Thursday, January 10, 2008

Tuhan Pasca-Tsunami

14/01/2005

Tulisan ini sebelumnya dimuat di Kompas, 14 Januari 2005

Jum’at (7/1) kemarin, salah seorang teman yang kini telah menjadi “kiai muda” di Tangerang, menumpahkan kegundahan hatinya soal diskursus tentang Tuhan yang berkembang setelah bencara gempa dan tsunami melanda kawasan Asia Tenggara (26/12), khususnya Aceh sebagai kawasan terparah. Melalui pembicaraan via telepon, dia menyatakan gerah akan khutbah “kiai-kiai Orba” (istilah teman kita tadi) yang sempat dia dengar siang Jum’at itu.

Sudah bisa diduga, dalam bencana besar seperti gempa pemboyong tsunami yang menewaskan tak kurang dari 100.000 orang Aceh ini, akan banyak sekali orang yang tidak puas dengan sekadar penjelasan ilmiah. Keterangan para ahli gempa dan tsunami soal lempengan-lempengan bumi yang bergeser setiap tahun, lantas bergetar, menelan dan lalu memuntahkan air yang sedemikian dahsyat tidak dianggap memadai untuk memuaskan dahaga keingintahuan mereka.

Makanya, selalu ada banyak orang yang terobsesi untuk tahu lebih dalam tentang penyebab terjauh dari semua itu dengan melontarkan pelbagai ultimate questions. Kalau sudah berpikir soal penyebab terjauh, perbincangan tentulah sudah masuk ke ranah filsafat atau teologi. Lantas muncullah pertanyaan: sejauh apa peran Tuhan di dalam "menghajar" sedemikian banyak korban itu? Pada titik inilah spekulasi-spekulasi teologis berlangsung dengan begitu liarnya.

Dan, benar saja. Menurut teman tadi, di masyarakat kita, kini ada beberapa spekulasi teologis yang semarak bermunculan pascagempa dan tsunami yang mengentakkan nurani dunia itu. Pertama, bagi "kiai-kiai Orba" yang punya corong untuk berkhotbah di masjid-masjid itu, bencana sebesar ini tak lain adalah hukuman Tuhan atas kealpaan dan kesombongan kita selama ini. Lebih spesifik, mereka bahkan menyebut bencana ini sebagai akibat atau buah dari pertikaian antara pelbagai elemen anak bangsa di Serambi Mekkah yang tidak kunjung usai.

Dengan elaborasi yang cenderung menyederhanakan, mereka menyayangkan TNI dan GAM yang saling bunuh. Sementara itu, rakyat Aceh juga tak kunjung taat terhadap Ibu Pertiwi, NKRI. Demikianlah tafsiran teologis yang sepenuhnya spekulatif dan kental aroma pemikiran ala Orba itu menggema di sebagian masjid.

Kedua, berbeda dengan logika hukuman tadi, tafsiran kedua justru beranggapan bahwa tragedi ini justru bersifat ujian, bukan hukuman. Di beberapa tempat, kita dapat menemukan selebaran yang mengatakan antara lain, bencana Aceh merupakan "ujian" Tuhan untuk mengukur keteguhan dan konsistensi rakyat Aceh dalam menjalankan syariat Islam. Hm….

Sekarang, ketika kita sedang bergulat dengan proses evakuasi dan rehabilitasi Aceh, muncul pula isu-isu yang menguatkan kesan bahwa Tuhan sedang menguji konsistensi dan keteguhan rakyat Aceh dalam menjalankan syariat Islam dan menjaga status Aceh sebagai Serambi Mekkah. Isu pemurtadan, kristenisasi, dan adopsi diembuskan sebagian pihak yang mungkin sedang menangguk di air keruh. Tak heran, dalam sebuah pertemuan dengan ribuan alumni Pondok Modern Gontor di Jakarta Convention Center, Jumat (7/1) lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun merasa perlu menanggapi isu-isu yang tidak bertanggung jawab itu. Secara reaktif beliau lantas menegaskan, "Pemerintah akan sekuat tenaga menjaga status Aceh sebagai Serambi Mekkah!"

DEMI mencermati diskursus tentang Tuhan dan prasangka tentang keterlibatan-Nya dalam bencana terakhir ini, Freedom Institute bekerjasama dengan Jaringan Islam Liberal melangsungkan diskusi soal "Tuhan Pacsa-Tsunami" yang bertempat di Freedom Institute, Selasa (11/1) lalu. Diskusi yang bertepatan dengan hari milad Ulil Abshar-Abdalla ke-38 itu beranjak dan bertolak dari keprihatinan yang mendalam akan rumusan "teologi bencana alam" yang berkembang dan populer di tengah masyarakat dewasa ini.

Baik Goenawan Mohamad maupun Syamsurizal Panggabean yang bertindak sebagai pembicara dalam diskusi itu sama- sama prihatin akan rumusan teologis yang tidak sungkan- sungkan mengekspos "intervensi" Tuhan yang berlebihan dalam kiamat kecil itu. Kecenderungan seperti itu gampang sekali kita simak dari khotbah-khotbah Jumat, pengajian di majelis taklim maupun majelis zikir, atau ceramah keagamaan di sejumlah televisi.

Intinya, telah muncul rumusan teologi tentang bencana alam (tidak murni buatan manusia seperti tragedi Poso dan Maluku) yang pada akhirnya tetap terjebak di dalam dua perangkap teologis yang mengharukan: entah mengambinghitamkan korban bencana sendiri ataupun menyalahkan Tuhan yang dianggap sebagai pihak yang tak pandang ampun dan tak kenal belas kasihan menghajar hamba-hamba-Nya. Kedua kecenderungan itu rupanya juga bagian dari pandangan teologi masyarakat kita yang cenderung fatalistik.

Ketika rumusan teologis yang dikemukakan mengasumsi bahwa bencana Aceh adalah refleksi dari kemurkaan Tuhan, di situ secara eksplisit sudah terkandung nada-nada yang menyudutkan dan menyalahkan rakyat Aceh yang kini menjadi korban (blaming the victims). Sebaliknya, ketika bencana ini dianggap sebagai "ujian" Tuhan untuk umat manusia yang Dia cintai, sebagaimana yang dikatakan sejumlah kutipan kitab suci (perhatikan betapa beratnya ujian itu!), secara implisit kita juga sedang terlibat dalam proses menyalahkan Tuhan (blaming God). Kedua kecenderungan tadi tentu bukanlah rumusan teologis yang bisa dianggap elegan dan ideal tentang bencana alam.

Untuk itulah, kita diajak membuat rumusan teologis yang tidak gegabah dan potensial menambah luka dan duka rakyat Aceh sekaligus berpandangan elegan dan fair terhadap Tuhan sendiri. Itulah rumusan teologis yang sekarang sedang kita cari dan kita kehendaki.

Hanya saja, persoalannya tidaklah segampang yang kita kira. Sebagaimana dikemukakan Ulil Abshar-Abdalla dalam diskusi itu, godaan bagi agama (diwakili oleh pemuka agama ataupun juru khotbah tadi) ataupun ilmu pengetahuan untuk menjelaskan sejumlah misteri yang terkandung di dalam dunia ini teramat besar. Makanya, sejumlah misteri dan absurditas yang terkandung di dalam pelbagai peristiwa di dunia ini keduanya coba diterangkan baik oleh agama maupun ilmu pengetahuan.

Secara psikologis, manusia tidak pernah betah menjalankan hidup dengan menyisakan sejumlah misteri karena misteri adalah kegelapan. Dan, kegelapan pada hakikatnya adalah situasi yang cenderung dibenci. Untuk itu, kegelapan itu coba diterobos dan diterangi, baik dengan penjelasan ilmu pengetahuan maupun penjelasan agama atau teologi.

Tetapi, sudah nyata bahwa penjelasan ilmu pengetahuan dan penjelasan agama memang berbeda. Kita bisa memahami sebuah misteri secara lebih pasti dan dapat memverifikasinya secara ilmiah dengan perangkat dan metode yang disediakan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, penjelasan agama tak jarang justru menjelma menjadi deretan spekulasi yang tiada henti. Dan, naifnya, kita tidak pernah kunjung bisa memverifikasi sisi kebenarannya kecuali meyakini saja. Kita sesungguhnya tidak pernah bisa menanyakan kebenaran "versi Tuhan" akan bencana Aceh, apalagi mendialogkannya secara langsung.

Karenanya, para sosiolog cenderung mengatakan bahwa "kebenaran agama" tidak pernah bisa dibuktikan dan bersifat prapengalaman. Walaupun sedang berspekulasi secara liar, dia selalu saja diimani sebagai kebenaran yang hakiki, sekalipun belum dibuktikan. Di sinilah problematisnya spekulasi- spekulasi tentang Tuhan dalam tsunami kemarin.

TIDAK seorang pun yang bisa membuktikan kalau Tuhan ikut aktif mengintervensi peristiwa tsunami yang kemarin menghantam kita. Siapa yang tahu pasti kalau hal tersebut ditujukan untuk memberi "pelajaran" kepada rakyat Aceh yang ironisnya justru taat beragama? Makanya, sembari melakukan proses evakuasi dan rehabilitasi Aceh, kita juga dipanggil untuk mencari rumusan teologi bencana alam yang lebih mengena. Sembari itu, ada baiknya kita juga tidak terlalu lancang dan sok mengerti soal apa sebenarnya yang dimaui Tuhan dari bencana ini.

Klaim atau perasaan bahwa kita tahu tentang apa yang dimaui Tuhan dalam bencana kali ini, sekalipun bersandar pada argumen dan landasan firman-Nya, sesungguhnya merupakan bentuk kesombongan yang tiada tara.[Novriantoni]

No comments: