Thursday, January 10, 2008

"Overdosis" Agama

07/03/2005

Si Fulan adalah lulusan perguruan tinggi negeri yang sempat menjadi karyawan sebuah kantor pemerintah. Beberapa bulan lalu, dia dipecat kantornya karena terlampau sering bertengkar (bukan berdiskusi) soal-soal agama dengan teman sesama kantor, bahkan beberapa kali adu jotos. Pemegang kebijakan di kantor melihat kelakuan Fulan sudah tidak dapat ditolerir, dan menganggapnya sudah tidak pantas dipertahankan lagi sebagai karyawan.

Usut punya usut, persoalan bermula ketika belakangan si Fulan aktif terlibat dalam kegiatan agama yang terlampau banyak menjejalkan klaim-klaim kepada jemaahnya. Fulan terlampau sering mendengar indoktrinasi klaim-klaim kebenaran agama yang tidak memberi peluang buat orang lain mendebatnya. Agama yang dikenal Fulan adalah agama yang penuh klaim, bukan agama yang menyapa akal sehatnya.

Sebatas itu tidak jadi soal. Hanya saja, Fulan tidak mencukupkan versi kebenaran yang ia terima untuk dirinya sendiri, tapi berkali-kali menyalahkan pihak lain yang tidak sepaham dengannya secara sengit. Dalam fantasinya, hanya dia yang konsisten mengikut jejak para leluhur Islam yang saleh (salafush shâleh)—dan dengan begitu cukup dia saja yang punya tiket ke surga—sementara yang lain tidak. Itulah yang berulang-ulang dipersoalkan Fulan.

Tidak hanya teman kantor yang merasa kejanggalan mental dan kejiwaan Fulan. Isterinya pun heran karena Fulan tak pernah menyesal kehilangan mata pencarian. Dia tetap kokoh, dan menafsirkan semua petaka itu sebagai konsekuensi jihad yang tak akan luput dari cobaan duniawi. Baginya itu bukan soal, sampai pun isteri dan anaknya harus ikut menanggung akibat. Isterinya mengeluh, karena perlakuan Fulan terhadap dirinya kini semakin otoriter, bahkan Fulan semakin ringan tangan. Tapi Fulan tak perduli; dia tetap berkelana membawa paham agamanya; makin jarang tinggal di rumah, apalagi memberi nafkah.

Sulit mencari istilah yang tepat untuk menjelaskan apa yang terjadi pada si Fulan. Penjelasan psikologi agama mungkin membantu. Agama bagi para psikolog, ada kalanya menjadi sumber penyakit mental, dogmatisme, prasangka rasial, dan tindakan kekerasan. Bahkan, agama yang dogmatis, ortodoks, dan taat (atau yang mungkin kita sebut sebagai kesalehan) berkorelasi sangat signifikan dengan gangguan emosional. Sebaliknya, orang yang sehat secara emosional, sebagaimana ditulis Jalaluddin Rakhmat dalam Psikologi Agama, selalu bersifat lunak, terbuka, toleran, dan bersedia berubah. Sedangkan orang yang sangat religius cenderung kaku, tertutup, tidak toleran, dan tidak mau berubah.

Pendapat di atas tentu mewakili fase tertentu ketika para psikolog berpandangan sangat ekstrem dan negatif terhadap agama. Tapi pendapat itu mungkin relevan menjelaskan kondisi si Fulan. Pada masa-masa tertentu, kondisi seperti Fulan juga banyak dialami sebagian penganut agama apapun.

Dengan meminjam istilah kedokteran, kita dapat mendiagnosis pengalaman si Fulan sebagai gejala overdosis agama. Itulah yang menyebabkan perubahan yang ekstrem pada cara pandang, sikap, dan perilaku beragamanya. Pada kasus Fulan, agama yang mestinya menjadi obat (syifa), justru meracuni karena dikonsumsi terlampau banyak, tanpa proses penalaran yang sehat. Gejala inilah yang menjadi salah satu agenda diskusi ulang tahun Jaringan Islam Liberal yang ke-4, Rabu lalu. Fenomena overdosis agama, tidak hanya dilihat dari sudut pandang dan pengalaman umat Islam, tapi juga dari sudut pandang dan pengalaman umat Kristen.

Rupanya, overdosis agama tidak hanya gejala individual. Dia bisa juga menjadi sindrom yang mewabah secara sosial, bahkan bencana bagi dunia internasional. Kasus Zionisme Kristen yang dibahas Ioanes Rakhmat, salah seorang narasumber diskusi tersebut menguatkan anggapan ini. Gerakan Zionis Kristen, kata Rakhmat, telah mengalami overdosis keagamaan karena menjadikan agama sebagai politik dan ideologi untuk perang dan kebencian terhadap agama dan ras lain di dunia ini.

Makanya, jangan heran kalau efek destruktif overdosis agama juga akan luar biasa. Lies Marcous, narasumber lain dalam diskusi tersebut, menegaskan bahwa overdosis agama—sebagaimana overdosis obat-obatan—juga dapat membuat sakaw, bahkan mematikan nurani korbannya. Overdosis agama juga punya dampak lain, seperti hilangnya kepekaan akan urgensi hidup berdampingan secara toleran, dan kentalnya penampilan agama sebagai pembeda identitas primordial.

Mungkin karena efek-efek destruktif seperti itulah, jebakan overdosis agama sudah sejak lama diwanta-wanti agama sendiri. Di Islam, Qur’an dan Hadis sudah sejak dini mengingatkan untuk tidak keterlaluan dalam beragama. Ayat lâ taghlû fî dînikum, lebih kurang dapat diartikan sebagai larangan overdosis dalam beragama. [Novriantoni].

No comments: