Thursday, January 10, 2008

Terorisme atau Kontraterorisme?

02/07/2007

Upaya Tim Pembela Muslim (TPM) untuk mempraperadilkan kasus penembakan Abu Dujana yang berlangsung di depan mata anaknya merupakan langkah hukum yang patut dihargai. Sangat boleh jadi, satuan Datasemen Khusus 88 Anti-Teror telah bertindak kurang proporsional. Mungkin juga mereka sedikit gagah-gagahan karena sedang menangkap sosok yang dianggap sangat berbahaya. Kita belum tahu apa yang sungguh terjadi. Kejelasan kasus ini masih perlu penyelidikan lebih mendalam.

Namun pernyataan Abu Bakar Baasyir bahwa apa yang dilakukan Abu Dujana cs bukan aksi terorisme melainkan kontraterorisme sangat perlu dikritisi. Apalagi dalam konferensi pers di gedung Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Selasa (26/7) lalu, Baasyir juga menuntut dibubarkannya Densus 88 yang selama ini bertugas menangkap para tersangka terorisme.

Pernyataan itu memang retorika yang tipikal dari orang-orang yang mengingkari fakta terorisme di Indonesia. Kita tidak tahu, dengan bukti macam apa mereka akan berhenti mengelabui opini publik. Kita pun hanya mampu meraba-raba ikatan batin antara Baasyir dengan para pelaku teror itu. Yang kita tahu pasti, aksi-aksi terorisme telah memakan banyak korban. Dan, sudah tiba saatnya untuk berseru lantang: cukup!

Karena itu, jika opini Baasyir selalu kita perhitungkan, upaya pemberantasan terorisme mungkin saja akan terhambat. Dan, bukan mustahil aksi-aksi terorisme berikutnya akan kembali meledak karena terus mendapat pembenaran, baik secara teologis-ideologis maupun taktis-strategis. Pelaku terornya memang sedikit orang, tapi sugesti dan dukungan banyak orang yang sealur pikiran telah membesarkan hati dan kekuatan mereka.

Sejauh ini, ungkapan pembenaran itulah yang selalu muncul dari pernyataan-pernyataan Baasyir. Selain pembenaran teologis-ideologis, para pelaku teror itu juga terbantu oleh pembenaran taktis-strategis. Oleh sementara orang, tindakan mereka dinilai sebagai aksi heroik demi membalas teror yang lebih besar, baik yang dilakukan Amerika di Irak maupun Afganistan sana. Bagi mereka, aksi mereka tidak lebih brutal dari apa yang dilakukan musuh jauh mereka: mesin-mesin perang George W Bush.

Karena musuh besar tak dapat mereka rengkuh, maka tak mengapa bertindak sekenanya terhadap musuh yang mudah dijangkau. Dengan alur pikir seperti ini, para pembenar ideologi terorisme telah ikut andil dalam memberi sugesti dan memalingkan isu dari persoalan sebenarnya. Pelaku teror dalam negeri tidak dipandang sebagai teroris, melainkan kontraterorisme. Jatuhnya korban-korban tak bersalah pun tak membuat mereka jatuh iba. Dengan entengnya, mereka dianggap berada di tempat yang salah.

Padahal, tanpa kritik Baasyir pun, rezim Bush yang dianggap sebagai the real terrorist, telah banyak menuai kritik dari publik dalam negerinya. Sosok yang mungkin dibenci Baasyir, Geoge Soros, dalam buku Zaman Kenisbian: Konsekuensi Perang Terhadap Teror, termasuk orang paling keras menentang pendekatan Bush dalam perang melawan terorisme. Soros menggelontorkan uang jutaan dolar untuk menghambat terpilihnya kembali Bush meski ia gagal. Baginya, Amerika di bawah rezim Bush bak raksasa mabuk yang memberangus musuhnya secara serampangan.

Karena itu, pembedaan teroris-kontrateroris Baasyir tidak menggenapi apa-apa. Wujudnya teroris yang lebih besar tidak harus membuat absahnya teroris yang lebih kecil untuk bertindak semau-maunya. Itulah alur logika yang benar meski mungkin tak disepakati Baasyir. Sebab, logika Baasyir tampak berjalan ke arah sebaliknya: karena ada teroris yang lebih besar, maka teroris kecil-kecilan absah belaka adanya. Jika demikian logika Baasyir, itu tentu sudah berbeda dengan logika kebanyakan orang sehat Indonesia lainnya.

Implikasinya, pekerjaan rumah kita untuk memberantas terorisme menjadi ganda. Tidak hanya memerangi terorisme, kita juga diharuskan menyingkap alur pikir orang-orang yang selalu siap sedia melakukan pembenaran terhadap tindak teror itu sendiri. Tugas pertama sejauh ini sudah dilakoni dengan baik oleh kepolisian, sementara tugas kedua sepenuhnya berada di pundak siapa saja yang cinta iklim kedamaian, baik bagi Indonesia maupun dunia.[Novriantoni]

No comments: