Salah satu cara menghindari klise dan pengulangan bahasan tentang fenomena Ramadan adalah membahasnya dengan pendekatan fenomenologis. Secara sederhana, pendekatan fenomenologis adalah cara melihat gejala dan praktik-praktik yang muncul selama Ramadan di dalam lingkup masyarakat tertentu.
Dengan pendekatan ini, yang dibahas bukanlah ayat-ayat Qur’an dan hadis-hadis berkenaan dengan wajibnya puasa dan amalan-amalan yang dianjurkan. Studi fenomenologis bukan pula semata-mata puja-puji dan sugesti untuk memborong segenap kebajikan yang diiming-imingi selama Ramadan.
Hassan Hanafi—intelelektual Mesir yang suka mengunakan pendekatan ini dalam studi agama—mengatakan bahwa studi fenomenologis Ramadan merupakan upaya menyelidiki fakta Ramadan sebagaimana dipraktikkan suatu masyarakat tertentu (ramadhân fil mumârasât al-ijtimâiyyah). Dengan pendekatan ini, kita menguji sejauh mana unsur-unsur yang normatif dalam agama jadi bermakna dan diwujudkan dalam kenyataan di suatu masyarakat. Dengan itu pula, kritik sosial jalan dan mendapat ruang.
Di Indonesia, studi tentang Ramadan yang mendekati sudut pandang di atas sudah muncul. Buku Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar (2005) yang dikarang seorang Swedia yang cukup berminat dengan fenomena Islam Indonesia, Andree Moller, merupakan studi yang cukup memikat.
Dalam buku itu, Moller menampilkan potret masyarakat Islam di Jawa dalam melaksanakan bulan Ramadan, dengan segenap keunikannya. Di tangan Moller, fakta Ramadan menjadi sajian yang sangat menarik. Moller mampu ”menghidupkan” suasana Ramadan di kita, lebih dari kita yang merasakannya saban tahun.
Tapi Moller tidak menonjolnya unsur kritik sosial dalam bukunya. Ini mungkin disebabkan dia—sebagaimana pelaku studi antropologis lainnya—lebih perhatian pada keunikan sebuah gejala, bukan hendak mengubah gejala itu sendiri. Padahal, jika mencermati fenomena Ramadan dalam beberapa tahun terakhir, ada saja poin-poin kritik yang pantas kita sampaikan.
Pertama, khususnya di kota-kota besar, Ramadan tidak lagi menjadi bulan penuh berkah bagi kalangan yang tidak berpunya. Tiap-tiap Ramadan, mata kita selalu disugukan dengan adegan ”permusuhan” yang laten antara pihak keamanan dan ketertiban kota dengan para pengemis dan gelandangan, baik yang profesional maupun yang dadakan.
Ramadan juga menjadi momentum penertiban pedagang kaki lima yang berupaya mengais rezeki di bulan yang konon penuh berkah ini. Gejala ini sangat berbeda dengan di beberapa negara Arab yang mampu menghadirkan Ramadan sebagai bulan penuh berkah dan makna bagi masyarakat tak berpunya. Fenomena mâidatur rahman (hidangan sang pengasih) yang meyuguhkan berbagai pangangan sahur dan berbuka puasa secara massal, khususnya untuk mereka yang tak berpunya, adalah budaya dan pemandangan yang sungguh indah.
Kedua, alih-alih mengurangi egoisme, Ramadan dalam beberapa tahun terakhir justru menjadi saat makin menonjolnya egoisme mereka yang berpuasa. Seruan untuk menghormati Ramadan dilancarkan dengan berbagai cara, dan terkadang sambil mengabaikan hak-hak mereka yang tidak berpuasa. Andai Ramadan berfungsi menekan egoisme-diri dan merupakan tangga perjalanan manusia dari alam jasmani menuju alam ruhani, sungguh tujuan mulia itu tidak tercapai.
Ketiga, hal paling sederhana yang kurang mampu dikendalikan selama Ramadan adalah menekan tingkat konsumsi. Saya memang belum punya data yang bisa digeneralisir. Tapi, beberapa keluarga jujur mengatakan bahwa biaya konsumsi mereka yang makan dua kali sehari (untuk sahur dan berbuka) selama Ramadan justru lebih boros dari bulan-bulan lainnya. Pada sebagian, puasa betul-betul gagal mengontrol pemenuhan kebutuhan manusia yang paling purba.
Tentu masih banyak kritik yang dapat diajukan. Namun tiga poin di atas mungkin mewakili gejala-gejala yang paling menonjol di kita. Sudah barang tentu kritik-kritik di atas tak menafikan banyaknya sisi-sisi manfaat Ramadan. Tapi, andai kritik-kritik itu diperhatikan, mungkin Ramadan kita akan lebih bermakna dan lebih berkah. [Novriantoni]
No comments:
Post a Comment