Thursday, January 10, 2008

Ibn Bajah

18/05/2003


DALAM beberapa tahun terakhir, negeri ini cukup sibuk menggunjingkan persoalan moral. Beberapa orang yang berkesan "moralis", merasa terpanggil dan peduli akan "merosotnya" moral bangsa. Yang sering dilupakan, perbincangan tentang moral bangsa, sama artinya berbicara perihal acuan bersama menyangkut apa yang baik dan buruk dalam perilaku berbangsa dan bernegara (Kuntowijoyo, 2002: 166). Maka, persoalan ini bukan perkara gampangan dan merupakan topik besar yang perlu dipikir secara rembukan.

Sebagian pihak yakin --bahkan teramat yakin-- persoalan moral bangsa mudah saja ditentukan dan ditetapkan dengan batasan-batasan tertentu dan terukur. Bagi mereka, patokannya bisa saja, misalnya, budaya bangsa, common sense orang Indonesia. Sementara pihak lain agak pesimistis --mungkin lebih realistis-- kalau masalah moral yang berada pada wilayah subjektif ini (menurut mereka), bisa dengan mudah ditentukan.

Di tengah kebuntuan dan keruwetan perbincangan tentang moral tadi, kita disadarkan akan pentingnya peran individu-individu sebagai satuan terkecil dari masyarakat, dari bangsa. Dalam Alquran, anjuran untuk menyelamatkan diri (individu) diurut sebelum unit masyarakat yang lebih besar. Sebuah ayat Quran mengatakan, "Waspadailah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka!" Oleh beberapa sebab, pada titik inilah, kita merasa perlu mengenang gagasan-gagasan Ibn Bajah.

Dia adalah seorang filosof muslim kelahiran Andalusia yang hidup pada penghujung abad XI M. atau V H. Bajah punya versi tersendiri tentang negeri utopian. Menurut Bajah, suatu negeri dikatakan baik manakala tiap-tiap individu di dalamnya sehat-bugar, adil-terpercaya, dan selektif-terpilih. Dalam masyarakat demikian, tidak lagi dijumpai juru rawat (dokter) dan juru dakwa (jaksa). Sebuah negeri yang terlalu banyak memerlukan perundang-undangan dan tenaga medis, menurut Bajah, justru negeri yang minimalis. Jalan menuju negeri utopian itu, anehnya dimulai dari tingkat individu. Bajah sekan-akan ingin mengatakan: mulailah dari diri sendiri!

Inti falsafah Bajah tertuang dalam bukunya Tadbîrul Mutawahhid (Penggemblengan Integritas Diri). Dalam buku itu, Bajah cenderung menyeru tiap individu untuk menghindar dari pelbagai patologi sosial, seraya menjadikan dirinya sebagai titik sentral yang tidak larut dalam hal bernama "komunitas". Gagasan Bajah memang terkesan sangat individualistik, dan mengingkari komunitas. Tapi apa yang salah dengan individualitas? Namun begitu, Bajah bukan orang yang ingin individu-individu teralienasi sama sekali dari lingkungan. Yang hendak dia tekankan dan tuju adalah, bagaimana tiap-tiap individu tetap menjadi pangeran bagi dirinya (amîr nafsih) dan juragan atas hasrat-hasrat liarnya (sayyid syahawâtih) seraya tetap berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama (Al-Bayoumi, 97: 29).

Bagi Bajah, hanya dengan cara itu individu dapat terhindar dari "kekejian" struktur dan norma sosial yang berlaku. Dengan perkataan lain, Bajah memberi "senjata" pada tiap-tiap individu, seraya percaya mereka mampu dan mahir menggunakannya. Lebih jauh Bajah menginginkan tiap orang menjadikan dirinya sebagai titik sentral dan selalu saja berkehendak dan bergegas menjadi tauladan yang patut diturut; menjadi penentu norma-norma individu sebagai pengganti kelarutan diri dalam lingkungan sosial itu sendiri (Iraqi, 1998: 114-115).

Menurut Bajah, perbuatan manusia dapat bersumber dari dua motivator. Pertama, dari naluri hewaniah (al-gharîzatul hayawâniyyah) yang antara manusia dan makhluk lainnya paralel belaka. Kedua, kemauan makhluk bernalar (al-irâdatul ’âqilah). Anjuran Bajah: kalau Anda (sebagai manusia) disuruh memilih, maka paculah diri dengan lebih banyak mengakomodasi motif kedua. Sebab, hanya itulah perbuatan yang khas manusia. Murni sebagai tindakan manusia, tidak paralel dengan naluri makhluk hidup lainnya. [Novriantoni]

No comments: