Thursday, January 10, 2008

Al-Islâm: Agama atau Politik?

16/07/2003

Judul: Al-Islâm Al-Siyâsiy (Islam Politik)

Pengarang: Muhammad Sa’id Al-Asymawi

Penerbit: Penerbit Sinai, Mesir

Tahun: 1992 (cet. II)

Tebal: 248 halaman.

Al-Islâm: Agama atau Politik?


Semenjak Presiden Soeharto sebagai simbol Orde Baru tumbang dari tampuk kekuasaannya, Indonesia mengalami euforia kebebasan politik yang belum terjadi sebelumnya. Banyak pihak yang menangguk kebebasan. Di antara wujud kebebasan yang paling tampak adalah kesempatan untuk menyiarkan ragam-ragam aspirasi atau tuntutan-tuntutan yang sejak lama terpendam; mulai dari teriakan desentralisasi kekuasaan, pekikan kedaulatan ataupun merdeka, sampai romantisme “negara Islam”.

Tuntutan aplikasi syariat (tathbiqus syariiah) pada level negara dan oleh negara dalam konteks Indonesia pasca-Soeharto, dapat digolongkan sebagai bentuk aspirasi yang terakhir disebutkan. Memang, masih kurang jelas, apakah tuntutan tersebut demi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, atau sekadar upaya untuk sampai ke pucuk kekuasaan dengan anjungan retorika dan slogan agama.

Negara (baca: kekuasaan pemerintah) yang dulu dibenci, serta-merta kembali dirindu. Keyakinan akan kompetensi negara dalam mengurusi kehidupan beragama seakan meningkat. Padahal, mereka yang menjuangkan aspirasi demikian, boleh jadi tidak betul-betul yakin kalau agama akan terurus secara becus oleh kekuasaan negara yang korup. Mungkinkan agama diserahkan ke tangan lembaga yang terbukti gagal menjalankan tugas yang semestinya?

Hanya saja, mungkin demikianlah hasil penjumlahan rasa tertekan, romantisme dan harapan akan Ratu Adil. Di tengah badai krisis, semuanya menjelma menjadi penawar solusi. Berbagai retorika agama yang manis dikata (semisal kedaulatan Tuhan, syariat adalah solusi, khilafah Islamiyyah, dan lain-lain) tak putus-putus diteriakkan. Apakah slogan, retorika, dan ungkapan-ungkapan manis yang nyaring terdengar itu tulus merupakan upaya untuk keluar dari keterpurukan, atau cuma “pepesan kosong”, karena sifatnya yang emosional-sloganistik?

Buku Al-Islâm Al-Siyâsî (Islam Politik) karangan pakar perbandingan hukum Islam-hukum konvensional dari Negeri Piramida ini, Al-Asymawi, sedikit banyak mampu memberi penjelasan. Buku ini mengulas, menganalisis, dan mengritik wacana-wacana yang selama ini direproduksi oleh nalar Islam Politik secara pedas, bahkan provokatif. Berbagai topik yang menghantui pemikiran keislaman selama ini, seperti konsep al-hâkimiyyah, negara Islam, jihad, fundamentalisme, dan aplikasi syariat, mendapat porsi kritik masing-masing. Al-Asymawi terlalu garang dan gamblang dalam melakukan kritik. Slogan-slogan, retorika-retorika, dan ungkapan-ungkapan yang terkesan renyah dan dengan enteng dikumandangkan para aktivis Islam Politik di Mesir, nyaris memudar kilaunya, dan —lebih dari itu— kehilangan legitimasi keislamannya. Karena perbuatannya itu, Al-Asymawi harus menanggung risiko ancaman dan teror. Sampai kini, beliau masih hidup di bawah perlindungan aparat keamanan Mesir selama 24 jam penuh.

Unit analisis buku ini adalah para aktivis Islam Politik dan wacana-wacana yang mereka kembangkan di Mesir. Tapi, sebagaimana ditegaskan Al-Asymawi, Mesir hanyalah contoh kasus (namûdzaj). Kesamaan-kesamaan dalam retorika dan slogan-slogan, membuat buku ini penting untuk dirujuk, sebagai kritik atas fenomena Islam politik di berbagai negara selain Mesir (hal. 5). Apa yang dikatakan Al-Asymawi, dalam konteks ini nampaknya logis belaka. Siapapun yang mencermati fenomena Islam Politik, dengan mudah akan dapat menemukan, bahwa pada tingkat retorika, wacana-wacana yang mereka propagandakan cenderung sama, sekalipun varian-varian dalam corak pergerakan dan afiliasi organisasinya berbeda-beda.

Al-Asymawi juga tidak sedang melebih-lebihkan pentingnya buku ini, justru karena posisi sentral Mesir, baik dalam percaturan intelektual Arab maupun pergerakan Islam modern. Mesir, tak pelak lagi merupakan pioner sekaligus pusat kebangkitan Islam yang sering dijadikan acuan. Gagasan-gagasan dari Mesir, baik yang terkonsep dengan rapi maupun sloganistik saja, banyak diadopsi —bahkan tanpa penyaringan sekalipun— oleh pelbagai gerakan Islam Politik di berbagai negara. Indonesia, tentu saja bukan perkecualian.

