Aksi umat Islam Indonesia yang mencolok ketika konflik Palestina-Israel menghangat, adalah solidaritasnya. Dengan berbagai ekspresi, umat Islam Indonesia menampakkan wujud solidaritasnya atas perjuangan rakyat Palestina. Sering sekali, solidaritas itu ditandai dengan meningkatnya kemarahan atas Israel. Tak jarang kemarahan itu diwujudkan deengan menghardik Amerika yang selama ini dipercaya dan diandalkan sebagai “penengah konflik” oleh dunia Arab, bahkan dunia internasional. Amerika, bagi banyak umat Islam adalah “tersangka” yang mensponsori kekejaman Israel. Sementara Israel tentu saja divonis sebagai terdakwa.
Secara doktrinal agama, umat Islam memang dianjurkan untuk menggalang solidaritas sesama. Ini didasarkan pada hadits yang berbunyi: “orang yang tidak peduli dengan urusan umat Islam, bukanlah dari golongan mereka”. Dari hadits seperti ini--dan banyak hadits lainnya, seperti yang mengumpamakan umat Islam bagai satu sistem organ tubuh (ka matsal al-jasad) yang saling berempati bila salah satu bagiannya menderita--umat Islam memiliki daya dorong yang kuat untuk peduli, membela dan memperjuangkan nasib sesamanya. Wujud peduli, hirau, saling menjamin, dan kadang-kadang membela inilah makna etimologis (secara bahasa) dari kata Arab “al-tadlâmun”, atau solidaritas.
Namun demikian, secara doktrinal pula, solidaritas itu tidak sebatas untuk dan demi umat Islam saja. Umat Islam dituntut juga untuk solider atas umat lainnya dalam rangka pembelaan terhadap kebaikan-kebaikan universal: kebaikan yang diakui secara umum. Penjarahan, pemerkosaan, penindasan dan ketidakadilan yang diderita oleh insan manapun, juga masuk dalam tuntutan solidaritas yang perlu diperjuangkan umat Islam. Tentu sering terdengar, al-Qur’an menganjurkan saling tolong dalam urusan kebaikan dan ketakwaan (al-birr wa al-taqwa), (sebaliknya) mencela berkomplot untuk hal kejahatan dan permusuhan (al-itsm wa al-‘udwan). Ayat Qur’an lain menganjurkan untuk tidak tergiring berlaku tidak adil karena kebencian atas suatu kaum (walâ yajrimannakum syana’ânu qaum ‘alâ ‘an lâ ta’dilû).
Jadi, sebenarnya ajaran Islam menganjurkan umatnya untuk meningkatkan derajat solidaritas, dari yang mekanik menuju organik. Solidaritas mekanik itu, memiliki daya dorong dari persamaan suku, ras, agama dan lingkup-lingkup yang memetakan manusia pada identitas tertentu. Bila suatu suku merasa terhina, memperoleh pembelaan dari teman sesukunya adalah wajar. Ini adalah solidaritas awal. Sayangnya, solidaritas ini terkadang kurang peduli dengan kriteria kebenaran dan kesalahan dari obyek yang dibela. Hal ini disebabkan sifatnya yang mekanik. Sekali tombol tertekan (misalnya emosi) maka solidaritas itu beraksi.
Berbeda dengan solidaritas mekanik, solidaritas organik lebih jernih memandang permasalahan. Ada kepentingan universal yang diperjuangkan, misalnya menentang kesemena-menaan, atas siapapun kesemena-menaan itu dideritakan. Yang kedua ini lebih melihat inti, bukan orang atau person yang perlu dan tidak perlu disolidaritasi.
Dalam kasus Palestina-Israel, pembelaan dan atau keberpihakan umat Islam Indonesia pada Palestina, wajar adanya. Mereka merasa ada saudaranya yang masih dibelenggu penjajahan dan pelecehan hak-hak mereka. Namun sayang, solidaritas tersebut masih didominasi oleh emosi yang meluap-luap dan kemarahan yang tak jarang kurang beradab. Sering juga, solidaritas untuk Palestina diwarnai simbol-simbol keagamaan (Islam) yang seolah mencitrakan adanya pertikaian bermotif agama. Pada poin terakhir ini, kentara penilaian yang kurang tepat akan hakikat konflik. Sehingga, (konsekuensinya) muncullah ekspresi solidaritas yang menyimpang pula.
Setidaknya, ada beberapa alasan yang menyangkal klaim bahwa konflik Palestina-Israel merupakan konflik agama (Islam vs Yahudi dan atau Nasrani):
Pertama, hijrahnya Yahudi dari Eropa ke Palestina justeru merupakan solusi Eropa yang tidak mampu mengatasi “masalah Yahudi” yang lama menjadi momok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mereka. Poin ini tidak memuat motif agama.
Kedua, sebagai negara-negara yang masih memiliki watak penjajah, negara-negara Barat (Inggris, Perancis, Jerman dulunya dan Amerika sekarang) menganggap keberadaan Israel di Palestina merupakan perpanjangan tangan mereka untuk menjaga banyak kepentingan (utamanya ekonomi, politik, militer) di kawasan. Ini lebih bermotifkan kepentingan dan keuntungan. Makanya El-Messirri, pakar zionisme Mesir menyebut Israel sebagai negara boneka (daulat al-wadhîfah) yang senantiasa siap memenuhi kepentingan patron/bosnya.
Ketiga, zionisme yang menjadi penyangga negara Israel adalah ideologi sekular yang sama sekali tidak peduli dengan doktrin-doktrin agama Yahudi, meskipun (tidak menghalangi) mereka memanfaatkan dan memelintir klaim-klaim kitab suci, demi membenarkan keberadaan mereka di tanah Palestina. Namun demikian, unsur agama tersebut hanyalah kedok yang memberikan legitimasi “yang suci” atas proyek penjajahan mereka. Walau sedikit memuat unsur agama, tapi tidak terlalu signifikan.
Namun demikian, karena agama adalah unsur yang kurang dikritisi dalam konflik ini, maka nuansa agama nampak lebih mengemuka. Tidak hanya Israel yang melakukan itu. Solidaritas beberapa kalangan Islam Indonesia untuk Palestina masih tetap menonjolkan simbol-simbol agama saat melancarkan aksi protes. Tidak jarang juga, jargon-jargon yang dikumandangkan dalam aksi-aksi solidaritas untuk Palestina, menggunakan kalimat-kalimat suci keagamaan yang tentu saja memiliki daya dorong tinggi untuk menyulut emosi massa.
Akibat terparah dari solidaritas ini adalah terjadinya salah kaprah dalam taktik dan strategi dalam menerjemahkan wujud solidaritas umat secara benar. Ambisi untuk berjihad ke Palestina tanpa pertimbangan geo-politik dan kondisi riil di sana, memperlihatkan bahwa solidaritas itu masih belum arif dan bijaksana. Mestinya, solidaritas itu tidak miskin nalar, terkontrol, taktis dan strategis. [Novriantoni]
No comments:
Post a Comment