Thursday, January 10, 2008

Stop Fundamentalisme Birokrasi Kita!

28/11/2007

Memalukan, tidak etis, kurang beradab. Itulah komentar tentang penjegalan keterlibatan Nasr Hamid Abu Zayd dari seminar internasional tentang Islam yang berlangsung 27 November kemarin, di Universitas Islam Negeri, Malang. Peristiwa ini menunjukkan gejala merasuknya paham fundamentalisme agama ke dalam birokrasi pemerintah.

Dari keterangan yang sampai kepada kita, penjegalan itu dilakukan atas nama Menteri Agama Republik Indonesia karena wujudnya desakan “masyarakat Islam tertentu”. Klaim “Islam” atau “masyarakat Islam” terbukti ampuh membuat waswas panitia acara, bahkan Menteri Agama.

Yang memalukan, Abu Zayd mendapat kepastian penjegalan hanya lewat pesan pendek. Padahal, Guru Besar Studi Islam Universitas Leiden, Belanda itu, datang berkat kerjasama Universitas Leiden dengan Departeman Agama. Abu Zayd sendiri baru enam bulan lalu menyatakan kesediaan untuk menghadiri acara yang digagas dua tahun lalu itu.

Tidak etis, karena pembatalan keikutsertaan Abu Zayd baru disampaikan setelah ia menjejakkan kaki di Surabaya. Alasan tersembunyi pencekalan juga sungguh-sungguh usang dan jadul: kontroversi tesis Abu Zayd soal Alquran sebagai produk sekaligus produsen kebudayaan (muntâj wa muntij tsaqâfî), lebih 20 tahun silam.

Padahal, Abu Zayd acap kali menyatakan cintanya kepada Indonesia, bahkan senantiasa membanggakan karakter Islam Nusantara yang dicitrakan toleran, moderat, dan kompatibel dengan demokrasi di mata dunia.

Menjelang konferensi pers di Wahid Institute, Senin (26/11) lalu, Abu Zayd memang tampak santai dan tetap sumringah. Ia juga menyatakan, pada setiap takdir yang ia terima, selalu tersimpan hikmah yang tiada terduga. Saat harus meninggalkan Mesir dan menjadi eksil, ia justru mendapat murid dari segala bangsa. Semua bersedia menyimak, berdiskusi, bahkan berbantah dengannya.

Kurang beradab, karena sampai saat ini Departeman Agama bungkam seribu bahasa. Abu Zayd pun dianggurkan begitu rupa. Jangankan meminta maaf, berjumpa pun mereka tak sedia. Ini jelas menyalahi etika Islam tentang ikrâmud dhaif atau penghormatan tamu, betapapun kita tak sependapat dengan buah pikirannya.

Dalam jumpa pers bersama Gus Dur, Abu Zayd tetap menyampaikan uneg-unegnya secara bersahaja. Ia mengingatkan pentingnya mencermati gejala infiltrasi gerakan-gerakan fundamentalisme agama ke dalam jajaran birokrasi negara.

Gus Dur pun mengamati hal serupa. Tidak sekarang saja, tapi ia merujuk ke penghujung era Orde Baru Indonesia. Abu Zayd juga menegaskan bahwa terorisme sosial (al-irhâb al-ijtimâ’iy) tak kalah berbisa dibandingkan terorisme aktual ataupun terorisme negara. Bahkan, terorisme sosial adalah basis dari yang kedua dan ketiga.

Terorisme sosial adalah suasana ketika kehidupan sosial-keagamaan suatu masyarakat sudah terkontaminasi oleh iklim teror dan didominasi semangat intoleransi dari elemen-elemen sosial masyarakat sendiri. Akibatnya, proses-proses dialog yang sehat dan terbuka, terutama seputar agama, tak lagi mungkin berlangsung ramah, nyaman, dan leluasa.

Kini, gejala ini sudah bermunculan dalam kehidupan sosial-keagamaan kita. Forum-forum diskusi, baik di kampus maupun luar kampus, sering dicemari para demagog yang tak ingin menyimak diskusi bermutu, tapi justru ingin menonton kedangkalan pikir, bahkan keonaran. Kurikulum pendidikan perguruan tinggi Islam yang memberi ruang studi kritis dan terbuka, pun berulang-ulang dipersoalkan mereka.

Ormas-ormas Islam yang mengalami mengalami pahit-getir terorisme negara (state terrorism) di masa Orba, kini beralih fungsi menjadi agen aktif terorisme sosial. Mereka tak hanya bebas mengampayekan ideologi kebencian, tapi juga meneror orang atau organisasi yang dianggap tak sehaluan dengan pikiran mereka.

Mereka begitu aktif menginfiltrasi jajaran birokrasi pemerintah, atau menelusup ke ruang terbuka ormas-ormas yang punya peran vital di masyarakat. Kaum fundamentalis di mana pun sadar betul, merebut pengaruh di sektor birokrasi adalah agenda teramat penting untuk diabaikan.

Inilah yang disebut Abu Zayd sebagai gejala fundamentalisasi sektor birokrasi negara. Abu Zayd sangat menyayangkan kalau itu terjadi di Indonesia yang sedang merambah jalan demokrasi. Ia sendiri dapat mengendus baunya, karena fenomena serupa pernah ia saksikan dengan mata kepalanya, di Mesir maupun negara Arab lainnya.

Apakah itu akan terjadi di Indonesia? Kita perlu waspada. Sepak terjang fundamentalisme agama di banyak negara membuktikan: tiada kemaslahatan apapun yang mereka bawa. Tidak bagi agama, apalagi untuk bangsa dan negara. [Novriantoni]

No comments: