Thursday, April 24, 2008

To write or not to write?


Awal minggu ini, seorang Muslimah reformis asal Canada yang dinobatkan oleh Jakarta Post sebagai satu dari tiga perempuan Muslim yang membuat perubahan dalam Islam, Irshad Manji, datang ke Jakarta. Ia menulis sebuah buku yang sangat inspiratif, brilliant, dan menohok dogma (bedakan antara dogma dan iman dia bilang saat itu) berjudul "The Trouble with Islam Today: A Muslim's Call for Reform in Her Faith" yang kini telah dialih-bahasakan ke Indonesia dengan judul "Beriman Tanpa Rasa Takut". Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan berharga ini, kami pun mengundangnya ke sebuah diskusi bertema "What Went wrong with Islam today?"

Irshad adalah sosok yang ramah, hangat, dan tentu saja cerdas serta brilliant. Dia seorang yang sangat rasional. Khas seorang jurnalis cum aktivis, dia selalu bersemangat dalam memaparkan pemikirannya, tidak hanya di depan khalayak ramai, namun juga secara personal. Terus terang, beberapa tahun lalu daku pernah meng-escort seorang intelektual Muslim asal Timur Tengah yang kini eksis di Eropa, yang menurutku kurang simpatik, menyimpan prejudice, memandang sebelah mata Muslim non-Arab, dan suka mengeluhkan hal remeh temeh nan sepele.

Kadang, daku mendapati betapa banyak orang ‘barat’ yang ber-akhlaq karimah, dan tidak sebaliknya dengan orang 'timur'. Manaaa adat ketimurannyaa??? Memang tidak semuanya begitu sih, dan daku sama sekali tak berpretensi untuk menjudge, atau mengeneralisir hal itu, alih-alih menggiringnya ke soal Islam dan non-Islam. Tapi fakta pahitnya, daku yang berbusana Muslimah ini, ternyata lebih merasa nyaman berjalan di suatu sudut Melbourne, daripada di jalanan Islamabad atau Riyadh. Well, it is out of the context, but I must write about it next time.

Kembali ke laptop, eh Irshad. Yang juga menyenangkan darinya adalah bahwa dia sangat apresiatif terhadap siapapun lawan bicaranya. Ketika daku bilang bahwa daku sangat memahami pengalaman dan traumanya di Madrasah, dan bilang bahwa "you're luckier since you were there in such very young age, while I was there in my teenage years, brainwashed," dan sedikit curhat tentang 'era kegelapanku' saat itu, dia dengan kreatifnya malah mendorongku untuk menulis episode kelam itu: "why don't you write your own memoar?"

Wow, although I did write few pieces, I am not a journalist. Meski pernah bercita-cita dan sempat diterima di Fakultas Komunikasi UNPAD tahun 1997 lalu, nasib membawaku menuju universitas Islam Internasional Islamabad, ibukota sebuah republik Islam Pakistan. Hhmmm... let me see if there is 'any' of my pieces then. Well, it seems pretty embarrassing I think. Sebuah opini berjudul "Mengapa Feminisme?" yang berisi kritik terhadapnya mengingat "perempuan Muslim telah mendapatkan jaminan atas hak-haknya dan Allah telah menentukan yang terbaik bagi hambanya", (jelas saat itu daku belum sepenuhnya memahami bahwa kodrat sangatlah berbeda dengan takdir). Sebuah refleksi berjudul "Sindrom Kaburo Maqtan" yang menekankan perlunya taushiyah karna bukankah Allah telah mengamanati hambanya untuk menyampaikan kebenaran dan kesabaran pada sesamanya, agar tidak merugi dalam hidup yang fana ini? (sebenarnya sih tak lebih dari 'defense mechanism' terhadap begitu banyaknya do’s and dont’s alias rambu-rambu yang intangible saat itu). Sebuah kolom Berjudul "Suara-suara Perempuan" yang merupakan sindiran bagi jajaran 'penguasa' laki-laki yang selalu membuat keputusan organisasi secara sepihak tanpa mempertimbangkan para mahasiswi, yang dengan segera dibalas dengan sindiran soal bagaimana seharusnya seorang akhwat bersikap oleh teman mahasiswi (heran, padahal kan kite bela-belain die), Sebuah biografi singkat tentang "Muhammad Iqbal", intelektual dan penyair yang menyemai benih republik Islam yang meninggal sebelum kelahirannya. Daku juga ingat menulis sebuah paper tentang "Syiah" yang dikritik habis oleh Madam Sofia karna tidak memuat informasi yang berimbang karena semua rujukannya ditulis oleh orang Sunni. (Please let me know madam, if the library provide us with any single literatures of Shiah perspective :))

Sampai di tanah air pun, saking mindernya berada di lingkup para intelektual dan aktivis kawakan, daku nggak pe-de menulis suatu apapun, kecuali tentang "Jihad ala Bushido" karena saking gemes dan gregetannya dengan para pejabat 'terhormat' yang dengan sengaja menyalahgunakan kekuasaannya dan mengutip apa yang bukan haknya demi kepentingan pribadi. Teganya, oh teganya….. Di saat kita berada dalam kondisi krisis dan kritis, kemanakah perginya moral?

