Thursday, January 10, 2008

Jilbab dan Kebab Turki

30/07/2007

Kita rasanya sudah terlalu sering mengaji banyak soal dari Timur Tengah, terutama dari negara-negara Arab. Aspek pemikiran sosial-politik-keagaman di sana, sampai soal pergerakannya, hampir khatam kita kaji. Sementara Turki, negara yang begitu dinamis, sama-sama berada di Timur Tengah, hampir tak terpikirkan dalam benak kita. Baru soal jilbab dan kebab, Turki dikenal di negeri ini. Untuk perkara jilbab Turki dikecam, sementara untuk urusan kebab Turki diidam.

Kini, tak hanya soal jilbab dan kebab Turki perlu dikaji. Dinamika sosial-politik Turki belakangan ini sungguh sangat menarik. Dalam lima tahun terakhir (2002-2007), sebuah partai Islam bernama Partai Keadilan dan Pembangunan (PKP), dianggap sukses memimpin Turki. Karena itu, dalam pemilu legislatif pekan lalu, PKP kembali dipercaya untuk mengisi mayoritas kursi di parlemen Turki (47% atau 341 dari 550 anggota perlemen).

Sukses PKP boleh jadi membesarkan hati partai-partai yang punya spirit agama Islam di tempat lain. Tapi tak gampang menjadi partai Islam mirip PKP. Sejarah politik Turki mungkin saja telah membuat mereka matang untuk tidak lagi terjebak dalam kubangan sloganisme sebuah partai agama. Karena itu, setidaknya selama 5 tahun terakhir, mereka tidak gegabah menyuguhkan agenda-agenda islamisme kepada rakyat Turki.

PKP konsisten berada dalam bingkai sekularisme. Bahkan para petingginya, seperti Recep Erdogan, seakan hendak menunjukkan bahwa ajaran Islam selaras dengan praktek sekularisme politik. Beberapa hari setelah menang pemilu, ia menyatakan tetap berada dalam garis besar haluan Musthafa Kemal Attaturk, pendiri Turki modern. Partainya menolak formalisasi agama, berhubungan secara wajar dengan Israel, dan pandai bergaul di lingkungan internasional.

Karena itu, kolomnis harian As-Syarqul Awsat, Abdurrahman Rasyid, menilai PKP tidaklah segaris dengan kaum revivalis Islam di tempat lain yang terjun ke dunia politik praktis. Kaum revivalis Islam di tempat lain, tidak pantas menepuk dada dengan suksesnya PKP. Sebab, baik dalam wacana maupun performa politik, PKP lebih liberal dari partai-partai Islam di mana pun.

Sampai kini, PKP tak pernah menunjukkan gelagat sebagai partai Islam yang anti-kebebasan, Mereka juga tidak terobsesi untuk menyeragamkan penampilan konstituen perempuan mereka dengan jilbab, tidak anti bunga bank, bahkan tidak canggung bertandang ke Tel Aviv atau menjamu para petinggi Israel di Ankara. Jangankan dalam tindakan, dalam wacanapun isu ini sangat dihindari oleh kaum Islamis di tempat lain.

Kinerja pemerintahan Turki di masa Perdana Menteri Erdogan pun dianggap cukup membanggakan. Dalam sejarah Turki, PKP paling sukses mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Investasi luar dan dalam negeri meningkat, sektor pariwisata bergeliat. Keberhasilan itu sudah cukup untuk menutup kekecewaan rakyat Turki karena diombang-ambing Uni Eropa untuk masuk klub negara-negara maju tersebut.

Erdogan juga dinilai berhasil menjaga keseimbangan politik dalam negeri Turki, sehingga hampir semua segmen masyarakat Turki yakin akan kepemimpinan PKP. Hubungan internasional Turki dengan negara-negara lain membaik, bahkan isu separatisme Kurdi mereda. Tak ada kelompok yang merasa terancam kebebasan sipilnya dengan sukses partai berbasis Islam tersebut. Karena itu, kata islamis pun kurang tepat untuk menyebut PKP. Mereka lebih tepat disebut partai pengusung watak Islam yang liberal, yang tercerahkan.

Namun di balik optimisme itu, masih tersisa kesangsian terhadap PKP. Terutama setelah mereka sukses menguasai mayoritas kursi di parlemen dan kemungkinan akan memuluskan langkah Abdullah Gul menjadi presiden Turki. Tidak hanya militer yang menjadi pengawal setia sekularisme Turki yang kini harap-harap cemas. Dunia pun sedang menunggu: apakah PKP memang beda atau setali tiga uang dengan watak partai kaum Islamis lainnya.

Jika PKP tetap bermain cantik dalam politik, setia pada konstitusi Turki, fokus pada pembangunan sosial-ekonomi, dan tidak mengajukan slogan Islam adalah solusi, maka ia layak menjadi teladan bagi partai-partai Islam di tempat lain. Tapi jika terlalu berambisi untuk mengambil semua dan melakukan revolusi Islam terhadap tatanan sosial-politik Turki, inilah mungkin awal kekalahannya.

Kita masih akan menunggu, apakah PKP akan menjadi sisi unik yang perlu dipelajari dari Turki, atau kita harus kembali mengenang Turki dari kontrovesi jilbab dan lezatnya kebab. [Novriantoni]

No comments: