Thursday, January 10, 2008

Mudznib dan Mujrim

26/07/2005

Salah satu ciri negara modern yang hendak berdemokrasi dan mengakui hak-hak asasi manusia adalah pembedaan sikap yang jelas antara para mudznib dan mujrim. Mudznib adalah pelaku dosa atau pendosa, sementara mujrim pelaku kiriminal atau kriminalis. Dalam khazanah Islam, dua kategori yang sangat terkait dengan proses legislagi hukum Islam itu sudah dibedakan sekali pun tidak cukup tegas.

Dalam fikih, bagi pendosa atau mudznibûn (misalnya tidak salat atau tidak puasa) tidak ditetapkan sanksi duniawi, apalagi lewat tangan penguasa. Peradilan mereka diserahkan pada Tuhan di akhirat nanti. Karena itulah kehidupan akhirat perlu diyakini. Mereka yang merasa tidak beroleh keadilan di muka bumi, punya pengharapan tegaknya keadilan di akhirat nanti.

Untuk kriminalis atau mujrimûn, fikih selalu merumuskan sanksi-sanksi duniawi, baik melalui hudud (sanksi pidana yang sudah ditetapkan Alqur‘an dan Sunnah) atau pun mekanisme tak’zîr (ketetapan pemerintah, baik yang teokratis atau pun yang sekuler).

Negara-negara yang masyarakatnya sudah tercerahkan dan lebih demokratis, sadar betul akan pentingnya membedakan dua kategori di atas dalam merumuskan hukum negara. Mereka tidak mau lagi dipusingkan para pendosa, apalagi pada urusan yang bersifat sangat personal. Negara tidak ambil pusing soal keyakinan apa yang dianut warganya.

Mereka yang ingin menyembah setan, asal tidak berbuat kriminal, tak akan pernah dijerat hukum negara. Rezim-rezim sekuler senantiasa menghargai hak-hak tiap individu untuk berkeyakinan, seburuk dan sedungu apa pun keyakinan mereka. Hanya rezim teokratis yang selalu berambisi mengatur keyakinan warganya dan tak pernah ingin membebaskan mereka untuk bersikap dewasa.

Logika praktis sekularisme sederhana saja: kalau setiap pendosa harus ditindak negara, kesempatan untuk mengurus hal-hal yang lebih penting pasti akan terabai. Teori negara modern menyebutkan, semakin kecil ruang lingkup urusan negara, semakin fokus ia berbakti untuk warganya. Negara seharusnya lebih berperan dalam menyejahterakan warganya, ketimbang mengurus para pendosa yang jumlahnya tak terhingga.

Demikianlah logika masyarakat yang berpikiran maju. Mereka tahu mana urusan yang sangat personal dan mana yang menjadi kepentingan komunal. Sebatas para pendosa tidak berbuat onar, mereka berhak mendapat perlakuan baik. Kalau pun mereka bertindak kriminal, sanksinya jelas karena kriminalitas yang ia perbuat, bukan karena ia pendosa.

Arti kata, masyarakat dan rezim sekular mampu membedakan yang mana otoritas mereka dan mana kewenangan Tuhan. Mereka tidak berusaha membajak otoritas Tuhan, apalagi untuk kepentingan politik semata.

Dalam ajaran Islam, para pendosa sebenarnya juga punya cara mudah untuk melegakan jiwanya—dengan asumsi dosa membuat jiwa resah. Mereka yang meninggalkan salat, tinggal berkomunikasi lebih intens dengan Tuhan, mengikrarkan tobat nasuha, dan berupaya sebanyak mungkin berbuat baik. Dalam batasan itu, pengakuan individualisme sebetulnya lebih dimungkinkan dalam Islam. Karena itu, dalam sebuah negeri yang dilandasi nilai-nilai Islam, pemerintah mestinya tidak lagi rewel dengan keyakinan warganya, apalagi memenjarakan para pendosa.

Anehnya, sampai kini negeri-negeri Islam justru yang paling sering memenjarakan “pendosa” dan meregulasi soal-soal yang bersifat personal. Tidak sebatas menjerat pendosa, semua bentuk keyakinan dan praktik agama juga coba diregulasi. Karena desakan para ulama konservatif, pemerintah mewajibkan model pakaian yang dianggap islami, makanan yang boleh dikonsumsi, siapa yang boleh dinikahi, dan regulasi lain yang menafikan hak-hak individu.

Pemerintah dan para ulama konservatif berlomba-lomba mengingkari kaidah dasar Islam tentang nonpaksaan dalam beragama. Dengan menafikan kaidah itu, ketentuan kultural fikih tentang halal-haram tidak memadai bagi mereka, karena itu harus dipaksakan lewat struktural negara. Pesan ideal Qur’an tentang lâ ikrâha fid dîn menjadi tidak bermakna apa-apa. Prinsip nonpaksaan justru berganti menjadi serba-paksa dalam agama.

Nilai itulah yang tampak dalam menyikapi kasus salat dua bahasa Yusman Roy di Malang dan penyerangan atas Ahmadiyah di Parung. Kalangan fundamentalis Islam tidak sabar untuk sekadar menunjukkan “jalan lurus” pada orang yang mereka tuduh sesat, tapi juga memaksakan jalan mereka dengan kekerasan. Ayat nonpaksaan mereka abaikan begitu rupa. Belum lagi menunjukkan jalan, mereka sudah menggebuki orang-orang yang mereka anggap sesat.

Artinya, pada kedua kasus di atas, kita tidak hanya menyaksikan pengingkaran atas nilai nonpaksaan dalam Islam, tapi juga tanda-tanda ketidakmatangan dan sikap otoriter dalam beragama. Mereka bukan lagi du`at atau penyeru kebajikan, tapi sudah menobatkan diri sebagai thughât, para tiran, yang mengatasnamakan agama. [Novriantoni]

No comments: