Kalau benar hasrat ”bunuh diri keren” adalah motif M. Nuh saat meledakkan Restoran A&W di Plaza Karamatjati, maka sejak kini kita harus lebih waspada berbicara tentang jihad dan ajakan-ajakan yang tampak luhur tapi bisa berakibat destruktif. Di media disebutkan, M. Nuh alias Olid ingin berjihad; yang dianggap sebagai bentuk bunuh diri yang lebih keren. Oalah…!
Banyak yang keberatan jika hasrat berjihad dianggap pemicu tindak destruktif. Faktanya, banyak santri yang sudah ratusan kali membaca ayat-ayat jihad dan keutamaanya tapi tak tergiur untuk ngebom. Sudah lama pula para ulama menerangkan kalau bunuh diri merupakan tindakan tercela dan dosa besar yang dilarang agama.
Kaidah fikihnya sudah jelas: la dlarara wa la dlirâra. Islam tidak membenarkan upaya mencelakan diri, apalagi mengikut-sertakan orang lain. Ada juga banyak landasan Qur’anik yang melarang bersengaja mencelakan diri sendiri atau orang lain.
Karena itu, meski beban hidup sangat tinggi, tingkat bunuh diri di masyarakat Islam termasuk rendah, bahkan bila dibandingkan dengan masyarakat yang lebih makmur. Kecilnya angka bunuh diri itu, salah satunya oleh kurangnya dukungan kultural (termasuk pembenaran agama) terhadap bunuh diri berbentuk apapun.
Namun belakangan, ulama Islam suka membedakan bunuh diri dengan tindakan syahid. Mayoritas ulama Saudi memang keberatan menyebut aksi bom bunuh diri sebagai aksi syahid (`amaliyyah istisyhâdiyyah). Mereka menamakannya `amaliyyah intihâriyyah atau aksi bunuh diri sia-sia. Tapi, ulama seperti Yusuf al-Qardlawi, cenderung menunjukkan pembenaran politis atau taktis-strategis, kalau bukan teologis.
Kedua pendapat tersebut sama-sama dikritik. Yang tak membenarkan dituduh tak punya empati, khususnya terhadap para pelaku bom bunuh diri dari kalangan lemah seperti rakyat Palestina.
Yang membenarkan juga dikritik tak kalah pedasnya, terutama karena kini bom bunuh diri sudah menjadi tren dan menu harian rakyat Irak. Al-Qardlawi misalnya, bekali-kali dikecam tak bertanggungjawab, lempar batu sembunyi tangan. Fatwa-fatwanya dituduh ikut mendongkrak pesona tsaqâfatul intihâr atau budaya bunuh diri di dalam masyarakat Islam.
Di tengah perdebatan itu, tentu tak ada yang tahu pasti nasib para pelaku bom bunuh diri yang mati di pengadilan Ilahi. Dia saja yang menentukan apakah mereka syahid (dan pantas diganjar pahala setimpal), atau pecundang pemangku dosa besar (karena merenggut nyawanya sendiri, dan juga nyawa orang lain).
Namun tetap penting mengetahui berbagai pendapat tentang bunuh diri. Studi klasik sosiolog Prancis, Emile Durkheim (1858-1917) tentang tipe-tipe bunuh diri, mungkin perlu dirujuk. Dalam Suicide (1897), Durkheim membagi bunuh diri ke dalam empat tipe, yaitu egoistik, altruistik, anomik, dan fatalistik.
Bunuh diri egoistik merupakan pilihan individu yang disebabkan rendahnya tingkat perbaurannya dengan masyarakat. Kebalikannya, bunuh diri altruistik justru didorong terlalu dalamnya perbauran pelaku dengan masyarakat. Pelaku merasa, ia bunuh diri demi orang lain atau masyarakat yang lebih luas seperti dalam film Paradise Now (2006).
Yang anomik terjadi ketika munculnya kesenjagan atau ketidaksesuain antara norma sosial dan hukum yang berlaku dalam masyarakat dengan tujuan hidup individu. Sebaliknya, yang fatalistik terjadi ketika aturan-aturan sosial justu tidak memberi ruang bernafas yang cukup bagi keberadaan individu. Mengakhiri hidup, dengan demikian dipilih untuk lepas dari aturan.
Kita belum tahu, ke dalam tipe manakah percobaan M. Nuh bisa digolongkan. Konon, ia hanya mencari kekerenan cara dalam membunuh diri. Yang penting bagi kita adalah pilihan saat ini dalam berwacana. Ketika kita masih bermain-main dengan wacana jihad, mungkin akan masih ada saja ”orang-orang rapuh” yang sedia mengamalkannya secara serampangan.
Pilihan wacana kita mungkin akan menentukan apakah dunia akan lebih tentram atau menjadi neraka jahanam. [Novriantoni]
No comments:
Post a Comment