Sebagaimana biasa, Al-Asymawi selalu memulai tulisannya dengan mengidentifikasi konsep-konsep dasar secara jelas dan tegas. Terma “Islam Politik” misalnya, dia definisikan sebagai ajektif bagi kelompok-kelompok yang pada hakikatnya sedang melakukan kegiatan politik, tapi memanfaatkan agama sebagai tameng dan syariat sebagai topeng. Meskipun kelompok demikian merupakan fenomena khas yang muncul sejak abad lalu (sekitar tahun 1920-an), tapi preseden sejarahnya dapat dikembalikan pada zaman klasik Islam. Sekte Khawarij sebagai kelompok yang membelot dari kubu Ali bin Abi Thalib dalam sengketa politik dengan kubu Muawiyyah bin Abi Sufyan, merupakan representasi yang paling dikenal dalam sejarah klasik Islam.

Meski demikian, Al-Asymawi tidak menamakan kelompok ini sebagai Khawarij baru, atau neo-Khawarij. Al-Asymawi menggunakan istilah “Islam Politik” untuk membedakan mereka secara kategorial dengan kalangan Islam al-mustanîr (tercerahkan/enlightened) yang tersimbolisasi dalam figur-figur semacam Al-Afghani dan Abduh, satu abad sebelumnya. Dari distingsi yang dibuatnya, Al-Asymawi nampaknya ingin melakukan delegitimasi atas kelompok Islam Politik, dengan menunjukkan kedangkalan wacana dan konsep pergerakan mereka dibandingkan dengan pendahulunya: para pelopor revivalisme Islam yang berajektif “tercerahkan”.

Tesis utama buku ini mengemukakan bahwa, fenomena Islam Politik merupakan bagian dari krisis besar yang dihadapi umat Islam sejak runtuhnya kesultanan Turki Utsmani pada tahun 1924. Hanya saja, alih-alih meratapi keruntuhan itu, Al-Asymawi justru mencermati persoalan lain yang lebih penting. Menurutnya, fikih Islam sama sekali tidak mengandung teori politik yang jelas. Akibatnya, kita tidak mempunyai pembahasan tentang sistem politik “yang mungkin” lagi “realistik” (hal. 19). Kata “yang mungkin” dan “realistik” menjadi penting dan merupakan kata kunci dalam kritik Al-Asymawi. Kegagalan-kegagalan yang dialami kelompok Islam Politik selama ini, menurut Al-Asymawi justru lebih disebabkan oleh kontradiksi-kontradiksi konseptual yang mereka ciptakan sendiri. Hal itu dapat dicermati dari ungkapan-ungkapan sloganistik yang terus-menerus mereka pekikkan. Dengan sedikit melakukan simplifikasi, krisis demikian dapat juga disangkut-pautkan dengan apa yang dikatakan oleh Muhammad Abied Al-Jabiri sebagai krisis pada tataran struktur nalar (bunyatul ‘aql) politik itu sendiri. Dalam konteks buku ini, krisis pada struktur nalar politik itu, terjadi saat kalangan Islam Politik secara semena-mena mengaitkan politik dengan agama, sehingga politik kehilangan rasionalitasnya sendiri.

Setidaknya ada dua alasan yang dikemukakan Al-Asymawi sebagai dalil untuk memperkukuh tesisnya.

Pertama, argumen historis. Secara historis, umat Islam —terutama yang bersemangat mencampuradukkan agama dengan politik— tidak pernah sadar, bahwa konflik yang terjadi antarumat Islam sejak zaman klasik Islam, merupakan konflik politik yang sangat kental dibumbui oleh isu agama dan klaim-klaim syariat —kalau bukan agama dan syariat sebagai menu utamanya. Oleh karena itu, tanpa memungkiri dan berkelit dari fakta sejarah, Al-Asymawi justru mengatakan bahwa sejarah Islam adalah sejarah perang (târikhu harbin) di mana nafsu kekuasaan tanpa sungkan-sungkan mengangkangi nilai-nilai etik-moral keagamaan.

Kisah-kisah ironis dan intrik-intrik politik yang paling biadab sekalipun —dan itu pernah dipraktikkan dalam sejarah Islam— dikemukakan Al-Asymawi pada bagian ini tanpa tedeng aling-aling. Tragedi-tragedi tersebut, justru dia kutipkan dari kitab-kitab sejarah klasik Islam sendiri. Kisah pembunuhan Utsman dan pemakamannya di perkuburan Yahudi, pemenggalan kepala Husein bin Ali (cucu nabi), dan pembantaian politik yang dilakukan pendiri Dinasti Abbasid, Abul Abbas Al-Saffah (baca: sang jagal), dapat disebutkan sebagai contoh (hal. 17).

