Judul: Jamaah Islamiyah: Sejarah dan Fakta
Penulis: Badar Muhammad Badar
Penerjemah: Akhmad Budhiyanto
Penerbit: Qisthi Press
Cetakan: 1, Juli 2004
Tebal: 152 halaman
Saban kali terjadi peledakan bom di Indonesia, nama Jamaah Islamiyah (JI) hampir pasti disebut-sebut sebagai dalang utama. Bahkan, pada kasus “bom Kuningan” baru-baru ini, organisasi JI seksi Asia Timur melalui situs www.islamic-minbar.com mengaku sebagai pihak yang bertangungjawab. Namun demikian, perbincangan tentang JI tetap saja mirip obrolan tentang hantu yang tak berwujud fisik, meski auranya sangat kuat tarasa. Pertanyaan pun selalu muncul: apakah JI sekedar mitos, atau sebuah realitas faktual? Sebagian orang menganggap istilah JI sebagai rekayasa pihak tertentu demi menyudutkan sebagian kelompok Islam (terutama yang radikal). Tapi pihak lain justru mengklaim JI sebagai realitas faktual yang tidak terbantahkan, punya jaringan kuat di tingkat Nusantara (bahkan dunia), dan disinyalir terlibat pelbagai tragedi pengeboman di Tanah Air dan tempat lainnya. Kalau klaim kedua yang benar, maka sejak kapan “penampakan hantu JI” terjadi untuk pertama kalinya?
Buku ini memang tidak berbicara tentang JI kontemporer yang sedang kita ributkan dan hubungannya dengan sosok Abu Bakar Ba’asyir, sebagaimana promosi penerbitnya pada cover bagian belakang. Ulasan tentang JI di buku ini, juga tidak serta merta identik dengan JI yang sedang menghantui kita. Meski demikian, kehadiran buku ini --sekalipun agak telat-- tetap penting untuk membantu memahami geneologi JI yang muncul dan berkembang sebagai kenyataan faktual sejak tahun 1970-an di Mesir.
Sebagaimana dituturkan penulisnya, buku ini ditulis untuk mengisi kelangkaan “riset yang objektif” tentang JI sebagai sebuah pergerakan keislaman (harakah islâmiyah) yang semarak dan berpengaruh luas di lingkungan akademik Mesir pada dasawarsa antara 1970-1980-an. Biasanya, fenomena JI dibahas sebagai laporan strategis atau data intelijen untuk melayani kepentingan pihak keamanan atau rezim penguasa. Rekomendasi yang selalu muncul dalam penelitian tentang JI selalu soal bagaimana cara mendiskreditkan dan “menanggulangi” perkembangannya yang cukup pesat (hal. 1). Berbeda dengan pendekatan pertama, buku ini ditulis seorang yang sempat menjadi Amir (pemimpin) JI di Fakultas Komunikasi dan Informatika Universitas Kairo pada tahun 1978-1979 (kini menjabat salah seorang juru bicara al-Ikhwanul Muslimin di Mesir). Makanya, buku ini dapat didudukkan sebagai laporan tentang sejarah dan fakta JI di Mesir, dari sudut pandang “orang dalam” atau pelakunya sendiri.
Secara historis, kelahiran JI di Mesir sangat terkait dengan konteks perkembangan sosial-politik-keagamaan Mesir menjelang tahun 1970. Kekalahan Arab atas Israel dalam perang Juni 1967, menjadi starting point muncul dan maraknya perkembangan gerakan keislaman di Mesir, khususnya di “kampur-kampus sekuler”. Sebelum itu, aktivitas gerakan keislaman seperti al-Ikhwanul Muslimun (IM) ditekan habis, dan para aktivisnya dijebloskan oleh rezim Nasser ke penjara. Gerakan mahasiswa di kampus-kampus juga didominasi organisasi kemahasiswaan bercorak Marxis, Nasionalis, atau Nasseris. Suara “mahasiswa Islam” nyaris tak terdengar. Tapi kekalahan Mesir dan negara-negara Arab pada perang 1967 betul-betul mengubah peta gerakan mahasiswa, memberi momentum kebangkitan bagi gerakan-gerakan keislaman baru, merangsang munculnya tafsir teologis atas krisis, dan mendelegitimasi rezim yang berkuasa.
