Saturday, January 05, 2008

Syariat Demokratik

05/05/2002

Istilah ini tentu saja janggal terdengar bagi sementara kalangan, sebagaimana demokrasi masih dianggap asing, impor dari barat, dan tidak terpikirkan (ghayra mufakkar fîhi) bagi sebagian umat Islam. Dan sekarang, saya malah menyandingkan syariat dengan kata demokratik. Padahal masih ada anggapan, demokrasi bertentangan dengan Islam, atau lebih spesifik lagi, syariat Islam.

Pemahaman umum mengatakan, syariat adalah “produk langit”, sementara demokrasi itu “produk bumi”. Artinya, syariat mengikuti mekanisme vertikal yang top-down: dari Tuhan untuk manusia. Sementara demokrasi bergerak secara horizontal: dari manusia untuk manusia. Karena syariat itu dari Tuhan untuk manusia, maka campur tangan manusia untuk menolak, mendebat atau bahkan mempertanyakannya, tak perlu ada. Dari sudut pandang ini, syariat harus diterima bulat-bulat dan yang menerima (baca: manusia) harus menjadi mayat.

Pandangan di atas tentulah musykil untuk akal sehat kita. Betul memang, Tuhan menurunkan syariat untuk kebaikan manusia. Dan tidak juga salah bila beranggapan bahwa Tuhan lebih tahu dari manusia. Tapi, pertanyaannya kemudian: betulkah yang ditangkap oleh umat Islam kini betul-betul syariat Tuhan?

Pertanyaan ini penting. Dan saya kira, ada dua jawabannya. Pertama, syariat bukanlah paket Tuhan sekali jadi. Syariat bila dilihat dari konteks kesejarahannya selalu berkembang dan terus beranjak dewasa dari masa ke masa. Untuk itu, syariat tidak dapat dikatakan sudah final. Wahyu dan hadits memang final, tapi usaha pemahamannya tidak pernah selesai. Selain itu, ada dimensi ruang dan waktu yang bermain dalam proses itu. Sehingga menjadikan syariat yang peka ruang dan waktu. Karena kepekaan itulah, syariat dapat disebut “baik untuk tiap-tiap waktu dan ruang” (shâlih likulli zamân wa makân).

Kedua, kalaupun syariat adalah paket yang utuh, kita bukanlah tangan pertama yang menerima. Bisa dipastikan, bahwa yang paling tahu isi syariat jelaslah penerima pertama: Nabi Muhammad Saw. Adapun kita, entah menjadi tangan keberapa dalam proses pembedahan dan pemahaman isi syariat. Boleh jadi, apa yang kita tangkap tentang syariat adalah bagian-bagian, potongan-potongan atau bahkan cuilan-cuilan dari syariat saja. Beranjak dari dua asumsi di atas, pentinglah bagi kita untuk menjadikan syariat sebagai perdebatan publik. Dalam konteks ini, syariat tidak hanya monopoli para “ulama”, apalagi dijadikan kampanye oleh partai politik. Inilah yang saya maksud dengan syariat demokratik.

Sebenarnya istilah ini juga saya pinjam dari Abdullah Ahmad An-Na’im, pemikir asal Sudan. Ia menulis buku yang terbit dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Syariat Demokratik. Menurut Na’im, syariat Islam harus dapat memberikan respon yang memadai atas wacana demokrasi, HAM ataupun kebebasan. Pertanyaan kita sekarang ketika melihat maraknya tuntutan syariat Islam di tanah air: sudahkah wacana atau tuntutan atau keputusan perda tentang penerapan syariat itu didiskusikan dan melibatkan banyak orang?

Pertanyaan ini penting, saya kira. Sebab ada kekhawatiran, wacana atau tuntutan atau perda tentang penerapan syariat tidak mengikuti mekanisme yang demokratis. Artinya, itu bukan murni produk keinginan banyak kepala. Kekhawatiran ini tentu sah-sah saja. Kecuali untuk orang yang tidak percaya kalau Islam menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. [Novriantoni]

No comments: