22-34 Maret lalu, Jaringan Islam Liberal (JIL) merayakan ulang tahunnya yang keenam di Komunitas Utan Kayu, Jakarta. Dua agenda digelar: pemutaran film-film bertema kebebasan dan diskusi soal sekularisme. Berikut reportase diskusi hari kedua, tentang Praktik Sekularisme di Beberapa Negara.
Jumat, Teater Utan Kayu. Film Jesus Camp diputar sejak jam 2 sore, sementara Soldier of God setelah itu. Penonton berkisar 50-an orang saja. Tapi diskusi malam harinya ramai. Sekitar 200 orang setia ikut diskusi sampai tuntas. Diskusi menghadirkan tiga orang narasumber: Rizal Mallarangeng (Direktur Eksekutif Freedom Institute), Syamsurizal Panggabedan (dosen UGM, Jogja) dan Dick van der Meij (Profesor tamu UIN Jakarta).
Dick tampil pertama kali dengan mengutip defenisi favoritnya dari International Humanist and Ethical Union tentang sekularisme: a neutral attitude, especially of the State, local government and public services, in matters relating to religion; non-religious rather than anti-religious (sikap tak berpihak negara, terutama pemerintahan lokal dan bagian pelayanan masyarakat, dalam mengurusi soal-soal yang berhubungan dengan perkara agama, bukan agama, sekaligus anti-agama).
Namun Dick juga mengusulkan defenisinya sendiri. “Sekularisme lebih tepatnya berarti ‘pengeluargerejaan’ atau ‘pendindividualisasian’ agama,” tandas Dick. Menurut Dick, dalam praktek di negera-negara sekular Barat, sekularisme tak pernah mematikan agama, tapi justru membuat orang beragama dengan kesadaran sendiri. Dick gundah akan kekeliruan yang meluas di banyak negara Muslim yang menyamakan sekularisme sama dengan paham anti-agama.
Bagi ahli filologi asal Belanda itu, pengertian dasar sekularisme tak lebih dari pemisahan negara dan agama dalam semua lapis ketatanegaraan. ”Sekularisasi tidak berarti negara tak ada agama atau agama tidak ada kaitan dengan negara,” ungkap Dick. Dalam kenyataan, sekularisme tidak dijalankan seragam di semua negara. Di Inggris, Ratu tetap kepala negara sekaligus kepala gereja. Di Belanda, Ratu juga selalu harus Protestan. Jerman terhitung sebagai negara sekuler yang paling banyak menyumbang ke Vatikan. Sementara Prancis, negara yang paling ketat dalam menerapkan sekularisme, menurut Dick, justru selalu sibuk memugar katedral.
Karena itu, ”Ada kecenderungan orang sekuler menjadi lebih beragama,” papar Dick. Bagi Dick, ada semacam ironi ketika banyak orang yang tidak tahu mereka tinggal di sebuah negara sekuler karena sangat rajin berdoa walaupun tidak pernah ke gereja. Dick juga berpendapat bahwa sekularisme mutlak diperlukan, terlebih kalau tingkat kemajemukan agama di sebuah negara sangat tinggi.
Pembicara kedua, Rizal Mallarangeng lebih fokus memaparkan praktik sekularisme di Amerika yang dianggapnya negara paling akomodatif terhadap aspirasi agama. Meski demikian, platform negara sekuler tetap terjaga dalam Amendemen Konstitusi Amerika, dan kemungkinan tidak akan pernah diubah. Menurut Rizal, sekularisme Amerika unik karena justru ditegakkan orang-orang yang puritan dalam beragama. Itu karena ”orang-orang Amerika awal terdiri dari para imigran dari berbagai negara Eropa yang sudah merasakan pahit-getirnya konflik agama dan merindukan negara yang netral dalam soal agama,” jelasnya.
Walau dipatok untuk bicara sekularisme Amerika, Rizal justru banyak ditanya tentang tantangan sekularisme di Indonesia dengan indikasi merebaknya perda-perda bernbau agama. Tidak hanya perda syariah, beberapa daerah pun kini ikut mengajukan aturan daerah bernuansa agama masing-masing. Tapi Rizal tetap optimis akan keampuhan modernisasi. Menurutnya, ”modernisasi akan tetap memperkukuh sekularisasi, walau aspirasi agama di tingkat kultural makin menguat di Indonesia yang sedang memantapkan demokrasinya.” Karena dianggap ”orang pemerintahan” beberapa peserta mengingatkan Rizal tentang perlunya pemerintah mengambil sikap tegas terhadap aspirasi-aspirasi sektarian yang mewabah di banyak daerah itu. Namun Rizal tetap mengingatkan pentingnya bersabar dan mempertimbangkan sensitivitas masalah secara lebih dalam. Menurutnya, ”Sejarah Indonesia modern adalah sejarah pemberontakan daerah-daerah. Karena itu, pemerintah juga harus lebih arif dalam menghadapi masalah seperti ini.”
Rizal kembali mengingatkan pentingnya tetap menghargai kompromi-kompromi sejarah yang telah dicapai para pendiri republik ini. Misalnya akomodasi terhadap paham negara ketuhanan, eksistensi depertemen agama, undang-undang perkawinan Islam, dan asistensi terhadap sekolah-sekolah agama. ”Kompromi-kompromi itu tetap penting,” kata Rizal, ”asal tetap dalam bingkai negara sekuler yang memisahkan wewenang agama dengan wewenang negara.”
Seakan menanggapi Rizal, pembicara terakhir, Syamsurizal Panggabedan justru banyak bercerita tentang kontradiksi-kontradiksi penerapan syariah di banyak negara Muslim. Berangkat dari itu, Panggabedan mengakui adanya keterbatasan kendali dan kontrol negara terhadap perikehidupan masyarakat. Menurutnya, ”Mungkin inilah masa ketika kita melihat Indonesia yang sebenar-benarnya; lengkap dengan segenap warna-warninya.”
Tapi Panggabean juga mengingatkan bahwa pengalaman Pakistan dan Sudan justru menunjukkan potensi dan kecenderungan disintegrasi yang salah satu akarnya berasal dari kontroversi penerapan syariah. Karena itu, peran negara dalam menjamin kemajemukan multukultural dan toleransi sangat diperlukan. ”Masalah seperti kekerasan keagamaan dan sektarian dapat timbul apabila peran negara dan sistem pemerintahan dalam mengelola konflik tidak berjalan atau berjalan dengan buruk,” pungkas Panggabean. Panggabean mengakui, tembok pemisah (the wall of separation) antara agama dan politik tidak pernah tampak nyata dalam praktik dan kenyataan negeri-negeri Muslim sebagaimana pengalaman negara-negara Eropa yang juga dihuni minoritas Muslim. Dalam kenyataan, agama selalu menyusup ke serangkaian dikotomi sekularisasi seperti soal private/public, social/political, political/moral, dan secular/religious.
”Memang tak gampang membendung beberapa aturan agama yang masuk akal untuk masuk ke sektor negara,” ujarnya. Di Turki, masyarakat Muslim menggunakan hukum resmi negara dan hukum Islam sekaligus di bidang kekeluargaan. Di Inggris, komunitas Muslim bisa menikah atau bercerai dua kali, melalui hukum resmi (negara) dan hukum Islam. Di Indonesia dan Pakistan, sudah ada hukum keluarga yang dijadikan ordonansi negara.
Dosen UGM itu juga yakin bahwa aturan-aturan agama yang tidak masuk akal tapi tetap dipaksakan masuk ke tingkat negara, tidak akan mengubah apa-apa. Dick tak banyak komentar setelah presentasi. Ia tampak lebih banyak ingin mendengar. Forum diskusi ditutup oleh semacam keyakinan bahwa sekularisme akan tetap aman dan tantangan-tantangan yang dihadapinya dewasa ini hanyalah fenomena sesaat saja.[Novriantoni]
No comments:
Post a Comment