Selalu ada promosi cuma-cuma atas sebuah produk sebagai akibat tak terduga dari kontroversi hebat seputar produk tersebut. Rumusnya: yang dilarang justru yang diidam-idamkan (al-mamnû’ al-marghûb). Itulah yang kini terjadi pada film remaja, Buruan Cium Gue (BCG) yang menuai kritik dan protes Majlis Ulama Indonesia (MUI), dai kondang Aa’ Gym, dan beberapa eleman masyarakat. Sejak dari judul, Buruan Cium Gue dianggap sudah mengundang kritik. Makanya, dengan tafsiran yang agak jauh, Aa’ Gym memelesetkan judulnya menjadi --maaf-- Buruan Zinahi Gue! Menurut Aa’, dialog dan adegan berciuman --tentu saja dilakukan di luar nikah, karena para pemainnya masih belia dan belum mencicipi mahligai rumah tangga-- yang ditampilkan film BCG sudah setapak langkah menuju perzinahan. Sementara Alquran menganjurkan jauh-jauh dari perzinahan, BCG seolah memanggil untuk menghampiri perbuatan asusila tersebut. Begitu kira-kira logika yang ada di benak mereka yang mengritik film ini.
Tidak hanya dari judul, film produksi Multivision Plus (MVP) ini bisa dikritik. Siapapun yang sempat menyaksikannya mungkin berkesimpulan bahwa, dari segala aspek penilaian mutu perfilman, BCG dapat dikategorikan “kurang bermutu”. Akting para pemainnya nyaris tanpa penghayatan, dialognya tidak cerdas, skenarionya cetek, suaranya sayup-sayup, penuh iklan di mana-mana, dan sangat kentara kesan penggarapan tanpa standar mutu yang ketat. Dibandingkan sebagian film nasional lain yang pernah digarap beberapa sutradara muda berbakat Indonesia, seperti AADC, Arisan dan terakhir, Mengejar Matahari, jelaslah BCG akan terperosok ke tangga terendah dari segi mutu.
Tapi lepas dari itu, sudah barang tentu banyak biaya dan tenaga yang dikerahkan mereka yang terlibat dalam produksi BCG. Film ini juga sudah lolos sensor --meskipun dinilai sebagian pihak terlalu longgar-- dari Lembaga Sensor Film (LSF). Mestinya, tinggal mekanisme pasar yang bekerja. Bila BCG dianggap bermutu, pasar tentu akan bereaksi positif: menerima, mengapresiasi, dan dengan sendirinya memberi banyak keuntungan. Tapi nampaknya itu tidak terjadi, sampai muncul kontroversi yang sialnya menjadi promosi gratis untuk produk yang bermutu rendah. Kontroversi yang disulut MUI dan Aa’ Gym, rupanya menjelma jadi “berkah” bagi film yang tidak lebih baik dari film-film Warkop tahun 1970 dan 1980-an ini.
Rupanya di era globalisasi dan pasar bebas ini, mekanisme pasar tidak bisa diandalkan --dan memang bukan kewajibannya-- untuk menyeleksi produk-produk yang bermutu rendah. Makanya, sebagian pihak merasa terpanggil untuk melakukan proses seleksi atas komoditas yang dikuatirkan berekses negatif pada norma susila masyarakat. Dalam konteks itulah, BCG didaulat potensial menggoncang sendi-sendi “moral” masyarakat, khususnya kawula muda. Masuk akal!
Namun masih tersisa beberapa pertanyaan mendasar. Umpamanya: tidakkah di balik “misi mulia” itu tersirat pengandaian bahwa masyarakat mengidap sindrom ketidakdewasaan yang abadi, sehingga selalu memerlukan pihak-pihak yang mewakili mereka untuk menerangkan soal baik-buruk? Tentang moral kita bertanya: mengapa kepedulian dan reaksi kalangan agamawan terhadap kategori soal pornografi dan pornoaksi selalu lebih gesit dan lantang dibandingkan reaksi atas isu-isu moral kemanusiaan seperti penggusuran, diskriminasi, manipulasi, korupsi, dan lain sebagainya? Apa kita tidak sedang mengalami reduksi yang paling menakutkan atas makna moral itu sendiri? Pada akhirnya saya berharap, reaksi dan “keprihatinan nasional” atas kasus ini bukan bagian dari tontonan yang paling memprihatinkan tentang lakon reduksi massal atas makna moral. [Novriantoni]
No comments:
Post a Comment