DALAM beberapa tahun terakhir, mata kepala kita amat sering menyaksikan macam-macam tindak kekerasan manusia atas manusia lain. Berbagai tindak kekerasan itu dengan sempurna mampu menegakkan supremasi horor di atas nilai-nilai perdamaian dalam kehidupan dan peradaban kemanusiaan secara umum.
Tindak pelenyapan fisik, jiwa, atau etos untuk bisa hidup secara damai dalam diri manusia terjadi berulang-ulang. Peristiwa itu tak hanya terjadi pada level nasional, tetapi lebih luas berskala internasional. Kasus peledakan bom yang meminta banyak nyawa manusia, misalnya, tidak hanya terjadi di Bali dan di Jakarta. Peledakan bom di Najaf, Baghdad, dan banyak tempat lain, sungguh telah menyayat-nyayat rasa kemanusiaan kita.
Namun, ironi segala ironi adalah ketika berbagai teror dilakukan atas nama agama atau sembari melibat-libatkan agama di dalamnya. Seperti kita saksikan, beberapa pelaku tindak teror mutakhir di negeri ini menggunakan simbol-simbol agama tanpa sungkan, bahkan tanpa rasa berdosa sama sekali. Senyum puas dibarengi fantasi tuntasnya misi suci agama (jihad) seakan meneteskan air cuka di atas luka kemanusiaan yang menganga.
Memang, banyak pihak tak rela, Islam diasosiasikan dengan tindak teror yang biadab seperti bom Bali. Hanya saja, banyak umat Islam terkecoh oleh simbol-simbol Islam yang diusung para pelaku teror. Tanpa sadar, mereka yang terkecoh telah digiring kalangan teroris pada sikap pembenaran tak langsung-paling tidak apologia-atas horor kemanusiaan itu. Sungguh sebuah ironi yang mendalam!
Melihat ironi sedemikian rupa, tepatlah kiranya mengutip apa yang pernah dikatakan seorang filosof humanis zaman klasik Islam, Abu Hayyan At-Tauhidi: "Al-insân asykala ’alaihil insân" (sungguh, manusia telah sengsara oleh manusia lainnya!). Lantas, mengapa ironi sedemikian rupa terjadi?
Kontribusi nalar teologis
Jawaban yang mudah untuk pertanyaan itu tentu dengan pola eskapisme, yaitu dengan mengatakan, itu terjadi-kurang lebih-karena para pelakunya tidak memahami ajaran agama atau memahami ajaran agama secara keliru. Dengan jawaban ini, praktis agama dan beberapa aspek bermasalah dalam doktrin yang dikandungnya terbebas dari kritik. Dengan begitu pula, agama tetap necis dan ortodoksi atas agama juga tetap terjaga secara sempurna.
Dalam buku Al-Fikrul Islâmy: Naqdun wa Ijtihâdun, pemikir Islam kontemporer asal Aljazair, Mohamed Arkoun, menggarisbawahi, dalam konteks beragama ada sebentuk nalar yang disebut dengan istilah nalar teologis (al-’aqlul aqâ'idy). Ciri terpenting nalar ini adalah kecenderungan yang amat memusatkan persoalan kepada Tuhan, pembahasan problem ketuhanan, sembari merendahkan dan memandang sebelah mata harkat dan martabat manusia dan problem kemanusiaan.
Sebuah contoh agak nyata dikemukakan Arkoun. Bagi seorang ilmuwan sosial yang terbiasa dengan pelbagai kajian humaniora (dengan begitu dia diharapkan bernalar humanis), kematian umat manusia-tak peduli yang durhaka sekalipun, apalagi dalam jumlah besar-mengandung makna sosial yang amat penting. Sementara seorang teolog melihatnya tak lebih sekadar peristiwa biasa. Bila yang tertimpa kematian tak wajar adalah umat di luar keyakinannya (entah secara mazhab pemikiran atau berbeda dalam aspirasi sosial-politik), mereka segera saja menanggapinya secara enteng dan ringan belaka.
Maka, tak heran bila Arkoun melakukan kritik pedas terhadap kalangan yang menganut nalar teologis, mulai dari yang klasik sampai modern. Menurut Arkoun, penganut nalar teologis tak jarang merupakan orang yang tidak peduli dengan problem kemanusiaan. Mereka selalu meletakkan problem lenyapnya nyawa manusia dalam kerangka di mana Tuhan sedang berkepentingan menghukum orang yang dimurkai (dan dimurkai para penganut nalar ini, tentunya).
Jika dicermati secara kritis, khususnya pada aspirasi hukum, mereka sebenarnya tersembunyi sebentuk nalar yang lebih mendahulukan sanksi yang bersifat represif (sampai tingkat hukum bunuh sekalipun) ketimbang sanksi yang bersifat restitutif atas pelaku kejahatan.
Dari teosentrisme ke antroposentrisme
Agak senada dengan Arkoun, pemikir asal Mesir, Hassan Hanafi, menjelaskan persoalan kemanusiaan ini dari sisi paradigma pemikiran keagamaan yang dianut individu ataupun komunitas tersebut. Hanafi mengkritik paradigma pemikiran dan penghayatan keagamaan yang dia sebut kelewat teosentris. Paradigma berpikir dan penghayatan keagamaan ini menganggap segala yang dikerjakan manusia adalah untuk Tuhan semata, sembari meniscayakan tersingkirnya nilai-nilai kemanusiaan. Mengabdi kepada Tuhan dalam bentuk ritual ibadah dipandang untuk kepentingan Tuhan itu semata. Padahal, Tuhan tidak berkepentingan atas ibadah manusia, justru manusialah yang butuh akan ibadah untuk kemaslahatan mereka sendiri.
Yang paling mengkhawatirkan dari paradigma pemikiran dan penghayatan keberagamaan yang teosentris ini adalah kenyataan bahwa penganutnya potensial untuk "dimabuk Tuhan". Dan, bila "mabuk Tuhan" sudah terjadi, tak jarang kita menyaksikan tindakan yang justru tanpa ampun melenyapkan umat manusia sendiri. Sadar akan potensi destruktif pola berpikir dan menghayati agama yang demikian, Hanafi mengusulkan agar kita lebih kuat lagi menekankan pola keberagamaan yang bersifat antroposentris; sebuah pola keberagamaan yang bertepa selira dengan umat manusia dan problem-problem kemanusiaan universal.
Untuk merealisasikan pola keberagamaan demikian itu, Hanafi menggagas perlunya kita keluar dari fase teosentris ketuhanan yang lama, menuju fase kemanusiaan. Peradaban Islam perlu keluar dari wawasan keberagamaan yang teosentris menuju peradaban yang antroposentris. Dalam peradaban yang teosentris, segala sesuatu diabdikan untuk Tuhan itu sendiri, sementara dalam peradaban yang antroposentris, peradaban ditujukan untuk setinggi mungkin mengangkat harkat dan martabat umat manusia. Peradaban selalu dibangun untuk kemanusiaan, bukan untuk Tuhan. Sebab, sebagaimana Gus Dur menyebut "Tuhan tidak perlu dibela", maka "Tuhan pun tidak butuh peradaban". Manusialah yang butuh memanfaatkan peradaban itu supaya bisa menangkap kebaikan Tuhan.
Hanya saja, jalan menuju peradaban kemanusiaan itu tidaklah lempang, mudah, dan mendatar. Untuk menuju peradaban kemanusiaan, kita membutuhkan semacam revolusi peradaban (tsauratul hadlârah) dari paradigma yang teosentris tadi menuju paradigma yang antroposentris. Tugas berat tersebut membutuhkan pemindahan kutub paradigma kita dari ilmu tentang Tuhan yang selama ini banyak kita kenal, menuju pelbagai ilmu humaniora, pengetahuan yang lebih dalam tentang umat manusia. Ilmu-ilmu ketuhanan yang dipelajari untuk Tuhan itu sendiri, di lingkungan pesantren misalnya, sudah saatnya direvisi agar lebih mempertimbangkan implikasinya bagi sisi-sisi kemanusiaan.
Perubahan orientasi mempelajari ilmu-ilmu tersebut dan pergeseran penekanan paradigmanya menjadi sangat relevan, apalagi di tengah persoalan kemanusiaan yang kita hadapi akhir-akhir ini. Pengajaran agama pada hakikatnya tidak pernah untuk agama itu sendiri. Agama selalu saja diperuntukkan demi mengangkat harkat dan martabat manusia. Agama yang dilaksanakan dengan tidak menghargai harkat dan martabat manusia, agamawan yang ringan hati ingin melihat lenyapnya jiwa manusia, sesungguhnya sudah menjauhkan diri dari nilai-nilai luhur dan universal dari agama itu sendiri. Sudah saatnya kita perlu menemukan kandungan nilai kemanusiaan yang terpendam dalam khazanah keagamaan yang kita punya.
Mempertegas sudut pandang humanisme agama adalah tugas semua umat beragama. Ini penting diupayakan agar umat beragama tidak menjauhkan diri dari agama itu sendiri.[Novriantoni]
No comments:
Post a Comment