Menjelang bulan suci Ramadan ini, kita seakan-akan dipaksa untuk meninjau ulang asumsi bahwa setiap anak manusia terlahir dalam kesucian yang azali (fitrah). Paling kurang, kita perlu membincangkan lagi syarat-syarat yang memungkinkan konsep fitrah itu dapat terjamin manifestasinya di dunia nyata.
Sebab, akhir-akhir ini, ungkapan normatif itu tampak makin sulit dipertahankan. Sekelompok orang yang mengatasnamakan agama, kini dengan enteng dapat meneror, menyerang, mengusir, dan melenyapkah hak hidup orang-orang yang mereka anggap tidak sepaham dengan mereka.
Gejala serupa tentu juga terjadi di dunia sosial-politik umumnya. Tapi ketika ia didasarkan pada pandangan agama yang dianggap suci, kita betul-betul dipaksa berpikir ulang tentang konsep fitrah. Sudah banyak kasus kekerasan berbungkus agama yang bisa dijadikan dalil untuk meruntuhkan citra kesantuan beragama dan bermasyarakat di negeri ini.
Pada titik inilah kita butuh penjelasan-penjelasan sosiologis ihwal watak dasar manusia yang tak selamanya cocok dengan konsep fitrah.
Ibnu Khaldun, pelopor sosiologi masyarakat Islam misalnya, pernah mengatakan bahwa “Sebagian watak dasar manusia adalah kecenderungan aniaya dan menyerang pihak lain. Bila mata mereka tertumbuk pada aset-aset saudaranya, mereka akan ringan tangan untuk menjarah kecuali ada penangkal yang mampu mengurungkan niatnya” (Majid Khaduri, 1998: 203).
Ungkapan Khaldun itu sesuai dengan syair al-Mutanabbi: “Az-dzulm min syiyamin nufûs, fain tajin dzâ `iffatin fali`illatin lâ yadzlim” (sifat aniaya adalah salah satu watak dasar manusia. Bila ada yang tampak santun, pasti ada alasan mendasar yang jadi penjelasnya). Artinya, potensi barbarisme dan kanibalisme pada dasarnya selalu ada pada tiap individu dan masyarakat.
Sadar akan potensi itu, Ibnu Khaldun menyarankan pentingnya membuat “penangkal” guna meminimalisir kemungkinan aktualisasinya. Hukum yang menjadi aturan main bersama dianggap salah satu penangkal yang perlu dibuat dan ditegakkan.
Jika merujuk sejarah Islam, kita akan tahu bahwa “membentuk solidaritas baru berbasis tertib hukum dan memperkenalkan cara hidup beradab” menurut al-Jabiri merupakan salah satu misi Islam (al-`Aqlus Siyâsil `Arabi, 1999: 22). Atas dasar itu Nabi Muhammad dan suku-suku di Madinah berunding untuk menyusun Piagam Madinah. Dengan Piagam Madinah, hidup bersama dapat dilangsungkan, dan mereka yang lemah tidak diperlakukan semena-mena.
Senada dengan al-Jabiri, Karen Armstong, juga menyebut kalau Islam datang untuk memperkenalkan pola hidup beradab ke tengah masyarakat suku yang telah jenuh menjalankan mekanisme vendata (Muhammad Sang Nabi, 2001: 62). Dalam sistem vendata yang berpangkal dari solidaritas kesukuan, meneror, menjarah, mengusir, dan melenyapkah hak hidup suku yang lemah, dianggap cara-cara yang “benar dan perlu” guna menjamin kelangsungan pola hidup kesukuan.
Tapi, sistem yang tidak berkeadilan tidak selamanya dapat dipertahankan. Agar hidup lebih manusiawi, siapa pun tidak boleh dibiarkan menjadi serigala yang siap memangsa sesamanya (dengan asumsi salah bahwa serigara memangsa sesamanya).
Hukum sebagai penangkal perlu dirumuskan, dan upaya penegakannya mutlak harus diusahakan. Fiat justitia, ruat caelum; keadilan perlu ditegakkan, sekalipun langit akan runtuh, kata para penyinta supremasi hukum. Ideal-ideal hukum disusun dan ditegakkan demi melindungi mereka yang teraniaya, lemah, dan tertindas, meski ia tak selamanya sempurna dan disusun untuk tujuan seluhur itu.
Hukum juga tidak serta-merta menjamin keadilan akan tegak, dan pola-pola hidup yang beradab terjamin. Orang-orang lemah dan tertindas juga tidak otomatis akan terlindungi dan mendapat keadilan yang penuh. Produk hukum yang sudah baik bisa jadi tidak jalan bila tidak ditegakkan secara konsisten dan sekadar menjadi macan kertas yang dapat disobek kekuatan-kekuatan dominan mana pun.
Karena itu, peran masyarakat dalam mendorong proses penegakan hukum atas mereka yang semena-mena selalu diperlukan. Supremasi hukum (bukan pemaksaan kehendak sekelompok orang yang tampak garang) adalah salah satu rukun berdemokrasi. Kalau rukun itu tidak lagi terjamin, masyarakat akan serentak mengucap “selamat tinggal demokrasi, selamat datang hukum rimba!” [Novriantoni]
No comments:
Post a Comment