Thursday, January 10, 2008

Ketika “Media Kebencian” Masuk Pesantren

05/12/2005

Tanggal 24-31 Oktober 2005 lalu, sebuah majalah nasional di Jakarta pernah melakukan jajak pendapat terkait isu keterlibatan sebagian pesantren (sekali lagi, sebagian) dengan terorisme. Di situ pembacanya ditanya apakah setuju kalau beberapa pesantren diawasi demi mengantisipasi persebaran terorisme. 56,52% menjawab “ya”, 43,24% menyatakan “tidak”, dan selebihnya, 0,24%, menyatakan “tidak tahu”.

Secara kasar, lebih dari separoh pembaca majalah itu setuju beberapa pesantren diawasi. Tapi yang perlu digarisbawahi, pendapat tersebut lepas dari kenyataan apakah yang ditanya mengerti dunia pesantren atau tidak. Dan memang, yang ditanya tidak spesifik mereka yang pernah nyantri di pesantren atau kenal dekat dunia pesantren. Pendek kata, pendapat itu hanya mewakili persepsi umum yang sedikit banyak ikut dibentuk oleh pemberitaan maupun opini media tentang keterlibatan pesantren dengan isu terorisme.

Orang yang rutin mengikuti pemberitaan media tentang isu-isu terorisme, tentu akan mudah menangkap kesan bahwa pesantren sedikit banyak sudah terkena getah dari ulah beberapa pelaku teror. Kesan keterkaitan pesantren dengan teorisme itu diperkuat pula oleh kenyataan beberapa pelaku teror yang menampilkan dunia simbol kalangan santri.

Sebagian mereka pernah mengecap pendidikan pesantren. Kalau pun tidak pernah, mereka kerap menggunakan simbol-simbol dunia pesantren seperti kitab-kitab Arab gundul, pakaian ala santri, majlis pengajian mirip pesantren, dan simbol-simbol lainnya. Lengkaplah kesan bahwa pesantren tak ada lain ikut bermain laku terorisme.

Tapi apakah dunia pesantren ikut memotifasi tindak-tindak teroristis? Di sini perlu pemahaman mendasar tentang hakikat dunia pesantren.

Pesantren, Miniatur Dunia Yang Diidealkan

Orang yang pernah mengecap pendidikan pesantren, atau paling tidak mengamati ritme kehidupan pesantren, dapat mencermati bahwa dunia pesantren merupakan representrasi miniatur kehidupan riil di masyarakat. Tapi, pesantren bukan benar-benar gambaran nyata masyarakat secara umum, sebab unsur-unsur sosialnya kurang beragam dibanding unsur-unsur sosial masyarakat yang lebih besar.

Di pesantren, unsur-unsur sosial pokoknya tak lebih dari kiai sebagai figur sentral, guru-guru atau asatizah sebagai pembantu kiai, dan para santri. Kalau pun ada anasir sosial lain di luar anasir pokok, seperti tukang masak, tukang kebun, dan para pekerja lainnya, perannya tak lebih sebagai pelengkap miniatur masyarakat pokok saja. Artinya, pesantren dapat disebut miniatur masyarakat yang memang kurang lengkap. Sebagian menyebut istilah sub-kultur dari kultur masyarakat yang lebih besar untuk pesantren.

Fasilitas-fasilitas kehidupan masyarakat pesantren juga terbatas. Yang paling pokok tentulah masjid, bangungan sekolah atau madrasah, pemondokan atau asrama, dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya. Di pesantren tentu tidak dijumpai sarana-sarana hiburan, seperti taman, mal, cafe, bioskop, dan fasilitas-fasilitas penunjang ”kenikmatan hidup” lainnya.

Tapi justru karena ketidaklengkapan unsur-unsur sosial dan fasilitas penunjang kenikmatan hidup itulah pesantren dapat membangun dunia idealnya sendiri. Di pesantren dengan sistem asrama yang kurang menyatu dengan masyarakat, nuansa dunia ideal atau baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur itu terasa sangat kuat.

Konsekuensinya, ketika para santri telah menuntaskan pendidikan dan keluar dari pesantren, mereka untuk sementara waktu akan mengalami cultural shock. Mereka tercenung, betapa budaya di dunia ideal yang mereka alami dalam fase hidup di pesantren sangat berlainan dengan dunia nyata yang sedang mereka hadapi.

Dari situlah muncul kebutuhan untuk kembali menyesuaikan diri dengan alam baru yang terbentang; sebuah alam yang tak mesti akan seideal yang mereka jumpai di pesantren. Kalau mampu menyesuaikan diri tanpa larut dalam dunia yang kurang ideal itu, sembari tidak mengorbankan prinsip-prinsip dasar kesantriannya, mereka akan cepat dapat masuk dalam kancah kehidupan.