JI lahir sebagai respons atas kekalahan yang menyesakkan itu. Dengan semangat kembali kepada Islam sebagai agama dan ideologi yang dipercaya akan memberi jalan keluar bagi pelbagai krisis, benih-benih JI mulai berkecambah. Pada tahun 1968, di Kairo berlangsung demonstrasi besar-besaran yang digalang berbagai elemen gerakan mahasiswa dengan pelbagai corak. Demonstrasi itu menuntut ditentukannya pihak-pihak yang bertanggungjawab atas kekalahan perang 1967. Demonstasi ini menjadi turning point bagi perkembangan gerakan keislaman di kampus-kampus.
Fakultas Arsitektur Universitas Kairo pada awal dasawarsa 1970-an menjadi lahan persemaian paling awal, dan membuahkan embrio JI. Melalui kegiatan-kegiatan keagamaan berbentuk halaqah dan kamp pelatihan (mu`askar) yang rutin, gerakan ini berhasil meluaskan jejaringnya ke fakultas-fakultas, bahkan kampus-kampus lain. Universitas Alexandria yang terletak di pesisir Mesir, merupakan kampus yang paling berjasa mempercepat pertumbuhan JI ke seluruh pelosok Mesir. Mulanya, gerakan-gerakan keislaman itu berkembang secara sporadis di dalam kampus. Tapi para pemuka organisasi keagamaan intra dan interkampus kemudian berkumpul sembari mencetuskan “Jamaah Islamiyah” sebagai sebutan bagi dinamika kegiatan keislaman yang lebih terorganisir.
Eforia kemenangan Mesir atas Israel dalam perang Oktober 1973 di gurun Sinai menambah kuat pengaruh JI yang mengkalim diri memperjuangkan kembalinya Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada tahun 1974-1977, anggota JI sudah berhasil merebut setiap posisi puncak pada organisasi-organisasi kemahasiswaan di hampir seluruh perguruan tinggi Mesir. Sebuah perkembangan yang sangat cepat, jauh dari perkiraan para aktivisnya sekalipun.
Lantas bagaimana hubungan JI dengan IM yang lebih dulu eksis (sejak tahun 1928) sebagai organisasi sosial-keagamaan di Negeri Fir’aun itu? Buku ini memberi tahu, kebanyakan kelompok-kelompok Islam yang berkembang di perguruan tinggi Mesir, memiliki hubungan harmonis secara personal dengan tokoh-tokoh IM. Hubungan itu lebih intim lagi setelah pada musim panas 1971, Presiden Anwar Sadar membebaskan sebagian pemimpin IM yang dipenjara semasa Presiden Gamal Abdun Nasser. Setelah menghirup udara bebas, mereka segera membentuk link dengan kaum muda di kampus-kampus. Banyak dari mereka yang dinobatkan sebagai mentor yang setia berbagi pengalaman dengan para juniornya (hal. 17). Dari para seniornya inilah, anggota JI kemudian menimba pengalaman dalam membangun dan memajukan gerakan keislaman di Mesir.
Lalu bagaimana bentuk struktur organisasi JI; sikap-sikap politik mereka terhadap isu lokal, regional maupun internasioal; pasang surut hubungannya dengan rezim penguasa? Semua itu dapat ditelusuri dari buku tipis nan ringkas ini. Pendek kata, di tengah kelangkaan literatur yang memuat informasi memadai tentang JI, buku ini dapat menjadi rujukan berarti. Buku ini penting dibaca oleh kalangan aktivis pergerakan keislaman, peneliti, akademisi, insan pers, dan semua pihak yang haus informasi akan JI. Tapi, sebagaimana diingatkan sejak awal, buku ini tentu saja mewakili sudut pandang orang JI sendiri. [Novriantoni]
No comments:
Post a Comment