Monday, March 31, 2008

Teori Ijtihad Farag Fouda

06/03/2008

Farag Fouda adalah intelektual Mesir yang mati dibunuh dua anggota Jama’ah Islamiyyah, sayap ekstremis Ikhwanul Muslimin Mesir, 8 Juni 1992. Ia telah meningalkan beberapa buku yang kritis terhadap upaya politisasi Islam, antara lain Qablas Shuqûth (polemik tentang formalisasi syariat); al-Haqîqah al-Ghâ’ibah (tinjauan kritis terhadap sejarah Islam), dan Hiwâr Hawla al-`Almâniyyah (polemik tentang sekularisme).

Fouda juga menulis al-Mal`ûb (tentang bank syariah dan skandal pencucian uang), an-Nazîr (survei tentang bahaya ekstremisme beragama), dan al-Irhâb (tentang asal-usul pemikiran teroristik). Sampai kini, buku-bukunya masih dilarang beredar di pasaran Mesir, dan hanya dapat dibaca sekelompok kecil orang.

Salah satu aspek menarik dari pemikiran Fouda adalah teorinya tentang ijtihad atau aktivitas berpikir kreatif dalam Islam. Fouda kukuh berpendapat bahwa ijtihad adalah keniscayaan. Dalam al-Haqîqah al-Ghâ’ibah, ia merumuskan formulasi teorinya. Menurutnya, ketentuan-ketentuan agama memang “tetap” (tsâbit), tapi kondisi kehidupan “terus berubah” (mutaghayyir). Dan dalam proses tarik-menarik antara teks agama “yang tetap” dan konteks zaman “yang berubah” itu, pasti akan muncul “bentuk-bentuk penyimpangan” (al-mukhâlafât).

Yang ia maksud “penyimpangan-penyimpangan” adalah “perubahan pada yang tetap dan ketetapan pada yang berubah”. Karena membuat tetap kenyataan hidup adalah mustahil, maka yang selalu terjadi adalah perubahan-perubahan pada hal-hal yang dianggap tetap di dalam agama. Dalam konsepsi Fouda, upaya mengubah sesuatu yang dianggap tetap itulah yang disebut ijtihad, bukan mempertahankan sesuatu yang dianggap tetap dengan argumen atau dalih-dalih baru atau konservatisme. Kesimpulan ini termasuk unik dan belum banyak dikemukakan orang.

Tapi itulah yang menurut Fouda selalu terjadi, sehingga Islam bisa selalu relevan untuk masa yang terus berubah. Fouda menyadari bahwa ijtihad memang tidak mutlak, tapi ia harus tetap dimungkinkan dan pintunya harus senantiasa dibuka lebar-lebar. Ijtihad selalu diperlukan agar tidak terjadi penyimpangan yang terlalu ekstrem antara ideal Islam dengan faktual Islam, dan agar tidak terjadi kemandekan dalam masyarakat.

Menurut Fouda, setiap kali terjadi perubahan dalam suatu masyarakat, bentuk-bentuk penyimpangan pun akan semakin bertambah. Tapi itu tak mengapa. Asalkan lapangan ijtihad terbuka lebar, sekalipun penyimpangan terjadi, ia dapat diantisipasi agar tidak muncul dalam bentuknya yang ekstrem. Jadi, selain mengubah sesuatu yang dianggap tetap dalam agama, ijtihad juga berfungsi untuk mengantisipasi agar tidak terjadi penyimpangan yang ekstrem antara ideal Islam dengan faktual Islam.

Karena itu, bagi Fouda, masuk akal bila tingkat penyimpangan-penyimpangan yang tidak bisa dielakkan (al-mukhâlafât al-idhtirâriyyah) mendesak kita untuk lebih melapangkan medan ijtihad yang memang perlu (al-ijtihâd al-dlarûriyyah). Konsekuensi yang harus kita terima menurut Fouda, dan ini yang tidak ingin dikemukakan banyak orang: kita mesti berlapang dada menerima tingkat terendah sekali pun dari penerapan agama yang terjadi di zaman kita. Pengamalan agama kita tentu jauh dari maqam atau peringkat para sahabat nabi yang hidup di zaman yang lebih terkebelakang, kurang kompleks, lebih tertutup, tapi lebih homogen. Bahkan menurut Fouda, di masa kenabian pun, tidak ada kesucian yang absolut. Yang ada hanya tidak adanya penyimpangan yang mutlak.

Kesimpulannya, teori ijtihad Fouda berfungsi sebagai trisula: mengubah yang dianggap tetap di dalam agama, memperpendek jarak antara ideal dan faktual Islam, serta membuat kita arif dalam menyikapi beragam ekspresi pengamalan beragama masyarakat Islam. Intinya, teori ijtihad Fouda adalah sebuah upaya untuk mencari titik keseimbangan antara mereka yang berupaya mengawang-awangkan Islam dengan upaya membenamkan Islam ke dalam comberan peradaban.(Novri)