Selasa (21/3) kemarin, Peraturan Bersama Menag dan Mendagri No. 9/2006 dan No. 8/2006 sebagai revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri No. 1/1969 tentang pembangunan rumah ibadah ditandatangani.
Ada nada optimis akan kerukunan umat beragama dengan ditandanganinya aturan bersama itu. Menteri Agama berharap revisi ini dapat memberdayakan masyarakat dalam memelihara kerukunan beragama. Sebab, aturan ini akan menjadi pedoman gubernur, bupati, camat, dan kepala desa dalam pemeliharaan kerukunan beragama dan pengaturan rumah ibadah.
Optimisme juga muncul dari ungkapan Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin. Ia menegaskan, Indonesia memang perlu instrumen hukum bagi upaya membangun kerukunan antarumat beragama yang sejati. Penandatanganan aturan soal rumah ibadah ini, ia anggap sebagai alat untuk menghindari konflik antarumat beragama.
Namun, nada pesimis juga muncul. Misalnya dari sebagian kalangan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI). Mereka pesimis, misalnya soal syarat dukungan paling sedikit 60 orang masyarakat setempat yang harus disahkan lurah atau kepala desa, selain tanda tangan dan KTP 90 orang yang akan menggunakan rumah ibadah tersebut.
Itu hanya sebagian keberatan mereka. Dan memang cukup logis juga. Karena saya menilai, memang ada beberapa titik rawan konflik dalam aturan bersama ini. Untuk lebih rinci, saya perlu kembali merefleksi butir-butir yang nantinya akan menjadi titik rawan konflik dalam pembangunan rumah ibadah dan memundurkan kerukunan umat beragama.
Pertama-tama, kita perlu memahami konteks keluarnya aturan revisi ini. Setahu saya, aturan ini lahir ketika semangat intoleransi beragama bergejolak di banyak tempat, seperti meluasnya aksi penutupan rumah ibadah oleh pihak-pihak yang menganggapnya tidak legal. Karena itu, aturan ini dapat dibaca sebagai respons atas semangat intoleransi yang terjadi di banyak tempat, baik dalam soal rumah ibadah, ataupun dalam relasi sosial antar agama yang lebih umum.
Dalam konteks demikian, mestinya sebuah aturan atau produk hukum hadir dengan maksud untuk menunjang terciptanya masyarakat yang lebih toleran. Asumsinya, kondisi intoleransi dalam masyarakat dapat dibenahi dengan adanya aturan bersama yang legal. Namun tampaknya, alih-alih mengusung dan menguatkan semangat toleransi, beberapa butir aturan baru ini tampaknya rawan terjebak pada upaya menguatkan intoleransi. Apa buktinya?
Pertama, bayangkanlah keberadaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang antara lain bertugas membuat rekomendasi boleh-tidaknya suatu rumah ibadah dibangun. Komposisi orang atau kelompok yang akan mengisi forum ini tidak dibatasi secara spesifik (misalnya dari Islam hanya diwakili NU dan Muhammadiyah sebagai sayap kembar moderat Islam), tapi dibuat seumum mungkin, sehingga sangat mungkin dimasuki para pemuka dan kelompok keagamaan yang tidak toleran.
Prediksi saya, bila forum ini dibanjiri wakil-wakil kelompok agama apapun yang tidak toleran, ia justru akan menjadi medan tempur antaragama dan institusi penghambat pembangunan rumah ibadah. Rebirokratisasi dan repolitisasi pembangunan rumah ibadah yang amat rumit, akan bermula dari forum ini.
Kita bisa optimis kalau forum ini diisi oleh agamawan-agamawan yang toleran dan mengerti pentingnya kebebasan beragama tiap-tiap orang dan menghargai Pancasila dan UUD 45. Tapi bagaimana kalau forum ini diisi oleh orang-orang yang picik, penuh iri dan dengki, dan tak ingin agama-agama saling berdialog dan bekerja sama dalam kerangka keragaman masyarakat Indonesia?
Karena itu, janji Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, bahwa PBNU akan terus mengondisikan masyarakat agar tak sulit dalam memberi rekomendasi, menjadi penting dicermati. Itu artinya, secara implisit Pak Hasyim mengerti betul kalau forum ini suatu saat akan menjadi ajang kontestasi kuasa dan unjuk rasa intoleransi yang justru dapat menghambat kerukunan umat beragama.
Kedua, persyaratan dukungan minimal 60 orang masyarakat setempat, selain 90 orang yang akan menjadi jemaah suatu rumah ibadah, juga akan sangat problematis. Aspek persetujuan 60 orang itu akan sangat rawan manipulasi, politisasi, dan bisa menjadi lahan perseteruan. Bisakah kita membayangkan minoritas Kristen di tengah-tengah mayoritas Islam akan dengan mudah mendapat restu minimal 60 orang masyarakat setempat ketika hendak membangun sebuah gereja?
Bayangkan juga hal sebaliknya: apakah mudah bagi umat Islam di wilayah mayoritas Kristen atau agama lainnya untuk mendapat persetujuan minimal 60 orang masyarakat setempat demi membangun sebuah masjid? Cobalah dikiaskan dengan contoh-contoh lainnya.
Saya rasa, aturan ini tidak akan banyak membantu terciptanya kerukunan antarumat bergama. Ketika tidak ada kekuatan-kekuatan sosial keagamaan yang mengupayakan terciptanya harmoni dan toleransi antar umat beragama di suatu daerah, kaum minoritas hanya akan mengurut dada untuk punya sebuah rumah ibadah. Artinya, aturan ini sangat terkait dengan seberapa lapang dada dan toleran masyarakat setempat terhadap perkembangan agama lain.
Karena itu, yang perlu direnungkan lebih dalam daripada butir-butir aturan ini adalah soal iklim kehidupan beragama kita yang makin tidak toleran dan sangat gampang dipolitisir. Peningkatan tren intoleransi itulah yang kini ditunjukkan data-data survei lembaga semacam LSI (Lembaga Survei Indonesia). Lalu apa yang bisa diperbuat oleh aturan baru ini ketika masyarakat memang tidak toleran? Itulah yang kelak menjadi tugas kita bersama! [Novriantoni]
No comments:
Post a Comment