Tapi sungguh naif! Alih-alih menghindar dari kontestasi politik dengan membawa-bawa agama, kalangan Islam Politik justru gagal belajar dari sejarah. Mereka, tak bosan-bosan menarik-narik agama ke arena politik dengan berbagai impak negatifnya. Sementara Allah menginginkan Islam sebagai agama, tapi umatnya —khususnya kelompok Islam Politik— justru menghendakinya sebagai politik, tulis Al-Asymawi dalam pengantar bukunya.

Kedua, argumen teoritis-konseptual. Secara teoritis-konseptual, Al-Asymawi mencermati bahwa kelompok Islam Politik sama sekali belum mampu membuat terobosan fikih tentang konsep negara yang baik. Bagi Al-Asymawi, ungkapan-ungkapan sloganistik yang senantiasa diumbar kelompok Islam politik, seperti al-Islâm huwal hall (Islam adalah solusi) tidak cukup memadai untuk mengatasi krisis mendasar yang sedang dialami umat Islam dalam berbagai aspeknya. Kelompok Islam Politik, bagi Al-Asymawi, sama sekali tidak mengemukakan idiom-idiom yang masuk akal, agenda politik yang tepat, serta teori yang kongkrit dan realistik demi mengatasi krisis tersebut (hal. 76). Yang mereka kerjakan tidak lebih hanya mengumbar slogan-slogan hampa makna, retorika-retorika menyihir, dan waham atau ilusi belaka.

Setelah sekitar lima puluh tahun lebih mencermati dunia sloganistik kalangan Islam Politik, Al-Asymawi menyimpukan bahwa kegagalan proyek Islam Politik, justru disebabkan terpakunya mereka pada slogan-slogan yang secara lahir manis bagai madu, tapi hakikatnya adalah racun yang berbisa. Pada akhirnya Al-Asymawi berkesimpulan, ungkapan-ungkapan sloganistik tak akan pernah membuahkan perubahan, justru karena sifatnya yang emosional, tak rasional, dan tidak realistik.

Al-Asymawi memberi contoh tentang propaganda Islam Politik yang tidak realistik. Dalam berbagai kesempatan, kalangan Islam Politik sering kali mengandaikan umat Islam kembali ke masa Nabi, Umar bin Khattab, ataupun Umar bin Abdul Aziz, sebagai prototipe “negara Islam ideal” dalam sejarah perpolitikan Islam. Tapi bagi Al-Asymawi, pengandaian itu tak lebih hanya mimpi yang tak pernah berwujud, kecuali selama 12 tahun dari 14 abad lamanya rentang sejarah Islam (hal. 176). Jelas sekali, Al-Asymawi mencoba mengingatkan umat Islam akan pentingnya memperhatikan dimensi ruang dan waktu atau memperhatikan realitas sejarah (al-wâqi‘iyyah al-târîkhiyyah) ketika mereproduksi gagasan-gagasan. Dan sayangnya, aspek tersebut selalu saja tidak diacuhkan banyak aktivis Islam Politik sampai detik ini.

Hal penting yang perlu diketahui di luar isi buku ini adalah sosok diri Al-Asymawi sendiri. Kalau dilihat dari latar belakang profesinya, mereka orang yang membaca buku ini tentu mudah menuduh pengaranya sebagai penulis yang tidak fair dalam menilai kelompok Islam Politik yang dia kritik secara pedas dan tanpa ampun. Maklum saja, Al-Asymawi bukanlah seorang akademisi yang biasa diasumsikan cukup objektif dalam menulis. Di Mesir, dia adalah seorang penulis yang sangat terlibat dalam struktur kekuasaan Mesir yang despotik. Bahkan, karir kenegaraannya dia lakoni sebagai Hakim Agung. Dengan fakta ini, dia bisa saja dianggap buta-tuli, sama sekali tidak berempati, dan gagal memahami gejolak psikologis kelompok Islam Politik di bawah kontrol politik pemerintahan Mesir, sejak Presiden Nasser sampai Mubarak.

Hanya saja, kritik tersebut tidak serta merta menganulir berbagai paparan yang dikemukakan Al-Asymawi. Dengan begitu juga, hal itu tidak membuat buku ini kehilangan signifikansinya. Andai disadari oleh kelompok Islam Politik khususnya, buku ini justru sangat berguna untuk introspeksi diri dan meninjau ulang pelbagai wacana yang mereka usung. Akhir kalam, buku ini sedikit banyak berkesesuaian dengan buku Gagalnya Islam Politik (Olivier Roy, 2002) dan akan melengkapi pemahaman kita tentang fenomena Islam Politik yang semakin dilirik dunia belakangan ini. Roy lebih banyak membahas aspek sosiologis Islam Politik, semantara Al-Asymawi lebih menukik pada analisis atas struktur nalar Islam politik itu sendiri. Selamat menelaah! [Novriantoni]

No comments: