Kasus pewajiban jilbab dan busana islami (bagi orang Islam) dan anjuran memakainya (untuk non-Islam) yang diberlakukan lewat Instruksi Walikota Nomor 451.422/Binsos-III/2005, tertanggal 7 Maret, di Padang, sesungguhnya telah menimbulkan gap antara kebangsaan dan keislaman yang eksklusif di Indonesia. Simbol-simbol keislaman eksklusif tidak lagi dipandang sebagai komplementer atas kemajemukan simbol dan nilai agama dan kebudayaan Indonesia, tapi sudah mengatasinya. Sayangnya, gejala ini luput dari kesadaran banyak pihak.
Perda-perda syariat dan aturan lokal yang kental bersemangat provinsial dan sektarian pada era otonomi daerah ini, mestinya sudah menjadi kajian dan pusat perhatian pakar hukum dan orang-orang yang peduli pada nilai-nilai kebhinekaan Indonesia. Mereka seyogyanya turun gunung demi mengkaji kemungkinan gap antara perda-perda tersebut dengan aturan dan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang menjadi perekat dan filosofi keindonesiaan kita.
Betapa tidak, formalisasi syariat di banyak tempat sudah berlangsung cukup liar. Cianjur, Sukabumi, Pamekasan, Bulukumba, adalah beberapa contoh saja. Yang unik dari Padang hanya soal pewajibannya yang sudah menyentuh privasi umat non-Islam dan eksistensi keragaman aspirasi agama dan kultur masyarakat Padang yang (tentu) juga majemuk. Dalam kasus Padang, pewajiban jilbab ditopang pula oleh klaim sosio-kultural masyarakat Padang yang konon tidak mengenal lagi keterbelahan antara adat dan agama. Kredo ‘adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah’ yang secara historis menjadi formula untuk mendamaikan kelompok adat dan kelompok paderi, kini sudah bergeser pemahaman. Aspirasi adat dan agama, bahkan antara keminangan dan keislaman, kini telah bersatu.
Mungkin orang Padang kini mengklaim bahwa keminangan adalah keislaman itu sendiri. Menjadi orang Minang atau sekadar tinggal di Padang, seakan-akan sama artinya dengan menjadi Islam, persis seperti salah satu ciri kemelayuan. Karena itu, orang-orang yang menentang kebijakan ini, tak ayal akan tertumbuk ‘dua karang’ sekaligus: karang keislaman dan keminangan. Penentang islamisasi yang formalistik itu akan divonis durhaka pada agama (Islam) sekaligus mendelegitimasi identitas keminangannya sendiri.
Makna Politis Pewajiban Jilbab
Cermatilah ungkapan-ungkapan Walikota Padang dan para buya yang mendukung kebijakan itu. Dalam talkshow di sebuah televisi swasta (18/5), Walikota Padang, Fauzi Bahar, sontak menganggap yang kontra kebijakannya sebagai bukan orang Padang; mungkin pendatang. Dia juga mengimbau agar kasus ini tidak dipolitisasi. Tapi dia lupa bahwa kebijakan itu sendiri merupakan kebijakan politik. Instruksi bapak Wali tentu dilakukan dalam sebuah proses politik, dan akan otomatis punya implikasi politik luas baik pada tingkat lokal maupun nasional.
Karena itu, absah saja bila orang coba menghubungkan instruksi itu dengan konteks perpolitikan lokal seperti momentum Pilkada. Konteks Pilkada menjadi variabel penting karena pada dasarnya setiap kandidat yang berkompetisi berusaha mencitrakan diri sebagai pendukung aspirasi agama mayoritas dan pengayom syariat. Dalam masyarakat berbasis sosio-kultural yang ‘religius’ seperti Padang, strategi itu tentu akan diberdayakan tiap-tiap kandidat. Dalam konteks itu pula, masuk akal kalau upaya menentang campur tangan birokrasi negara atas aspek yang sangat privat pada diri masyarakat (soal memakai apa) menjadi tidak strategis dan dihindari semua pihak. Mereka yang tetap nekat memilih aspirasi sebaliknya, cepat sekali terstigma sebagai kelompok sekuler, fobia Islam, berikut diragukan identitas lokal kepadangannya.
Suara Lirih Kaum Minoritas
Karena itulah aspirasi-aspirasi kaum minoritas menjadi tersumbat. Kepada penulis, Sudarto, Direktur Pusat Studi Antar Komunitas (Pusaka) yang giat dalam kegiatan dialog lintas iman di Padang, mengibaratkan aspirasi kaum minoritas seperti suara lirih di tengah koor serentak mayoritas. Pengajar agama Islam di Sekolah Katolik Don Bosco Padang itu menyebutkan bahwa kaum minoritas terpaksa mencari jalan selamat karena kuatir dianggap melawan penguasa dan suara mainstream yang kini sedang mengalunkan melodi yang sudah mulai sumbang.
Upaya-upaya penolakan hanya akan dituding fobia Islam dan tidak taat pada penguasa yang mengadopsi aspirasi Islamis yang tidak inklusif dan kurang toleran. Upaya penentangan jelas tindakan konyol yang akan membuahkan stigma. Walhasil, sambil mengurut dada, mereka hanya berharap proses itu cepat surut dan akan menuai resistensi dari kalangan pendukung Islam kultural dan elemen-elemen masyarakat sipil.
Tapi ironis, kalangan Islam kultural sudah terkooptasi dalam aspirasi Islamis yang menstruktur. Kalangan adat yang dalam sejarah Sumbar berkonflik cukup lama dengan kalangan paderi, kini sudah tidak lagi memandang perlu melakukan penentangan. Selain kekuatan mereka tidak lagi signifikan, kebijakan formalisasi syariat juga belum lagi menyentuh kepentingan mereka (seperti persoalan tanah ulayat dan persoalan lainnya).
Fasisme Kaum ‘Moralis’?
Tapi adakah semua orang alpa bahwa aspek paling mengkhawatirkan dari kasus ini adalah potensinya yang mengarah liar pada fasisme berlabel agama? Simaklah komentar Walikota Padang, Fauzi Bahar, soal mengapa kalangan non-muslim juga dianjurkan berjilbab. Dalam talkshow yang sama beliau mengatakan, “Kalau ada sekawanan domba berwarna putih disela oleh beberapa domba berwarna biru, tentu tidak akan enak dipandang.”
Tanpa konsultasi dengan agamawan non-Islam, Pak Wali sudah tetap melangkah tanpa mempertimbangkan aspirasi minoritas di negara-bangsa yang majemuk ini. Klaim-klaim moralnya yang sepihak, ikut didiktekan untuk berlaku universal. “Saya rasa, umat agama lain juga tidak senang melihat pakaian muda-mudi yang tidak sopan,” tegasnya yakin.
Ungkapan Pak Wali mungkin saja benar. Tapi ia juga mengindikasikan kecenderungan fasisme yang bernafsu menyeragamkan dan mendisiplinkan masyarakat dalam satu corak pikir dan cara bertindak. Sungguh sayang jika pola pikir seperti itu merasuki pemimpin daerah yang mestinya sensitif akan pluralitas masyarakat. Lebih dari itu, kecenderungan itu sungguh telah mengalahkan falsafah dasar kebhinekaan yang menjadi corak identitas keindonesiaan.
Karena itu, kecenderungan fasisme mestinya dihambat untuk berkembang pada kalangan ‘moralis’ yang selalu tergoda untuk menyeragamkan masyarakat dalam satu klaim moral. Pada titik ini, relevan rasanya mengutip warning almarhum Mansour Fakih dalam pengantar buku Fasisme. Fakih jauh-jauh hari sudah mensinyalir indikasi kuat fasisme pada kaum ‘moralis’ amar makruf nahi munkar. Umpamanya, penertiban ‘tempat-tempat maksiat’ yang dianggap tidak bermoral, mereka lakukan sembari melabrak hak-hak asasi ekonomi, sosial, politik, dan budaya masyarakat yang beragam.
Artinya, atas nama menegakkan kebajikan dan memangkas kemungkaran, mereka tanpa sadar menggunakan pendekatan, metode, dan teknik-teknik fasistik. Saya kira, kecenderungan-kecenderungan seperti ini, di manapun ia terjadi, harus cepat-cepat dihentikan demi keutuhan nilai-nilai kebangsaan Indonesia nan majemuk. Ia juga perlu dilakukan demi menjaga proses konsolidasi demokrasi dari bajakan musuh-musuhnya. [Novriantoni]
No comments:
Post a Comment