Dan rata-rata, mereka dapat melaluinya tanpa halangan berarti. Tapi bagi yang gagal—dan itu sangat sedikit—kekecewaan akan menggumpal dan rasa terperosok ke dalam dunia “jahiliah” akan menghantui untuk selamanya. Sialnya, dari sinilah kadang muncul hasrat-hasrat radikal untuk mengubah dunia nyata itu menjadi “dunia ideal”.

Tapi masih menyisa pertanyaan dasar: kalau pesantren membentuk miniatur kehidupan sendiri, dan penghuninya sudah terlampau sibuk dengan dunia ideal mereka, dari mana datangnya hasrat-hasrat radikal yang mungkin memunculkan aksi-aksi teroristis?

Pengaruh Dunia Luar

Secara umum, pesantren merupakan institusi pendidikan yang tak banyak berurusan dengan dunia luar dan rutinitas dalam dirinya. Mayoritas pesantren sudah terlampau sibuk dengan agenda menyiapkan santri-santri terdidik berdasar kurikulum masing-masing. Mata pelajaran yang diperkenalkan di pesantren juga tak banyak bersentuhan dengan persoalan nyata masyarakat sehari-hari.

Proses perubahan pesantren, baik dalam merespon perkembangan kurikulum ataupun mengantisipasi dinamika masyarakat yang tak jarang begitu cepat, berlangsung sangat lambat. Filosofi dasar pesantren adalah mengkonservasi tradisi yang sudah lama, serta sangat hati-hati mengambil inisiatif perubahan. Slogan utamanya: al-muhâfazah `alal qadîmis shâlih (menjaga tradisi yang masih baik), dan jarang mengamalkan wal akhzu bil jadîdil ashlah (menjemput inovasi yang lebih baik).

Karena dinamika yang lambat itu, hanya beberapa pesantren yang sangat terlibat dengan isu-isu dan proses perubahan sosial yang berkembang di masayarakat. Pesantren yang mau mencemplungkan diri dalam gerakan Islam baru yang dewasa ini tampak cukup radikal pun sangat sedikit. Umumnya, pesantren tetap bergerak pada porosnya; sangat sedikit yang mengalami disorientasi ke arah tindak-tindak radikal atau bahkan teroristis.

Besar dugaan, yang membuat santri berpandangan radikal justru persentuhannya dengan isu-isu di luar pesantren, baik karena diperkenalkan kyainya yang aktivis Islam radikal, atau akibat tak langsung persentuhannya dengan media-media kebencian yang masuk pesantren. Persentuhan dengan isu-isu di luar pesantren, seperti isu Palestina-Israel, ketidakadilan global yang disinyalir menimpa umat Islam, dan isu-isu lainnya, tampaknya juga ikut mengusik dan mendongkrak solidaritas keislaman para santri.

Tapi solidaritas dan perkenalan dengan gerakan-gerakan Islam radikal yang dianggap akan memecahkan soal itu tetap bersifat laten. Di dunia pesantren umumnya, ruang gerak untuk mengaktualisasikan solidaritas itu—apalagi peluang terperangkap aksi-aksi teroristis—hampir tidak ada tempat. Di luar pesantrenlah semuanya bisa diaktualisasikan, dan beralih dari hasrat yang laten menjadi aksi yang manifes.

Namun, potensi radikalisasi pesantren di era keterbukaan media dan informasi ini memang tetap terbuka. Meski kebanyakan pesantren cukup selektif dalam memilih media yang boleh dibaca santrinya, itu hanya berlaku bagi media-media kritis yang dianggap liberal dan dituduh akan menyesatkan pola pikir santri. Infiltrasi media-media radikal yang penuh kebencian, baik berbentuk koran, majalah, kaset, VCD/DVD, dan lainnya, tampak belum mengkhawatirkan mayoritas pengasuh pesantren.

Bagi saya, jika pesantren kurang peduli, atau tetap menutup mata terhadap persebaran media-media kebencian itu, dan tak juga berinisiatif untuk merumuskan wajah Islam yang rahmat, maka pesantren akan tetap terkena getah terorisme. Pernyataan Wapres M. Jusuf Kalla yang akan mengawasi beberapa pesantren yang disinyalir terkait tindak teror, seyogianya hanya perlu menjadi kegundahan segelintir pesantren bermasalah. Pesantren yang betul-betul mendidik, mencerdaskan, dan mencerahkan pola pikir santrinya, hendaknya tak perlu gundah gulana.[Novriantoni]

No comments: