Kontroversi The Da Vinci Code, novel laris Dan Brown yang terbit 2003, kini disusul film dengan judul serupa; adaptasi dari novel tersebut. 19 Mei lalu, film The Da Vinci Code diputar serentak di seluruh dunia. Bagi sebagian umat Kristen, khususnya kalangan Katolik, inilah karangan fiksi dan film paling menggemaskan dan mungkin saja menggoncang iman (tentu bagi yang lemah imannya).
Heboh The Da Vinci Code memang terkait beberapa gambaran tentang aspek mendasar keyakinan Kristen. Novel dan film tersebut memuat gagasan-gagasan kurang lazim dan tidak dianut arus utama teologi kekristenan. Misalnya, di situ digemakan bahwa Yesus atau Isa Almasih bukanlah Tuhan, melainkan seorang manusia. Sebelum abad keempat, Yesus hanya dianggap manusia, namun Kaisar Imperium Romawi kala itu, Konstantin, mendewakan-Nya sesuai keyakinan lamanya yang paganis. Untuk keperluan klaim-klaim Kristen belakangan, Alkitab, setidaknya yang dianggap otoritatif, disunting dan digarap sesuai keinginan kekuasaan kala itu.
Yang tak kalah menegangkan, Yesus juga diceritakan telah menikahi Maria Magdalena yang kemudian mengandung dan melahirkan anak-Nya. Karena itu, Magdalena mestinya mendapat penghormatan lebih. Sampai saat ini, masih dalam alur fiksi Brown, garis keturunan Yesus dari Magdalena masih eksis di Eropa. Dan konon, Magdalena-lah orang pertama yang ditunjuk untuk mendirikan gereja Kristen, bukan Santo Petrus.
Imajinasi Brown terus melambung, bermain antara fakta dan fiksi. Alkisah, sampai kini, komunitas bawah tanah Biarawan Sion masih mengagungkan sosok Magdalena dan berusaha menjaga kebenaran yang misterius itu. Selama berabad-abad, Gereja Katolik berusaha menutupi ”kebenaran” itu, bahkan tak segan-segan membunuh orang-orang yang berusaha mengungkapnya.
Masih banyak kontroversi yang tak perlu dimuat di sini. Pendek kata, semua itu cukuplah membuat murka orang-orang yang dogmatis dan tidak matang dalam beragama. Untuk ukuran orang Kristen, heboh The Da Vinci Code mungkin setara, bahkan lebih mendasar ketimbang huru-hara kartun satiris Nabi Muhammad di koran Denmark, Jylland Posten, beberapa bulan lalu.
Tapi yang ingin dibahas di sini adalah tanggapan umat Kristen umumnya, terutama kalangan Katolik, terhadap pendekatan kritis atas agama, untuk kita bandingkan dengan sikap umumnya umat Islam.
Respons Umat Kristen
Alhamdulillah, umat Kristen Indonesia tidak menanggapi The Da Vinci Code secara kalap dan membadak. Dengan begitu, hak semua orang untuk membaca suatu agama dengan pendekatan kritis tetap terbuka. Tidak ada demonstasi besar-besaran, apalagi bakar-bakaran. Dan yang penting, para pemuka gereja tidak tergiur mengikuti tradisi sebagian ulama Islam yang suka memfatwa-mati orang yang berpandangan kritis terhadap agama. Karena itu, mereka perlu diberi kredit. Satu-kosong, untuk lepasnya umat Kristen Indonesia dari masa puber beragama, terutama dalam menyikapi iklim kebebasan berekspresi yang baru seumur jagung di negeri ini.
Memang ada beberapa keberatan kecil yang muncul. Namun itu semua tidak menutup akses kita untuk membaca atau menonton. Konon, Persekutuan Injili Indonesia memprotes penayangan film yang dibintangi aktor kawakan, Tom Hanks, itu. Mereka sempat meminta Menkominfo melarang pemutaran film produksi Columbia Pictures itu, karena dianggap menodai agama Katolik. Tapi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) selaku organisasi resmi Katolik Indonesia, tak menuntut hal serupa. Mereka cukup mengajak umat Kristiani untuk tidak menonton. Dengan demikian, masih tersisa ruang kebebasan bagi banyak orang untuk belajar: penasaran silakah tonton; takut iman goyah, jangan tutup kesempatan orang untuk menonton!
”Itu fiksi belaka, bukan fakta historis Alkitab, dan tidak mengguncangkan iman umat,” tandas Benny Susetyo, salah seorang pengurus KWI. Rohaniawan Katolik terkemuka, Franz Magnis-Suseno, berkomentar hampir sama, meski tak mampu menyembunyikan kekesalannya terhadap Dan Brown: “... umat dan uskup-uskup Indonesia tenang saja. Gereja kiranya tidak akan runtuh karena kekurangajaran seorang Dan Brown.” Sungguh, itulah sikap yang matang dalam beragama, setara dengan ajaran normatif Qur’an yang dilupakan banyak umat Islam, man syâ’a falyu’min, wa man syâ’a falyakfur (yang bersedia, silakan beriman; yang tidak, silakan inkar) atau la ikrâha fid dîn (tiada paksaan dalam paham keagamaan).
Di tingkat dunia, ada juga reaksi serupa, tapi masih dalam batas-batas yang wajar. Dalam konferensi pers 28 April 2006, Uskup Agung Angelo Amato, sekteratis Kongregasi Doktrin dan Keimanan Vatikan, menyerukan pemboikotan atas film The Da Vinci Code. Sementara Kardinal Arinze, dari Kongregasi untuk Peribadatan Suci dan Ketentuan Sakramen, menyatakan akan melakukan gugatan hukum yang belum ditentukan terhadap pembuat film.
Tapi sambil menyindir-nyindir kalangan fundamentalis yang gampang panik iman, walau selalu merasa paling kukuh memperjuangkan agama, dia mengatakan, ”Ada agama lain yang bila sosok agung dalam agamanya dihina sedikit saja, mereka bertindak lebih dari sekadar kata-kata. Mereka tak sungkan-sungkan membuat engkau betul-betul sengsara.” (http://en.wikipedia.org/wiki/The_Da_Vinci_Code_%28film%29).
Respon Islam Fundamentalis
Gampang diduga, baik novel Dan Brown yang terjual sebanyak 60,5 juta eksemplar (sampai Mei 2006), dan diterjemahkan dalam 44 bahasa itu, maupun filmnya, akan mendapat sambutan hangat di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, Penerbit Serambi yang memegang hak terjemah dan penjualan novel tersebut, juga ketiban berkah. Tak ada keberatan dari umat Kristen Indonesia atas Serambi. Tidak ada pula sweeping maupun tuduhan penodaan agama. Kini, filmnya hadir mengusik rasa penasaran kita, dan sambutannya sungguh luar biasa. Tiket-tiket bioskop Jakarta ludes terjual. Penonton membludak, yang tidak dapat tiket memendam rasa penasaran.
Gampang pula disangka, kalangan fundamentalis Islam Indonesia akan menyambut The Da Vinci Code dengan suka cita. Sudah lama mereka membangun pendekatan kritis atas segala agama, kecuali agama yang dianutnya, terutama demi menelanjangi agama Kristen. Untuk itu, standar ganda mereka terapkan. Karya-karya populer semacam The Da Vinci Code perlulah dijadikan rujukan untuk menghantam dasar-dasar teologi kekristenan.
Respons Adian Husaini, tokoh fundamantalis Islam Indonesia paling terdidik saat ini, relevan dikemukakan. Adian menemukan amunisi gratis untuk melakukan serangannya atas kekristenan dan umat Kristen Indonesia. ”The Da Vinci Code adalah sebuah novel yang memporak-porandakan sebuah susunan gambar yang bernama Kristen itu,” tulis Adian di Republika, Kamis, 28 April 2005.
Sikap Adian terhadap pendekatan kritis atas agama lain, bertolak belakang dengan pendekatan sejenis atas Islam; sebuah sikap yang jauh dari semangat ilmiah dalam studi agama-agama. Saya berpikir, sikap Adian dan kawan-kawannya yang hampir paranoid menunjukkan aib dan keburukan agama lain, kadang menimbulkan kesan tidak adanya kebenaran instrinstik dalam Islam, kecuali bila mampu menunjukkan kepalsuan agama lain. Mungkin semangat itulah yang masih melingkupi orientasi studi perbandingan agama di perguruan tinggi kita, dan khutbah-khutbah dalam masjid dan majlis taklim negeri ini.[Novriantoni]
No comments:
Post a Comment