Thursday, January 10, 2008

Menyempitkan Ruang Tabu Pemikiran

13/12/2004

Ada kejadian kecil yang cukup menarik dalam perhelatan Muktamar NU Ke-31 di Asrama Haji Donohudan Boyolali kemarin. Media massa menginformasikan aksi protes dan boikot terhadap salah satu menu makan yang disuguhkan panitia muktamar: Ayam Bakar Wong Solo, milik Puspo Wardoyo, pelaku poligami yang dulu pernah menyelenggarakan acara Poligami Award. Tidak tanggung-tanggung, aksi itu dimotori Ibu Sinta Nuriyah Wahid yang selama ini dikenal giat memperjuangkan isu kesetaraan gender di kalangan nahdliyin. Untuk menunjukkan sikap antipoligami, mereka membuat Dapur Anti Poligami sembari mempromosikan Ayam Bakar “Bukan” Wong Solo.

Kisah lain adalah soal keresahan sebagian warga nahdliyin atas aktivitas Jaringan Islam Liberal (JIL). Beberapa orang mengusulkan rekomendasi untuk menyikapi aktivitas JIL dan melarang masuk orang-orang yang terlibat JIL dalam struktur kepengurusan NU. Naifnya, salah seorang intelektual muda NU yang sudah cukup lama berinteraksi dengan JIL, ikut mendiskreditkan JIL di forum muktamar. Menurutnya, pemikiran-pemikiran JIL antibudaya lokal, bias modernis, dan bertentangan dengan doktrin-doktrin ahlussunnah waljamaah.

Sekilas tak ada yang aneh dari kritik itu. Sejauh ini, JIL tidak pernah takut apalagi mengharamkan kritik, sepedas apapun. JIL justru hidup bersama kritik dan aktif dalam membudayakan kritik. Tapi kita dapat membedakan antara kritik konstruktif dengan tendensi untuk melenyapkan eksistensi atau membunuh karakter orang lain. Meski tidak tepat, JIL tidak keberatan dituduh antibudaya lokal. Selama ini JIL memang tidak banyak membahas soal budaya lokal, sekalipun tidak bisa disebut anti. Dituduh bias modernis juga tidak jadi soal. Toh, JIL berpandangan bahwa isu-isu yang pernah dipikirkan kalangan modernis juga masih menjadi perhatian JIL. Selama ini, JIL beranggapan bahwa proses pembaruan pemikiran ibarat mata rantai yang tidak boleh terputus-putus.

Tapi ketika ide-ide JIL dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip ahlussunnah waljamaah—dan itu dilontarkan di kalangan nahdliyin—persoalannya menjadi lain. Kita tahu, ungkapan seperti itu, berimplikasi membedakan secara langsung dan diametral antara JIL dengan jantung doktrin warga NU. Meski corak pemikiran JIL tidak selamanya sesuai dengan ahlussunnah waljamaah—karena corak Muktazilah juga dapat ditangkap di sana—tapi kritik itu lebih dari cukup untuk mengambinghitamkan JIL di kandang NU langsung. Apa itu yang dimaui intelektual muda kita itu? Wallâhu a’lam!

Dari dua kasus di atas, terdapat pelajaran penting untuk kita petik. Pada kasus pertama, kita melihat adanya pergeseran wacana ke arah yang lebih maju di kalangan NU. Kita tahu, isu poligami dan kesetaraan gender, dulu masih sangat sensitif dan relatif tabu pada mainstream nahdliyin. Konon, salah satu pesantren NU seakan memperkenankan santrinya untuk berpikir seprogresif apapun, asal tidak menyentuh wilayah tabu itu. Kini, Ibu Sinta telah berinvestasi untuk menegosiasikan dan mempersempit wilayah tabu pemikiran tersebut.

Tapi pada kasus kedua, kita justru menyaksikan gejala sebaliknya. Intelektual muda kita seakan-akan hendak melebarkan area tabu pemikiran, dengan cara membuat rambu-rambu. Dibanding Gus Dur yang selama ini berusaha selebar-lebarnya membuka ruang kebebasan berpikir—dan karena itu dia menjadi panutan banyak intelektual muda NU—intelektual muda kita sungguh memprihatinkan. Padahal, sebagai pembaca Arkoun, dia pasti tahu kategori-kategori “yang terpikirkan” (al-mufakkar fih), “tak terpikirkan” (allâ mufakkar fih), “mungkin dipikirkan” (al-mumkinut tafkîr fih) dan “mustahil dipikirkan” (al-mustahilut tafkîr fih) dalam pemikiran Islam.

Atas dasar kategori-kategori itulah, murid Arkoun yang setia, Hasyim Saleh, membuat rumusannya sendiri. Menurutnya, perbedaan mencolok antara masyarakat yang maju dan belum maju dapat dilihat dari perbandingan antara wilayah “yang terpikirkan” dan “boleh dipikirkan”, dengan wilayah “tak terpikirkan” dan “tabu untuk dipikirkan”. Pada masyarakat yang maju, wilayah “yang terpikirkan” dan “boleh dipikirkan” amat luas dan lapang. Sementara pada masyarkat kurang, belum, atau tidak menghendaki kemajuan, wilayah yang “tak terpikirkan” dan “tabu pemikiran” sangat meluber, nyaris menyentuh semua perkara, baik dunia maupun akhirat (as-Syarqul Awsath, 7/12/2004). Nah, pertanyaan kita: ke arah mana intelektual muda kita hendak menggiring biduk pemikiran Islam? Wallâh a`lam! [Novriantoni]

No comments: