melihat alam dan wujud, seperti Ibn Arabi. Sementara mutashawwif adalah orang yang belajar tasawwuf. Dan guru tasawuf, tak lain para pengajar tentang sufisme. ”Ya, seperti Pak Kautsar inilah!” canda Agil sambil menunjuk Dr. Kautsar Azhari Noer, pengajar mistisisme Islam di UIN Jakarta yang hadir juga sebagai peserta.
Said Aqil memang bintang malam itu. Ia mapu mengurai hal-hal yang ruwet dari Ibn Arabi menjadi sangat sederhana. Mungkin karena topik ini memang ”makanan” dia sejak lama. Disertasi doktornya di Universitas Ummul Qura, Arab Saudi, memang telah membahas soal tasawuf falsafi, dengan judul al-Insân wa Shillatuhu bilLâh `indat Tashawwuf al-Falsafi (Hubungan Manusia dan Tuhan dalam Tasawuf Falsafi). Karena itu, Agil mampu memberi penjelasan yang sangat gamblang tentang dasar penting pemikiran Ibn Arabi, yaitu konsep wahdatul wujud.
Dengan menggunakan papan tulis dan banyolan-banyolan, Agil membuat bagan tentang konsep wahdatul wujud Ibn Arabi. ”Kalau sama saya, sepuluh menit langsung ngerti,” klaim Agil. Dan betul saja, para peserta tampak cukup mengerti dengan bagan yang digambarkan Agil. Ia berhasil menerangkan bagaimana yang banyak timbul dari Yangsatu, proses yang fana berkembang dari Yangkekal, dan konsep-konsep tasawuf falsafi lainnya. ”Yang ada banyak, tapi yang wujud cuma satu,” terang Agil.
Namun yang tak kalah menariknya dari paparan Agil malam itu adalah upayanya memotret semacam gagasan Ibn Arabi di tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama kalangan ulamanya. Agil menunjukkan bahwa gagasan apapun punya sayapnya sendiri. Namun, gagasan-gagasan mistisisme di Indonesia juga bisa berkembang dengan sendirinya, baik dengan asupan gagasan dari luar, atau hasil refleksi lokal para sufi Indonesia sendiri. [Novriantoni]
No comments:
Post a Comment