Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “merdeka” mengandung tiga makna. Pertama, bebas dari (penghambaan, penjajahan, dsb) atau berdiri sendiri. Kedua, tidak terkena atau lepas dari tuntutan. Ketiga, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, atau leluasa.
Sementara kata “beragama” berasal dari kata “agama” yang berarti “ajaran; sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya”.
Kata “beragama” sendiri mengandung tiga makna. Pertama, menganut (memeluk) agama. Kedua, beribadat; taat kepada agama; baik hidupnya (menurut agama). Ketiga, sangat memuja-muja; gemar sekali pada; mementingkan (misalnya beragama pada harta benda).
Dari beberapa pengertian di atas, kesan sekelebat yang muncul adalah ketidakmungkinan menghimpun kata merdeka dengan kata beragama. Menghimpun keduanya seakan-akan memadukan dua istilah yang saling bertolak-belakang, contradictio interminis. Keduanya bagai minyak dengan air.
Bagaimana mungkin seorang penganut agama dapat merdeka dalam beragama, sebab merdeka mengandaikan bebas dari, sementara beragama menyangkut ketaatan pada (aturan-aturan agama).
Sedari awal, seorang penganut agama memang sudah diandaikan tidak bebas atau lepas dari aturan-aturan agama. Standar kesalehan beragama di banyak negara “religius”, biasanya diukur dari seberapa taat masyarakatnya dalam menjalankan aturan-aturan atau tuntunan agama. Dalam makna itu, merdeka dalam beragama berarti keluar dari standar kesalehan beragama yang formal.
Tapi cobalah gunakan makna ketiga dari merdeka, yaitu tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu dalam beragama. Makna itulah yang dimaksudkan dengan merdeka dalam beragama di sini.
Orang yang merdeka dalam beragama adalah orang yang mampu melepaskan diri dari ketergantungan kepada orang atau pihak tertentu dalam memahami dan menjalankan agama yang ia anut. Merdeka juga berarti bebas dari pola keberagamaan yang dogmatis; yang sekadar mengikuti saja suatu ajaran tanpa sikap kritis.
Keberagamaan yang merdeka adalah bentuk keberagamaan pasca-dogmatisme; pola keberagamaan yang kritis dalam melihat pelbagai persoalan agama, melampaui dogmatismenya yang akut. Tingkat otonomi individu mereka begitu tinggi, sehingga mereka dapat bebas dari pelbagai dogma yang tak jarang bagian dari konstruksi umat manusia jua (entah teolog, agamawan, atau ulama).
Dengan meminjam istilah fikih, mereka yang merdeka dalam beragama bukan lagi mereka-mereka yang mukrah atau terpaksa dari luar kehendak pribadinya. Dalam istilah tasawwuf, mereka adalah orang-orang yang telah sampai pada maqam takhallî atau mampu lepas dari ketaatan dan ketergantungan kepada selain Allah, betapapun banyak orang yang merasa sedang berbicara atas nama Allah.
Contoh merdeka dalam beragama dapat diambilkan dari cara penyikapan pada fatwa yang dikeluarkan orang atau suatu institusi, baik yang diakui kredibilitas keilmuannya atau tidak atau kurang diakui. Lazimnya, ketika sebuah fatwa sampai kepada individu-individu, maka tiap individu bebas untuk menilai argumen dan implikasinya baik pada diri mereka pribadi atau bagi masyarakat.
Ambillah fatwa larangan doa antaragama sebagai misal. Bagi mereka yang merasa awam dan takut akidahnya akan ternoda, sudah sewajarnya mereka manut fatwa. Tapi bagi yang menganggap doa bersama tak akan secuil pun mengurangi keimanan pribadinya, bahkan merasa akan menambah bobot persahabatan antaragama, mereka berhak untuk merdeka dari dogma itu.
Pada akhirnya, orang yang merdeka dalam beragama adalah mereka-mereka yang tidak melulu bersandar pada fatwa-fatwa yang tidak sesuai dengan pertimbangan nuraninya. Saya kira, meminta fatwa pada nurani masing-masing ketika terjadi gejolak dalam fatwa yang formal itulah yang sudah pernah ditekankan Nabi Muhammad sendiri dalam sabdanya: “Istaftî qalbak!” atau mintalah petunjuk hati kecilmu! [Novriantoni]
No comments:
Post a Comment