Daku memang menulis thesis soal "Analisis Faktor Determinan Tingkat Kesehatan Baitul Maal wa Tamwil (BMT)", tapi ibarat jodoh, yang satu ini bukanlah pasangan ideal sebagaimana yang daku cita-citakan, namun pasangan 'pragmatis' yang ditulis berdasarkan apa yang ada dan secara apa adanya. Sungguh memalukan meski berkatnya daku tak lagi harus memboroskan waktu dan dana untuk semester selanjutnya.

So, dengan track record yang sangat amat terbatas itu, layakkah daku menyambut proposal Irshad, untuk menuliskan memoar perjalananku? (dalam tandatangannya di buku, Irshad menulis: "In the spirit of ijtihad, keep on growing... What a journey!")

Kata misua, daku bisa saja menuliskannya secara fiksi, sebagai novel. Jika novel tentang mahasiswa Mesir aja sukses, kenapa tidak mahasiswa Pakistan? (Huh, ge-er banget dia atas ilustrasi prototype mahasiswa kairo yang sempurna di novel itu, padahal mah....)

However, i think it's tempting enough. Why not?

(Lanny)

Fahri Ayat-Ayat Cinta: Mahasiswa Cairo Sepantasnya, Bukan Seadanya

Mahasiswa Cairo yang menjadi tokoh utama Ayat-Ayat Cinta itu mungkin tidak sepenuhnya manusia. Patut diperiksa, di dalam sel-sel tubuhnya mungkin terkandung unsur-unsur kemalaikatan yang cukup pekat. Ketegangan yang minimum antara unsur “yang malaikati” dan “yang manusiawi” dalam diri Fahri itulah yang tampaknya ingin terus digali Habiburrahman El Shirazy dalam novelnya yang laris-manis ini.

Setelah tuntas membacanya, saya membayangkan Fahri seperti sosok sahabat Nabi nan rupawan, Dihyah al-Kalabi, yang badannnya sering dipinjam malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu-wahyu ilahi. Dan di sepanjang kisah novel ini, Fahri memang seperti al-Kalabi: terus saja menyampaikan firman ilahi ataupun sabda Nabi. Pesan Islam yang dilontarkannya pada umumnya halus dan santun, tapi di beberapa bagian terlalu vulgar dan verbal. Tapi para pembaca fanatik novel ini mungkin terlanjut mencari jenis novel yang agak berkhotbah. Atau, sekurang-kurangnya berguna untuk “pembangunan jiwa”.

Kemampuan El Shirazy menggambarkan setting kota Cairo dan budaya masyarakat Mesir cukup informatif bagi pembaca yang ingin membawa imajinasinya terbang ke negeri Kinanah. Kang Abik—demikian sapaan akrab El Shirazy—betul-betul telah ter-Mesirkan. Ia tampak sangat memahami adat-resam-kelakar masyarakat Mesir. Dia hanya kurang liar dan nakal saja. Penggambaran profil mahasiswa Indonesia dan kehidupan sehari-hari di sana memang sudah banyak bergeser dari gambaran Mona Abaza di dalam Education Persepsions and Exchanges: Indonesian Students in Cairo (1994).

Bila merujuk Abaza dan pengalaman saya belajar di sana (1997-2001), terasa ada kepingan-kepingan puzzle tentang keragaman corak berpikir dan kelakuan mahasiswa yang tidak tergambarkan secara utuh. Meminjam Abaza, “Cairo sesungguhnya memberikan kesempatan kepada mahasiswa Indonesia untuk membaca buku-buku alternatif yang menganjurkan berbagai aliran.” Keragaman aliran pemikiran dan pergerakan mahasiswa Cairo amat khas dan itulah yang luput dari novel ini. Kang Abik hanya menyuguhkan sepenggal puzzle dan aspek yang baik-baik dan necis-necis saja dari mahasiswa Cairo. Dan di puncak kebajikan itulah bertengger sosok Fahri yang budiman, baik hati dan tidak sombong.

Saya harus mengatakan bahwa figur Fahri dan kawan-kawan satu flatnya, serta beberapa orang yang disebutkan di dalam novel ini, hanyalah salah satu corak dan ringkusan dari potret mahasiwa Kairo yang amat beragam. Dilihat dari kenyataan sosio-kultural dan intelektual mahasiwa Cairo yang berjumlah ribuan orang, sosok Fahri tak lebih dari ungkapan tentang seorang “mahasiswa Cairo yang sepatutnya” menurut preferensi pengarang novel ini, “bukan mahasiswa yang seadanya”.

Tapi tidak berarti cerita tentang mahasiswa Cairo di novel ini tidak berjejak di atas kenyataan sama sekali, sehingga menjadi fiksi yang total. Detil-detil fakta tentang sebagian aktivitas sehari-hari mahasiswa tetap ada. Hanya saja, itu seperti dipinjam begitu saja untuk membuat landing “spesies baru” mahasiswa Cairo bernama Fahri. Ia sesosok mahasiswa yang rajin belajar dan berangkat talaqqi, pandai menerjemah aktif berdiskusi dan mandiri; taat syariat hampir-hampir menyerupai Nabi.

Sekali lagi, Ayat-Ayat Cinta bermain-main dengan unsur yang manusiawi dan yang malaikati pada sosok Fahri. Pergulatan Fahri di hampir seluruh isi novel ini tidak jauh-jauh dari ketegangan yang minimum di antara dua unsur itu. Ujung dari kisahnya pun gampang dikira: unsur yang malaikati pada akhirnya akan menang jua. Jika kebenaran sudah tiba, kebatilan pasti akan sirna. Itulah mungkin esensi dari novel yang memang diabdikan untuk berdakwah ini. Lika-liku dari kisah, tak lebih dari “alat” untuk menyampaikan pesan yang sudah ditetapkan dengan begitu jelas sejak dari awal kisah.

Padahal, kebanyakan mahasiswa Cairo laiknya juga bisa malas dan kadang kala suka berleha-leha. Tapi yang satu ini tidak. Fahri sangat disiplin dan hidup terjadwal ketat untuk menentukan takdirnya sendiri. Peta hidupnya setahun ke depan sudah terbentang dalam catatan yang rinci. Dan sebagaimana mahasiswa Cairo lainnya, Fahri sepantasnya bisa pula jatuh cinta dan patah hati, baik terhadap sesama orang Indonesia maupun lintas negara. Kasus yang terakhir ini memang agak langka.

Tapi Fahri memang beda. Alih-alih tergoda iman oleh empat gadis jelita lintas negara yang terpincut eloknya tutur-kata dan tindak-tanduknya dalam waktu yang sama (Nurul, Maria, Aisha, Noura), Fahri justru lolos ujian dan memenangkan semua pertarungan melawan gejolak masa muda. Ia tidak berada di pihak yang mendamba, tapi selalu saja ia didamba. Memang ia tidak memiliki semua, tapi ia mendapatkan tiga hati yang merana. Mungkin itu hanya Fahri yang bisa, tidak mahasiswa Cairo lainnya.

Tak banyak mahasiswa Cairo yang lolos ujian hebat terhadap komitmen belajar dan godaaan masa muda seperti Fahri. Untuk lolos ujian naik tingkat dalam sistem perkuliahan ala paket di al-Azhar pun banyak sekali yang harus jatuh bangun dan gagal-menyerah. Menjadi hafiz al-Quran—dengan qiraat sab’ah pula—jago berkhotbah, gemar membaca dan berdiskusi, menerjemah dan menulis, pandai bergaul dan mengambil hati orang, alamak…. itu hanya Fahri yang bisa!

Mungkin ada saja dua-tiga sosok mahasiswa Cairo yang seperti Fahri, tapi saya tak pernah terjumpa mereka. Potret kehidupan Fahri sungguh jauh di atas rata-rata kehidupan normal mahasiswa Cairo umumnya. Dia adalah tipe ideal mahasiswa Cairo, yang direkabayangkan Kang Abik, bahkan mungkin terlalu ideal untuk sekadar ada.

Tapi tak apalah. Tetap ada beberapa hal yang membangakan dari Ayat-Ayat Cinta. Ini novel yang sedari awal hendak berdakwah, dan dakwah itu sedang mencari formula di tengah banyak cara yang tersedia dan perlu dicoba. Dan ada beberapa hal mendasar tentang mahasiswa Cairo dalam Ayat-Ayat Cinta yang belum terlalu jauh melenceng dari amatan Abaza. Misalnya corak pemahaman Islam yang hendak diketengahkannya. “Para alumni Cairo”, kata Abaza, “cenderung mengatakan bahwa versi Islam Mesir yang moderat lebih dekat ke hati orang Indonesia daripada versi Wahhabi yang keras”.

Moderasi Islam itu terasa dari cara pandang Fahri dalam beberapa perkara. Misalnya bagaimana beliau ini—walau sangat kentara apologetis—menjelaskan soal kedudukan perempuan di dalam Islam, soal cadar, soal poligami, dan soal etika berhubungan dengan orang non-muslim. Memang inklusif saja. Di samping itu, corak pemahaman Islam yang lebih ketat pun, sesungguhnya sangat menghantui Fahri. Untuk menolak berjabatan tangan dengan lawan jenis, Fahri harus berkhotbah panjang-lebar. Begitu juga menolak ajakan dansa. Untuk membantu Maria yang sekarat, panji-panji formalisme agama pun lebih dulu harus ditegakkan.

Akhirnya, saya tersadar bahwa ini hanyalah novel belaka. Penulis novel selalu bisa mengelak dari ulasan seperti ini. Tak apa. Mudah-mudahan aku pun kecipratan citra luhur mahasiswa Cairo yang sudah dibangun dengan susah payah oleh novel ini. Siapa tahu nilai jual alumni Cairo semakin tinggi di pasaran domestik dan akan lebih banyak lagi orangtua yang tak sabar mengangkatku sebagai menantu. Siapa tahu kan? Fahri sungguh membantu!


Novriantoni Kahar, Alumnus Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir (1997-2001)