Monday, May 12, 2008

Islam Tanpa Fatwa Majelis Ulama

Resensi Buku
(sebelumnya dimuat di Majalah Tempo, edisi 5-11 Mei 2008)


Judul : Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini

Penulis : Irshad Manji

Penerjemah : Herlina Permata Sari

Penerbit : Nun Publisher, Jakarta

Cetakan : Pertama, April 2008

Tebal : 342 halaman


Jika di Arab Saudi, Pakistan, Afganistan, dan Nigeria, praktik Islam yang keras—Irshad Manji menyebutnya ”Islam padang pasir”—masih mendominasi karena kolaborasinya dengan tribalisme, secara sosiologis itu bisa dimengerti walau tak perlu terus dibiarkan. Tapi bagaimana mungkin itu berhasil diekspor ke Eropa dan Amerika Utara? Bagaimana dengan Asia Tenggara?

Itulah fakta yang tidak terlalu baru tapi cukup mencengangkan. Di Toronto, Kanada, Manji menyaksikannya. Ia tersentak: “Aku merasa mual. Apapun budaya di tempat kaum muslim hidup, baik budaya pedesaan maupun budaya digital, dan apapun generasinya, …Islam muncul sebagai sebuah agama tribal yang mengkhawatirkan. Kita memang memerlukan reformasi. Sungguh!” (hal. 74).

Manji menilai, perkembangan Islam dewasa ini bukanlah seperti pesawat yang terbang menuju zona aman toleransi dan hak-hak asasi manusia. Pesawat Islam telah dibajak! Kini ia terbang ke arah sebaliknya. Siapa yang membajaknya? Menurut Manji, dana petrodolar betul-betul sukses mengampanyekan corak Islam padang pasir agar diterapkan di banyak kawasan negeri muslim.

Proyek itu berhasil di Afganistan, Sudan, dan Pakistan. Manji pun kuatir arus itu merambah Asia Tenggara. “Budaya-budaya lokal diabaikan di daerah-daerah seperti Indonesia dan Malaysia, karena dianggap tak cukup islami (maksudnya, tidak cukup Arab),” kata Manji. Bagi Manji, “mereka yang jauh dari padang pasir secara umum tidak menentukan arah Islam dewasa ini. Arab Saudilah yang menentukan” (hal. 227).

Manji mungkin terlalu menggeneralisasi dan kurang akurat dalam soal ini. Tapi jikapun kurang akurat, rasanya tak mengapa mengaggap itu sebagai lonceng peringatan. Itu sebabnya, relevan mempertanyakan apa yang dilakukan kelas menengah di tiap negara muslim dalam membendung wabah global Islam jenis ini.

Di Pakistan, “kebanyakan kelas menengahnya membiarkan diri mereka ikut tenggelam ke dalam arus fundamentalisme yang kejam” (hal. 202). Mereka menghamparkan karpet merah untuk ekstremisme sembari mencampakkan Islam toleran yang digariskan pendiri negara mereka, Ali Jinnah. Hasil dan korbannya pun nyata.

Makanya, Manji tak habis pikir. Bagaimana mungkin umat Islam non-Arab yang 87 % harus terus menerus inferior dan menjadikan diri mereka satelit dari corak Islam-Arab yang 13 % saja dari total populasi muslim dunia? Di Indonesia, ironi itu kini nyata dari sikap Majelis Ulama Indonesia dan banyak kelompok Islam yang begitu peduli terhadap fatwa Saudi dan negara-negara OKI dalam perkara Ahmadiyah.

Padahal, jika lempang mengikuti konsideran Saudi, akan banyak hal yang haram dan dilarang di Indonesia. “Kelompok Syiah dalam ajaran resmi Wahabi, sah untuk dilenyapkan karena dianggap sebagai buah dari konspirasi Yahudi” (hal. 233). Apakah ormas-ormas Islam garis keras dapat hidup bebas di Indonesia jika kita konsisten menjiplak Saudi dan negara Arab lainnya?

Untuk itu, muslim Indonesia mesti bangga dengan corak Islam warna-warni kita, sembari menyatakan sikap ini: Berhentilah mendikte kami soal “Islam yang benar”, Syekh! Ini negara demokrasi; jangan lagi ajari kami bagaimana cara memperlakukan Ahmadiyah!

Pandangan Manji tentang reformasi Islam cukup unik walau agak sloganistis. Menurutnya, “Reformasi bukanlah memberitahu kaum muslim awam tentang apa yang tidak boleh dipikirkan. Reformasi adalah menggugah satu juta pemeluk Islam yang cerdas untuk berpikir” (hal. 83). Itulah yang dia harapkan dari umat Islam saat ini.

Kemampuan dan kepiawaian dalam melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang Islam itulah yang menjadi kekuatan utama dan pesona buku ini. Di hadapan pertanyaan-pertanyaan kritis Manji, ulasan-ulasan tentang Islam dari figur-figur Islam yang tercerahkan sekalipun akan tampak apologetis, konyol, dan tidak berdasar.

Pertanyaan-pertanyaan brilian itu ditunjang riwayat hidup Manji yang menolak untuk menjadi ”robot religius” sejak dini. Dari umur belasan tahun, ia sudah terasah untuk berpikir kritis. Ia kagum terhadap ijtihad, etos berpikir bebas dalam Islam. Konsep itulah yang ia jabarkan dengan cara lebih praktis, jauh dari baluran teori. Misalnya dalam bentuk saran pemberdayaan ekonomi perempuan.

Menurut Manji, ”Operasi ijtihad dimulai dengan memberdayakan lebih banyak perempuan muslim untuk menjadi wirausahawan,” (hal. 248). Manji percaya, perdagangan dapat menumbuhkan independensi pada kaum perempuan serta membentuk kontrak-kontrak sosial yang lebih cair. Dia pun menegaskan bahwa ”media massa harus menjadi salah satu ujung tombak lain dari operasi ijtihad” (hal. 256).

Pada titik ini, tidak kita temukan teori ijtihad yang mendalam dari Manji. Mungkin dia sudah tak terlalu percaya akan teori-teori yang njelimet tentang ijtihad. Sebab ijtihad pun sesungguhnya sudah lama membeku dan ”itulah yang tepat diinginkan kaum fundamentalis” (hal. 228). Karena itu, syarat ijtihad Manji amat longgar. Kita hanya butuh lebih peka akan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. “Dengar, kita tidak harus menjadi ulama untuk bisa berijtihad. Yang harus kita lakukan adalah mengekspresikan secara terbuka pertanyaan-pertanyaan kita mengenai Islam” (hal. 124).

Bagi Manji, “Islam memiliki potensi untuk menjadi agama yang bijaksana dan manusiawi. Adalah kita umat Islam yang harus memiliki keberanian untuk berubah” (hal. 31). Tepat pada dorongan agar Islam beradaptasi dengan hal yang baik-baik itulah inti dari kritik Manji terhadap Islam di buku ini. “Kalaupun Islam memang fleksibel, maka ia mestinya bisa beradaptasi dengan hal-hal yang baik, dan bukan untuk hal-hal yang buruk, bukan?” (hal. 63).

Saya membayangkan, Islam yang diinginkan Manji adalah Islam tanpa fatwa majelis ulama. Jika banyak orang yang sudah berpikiran kritis dan cerdas seperti Manji, bukankah kita tak perlu lagi lebih banyak fatwa?! (Novriantoni)

Kaum Moderat adalah Bagian dari Persoalan

Cerdas, kritis dan lugas. Itulah kesan yang tertangkap dari figur Irshad Manji, melalui memoarnya yang menjadi bestseller internasional yang cukup kontroversial: The Trouble with Islam Today. Akhir bulan April 2008 lalu, Manji berkunjung ke Jakarta dalam rangka peluncuran bukunya yang telah dialihbahasakan ke bahasa Indonesia dengan judul: Beriman tanpa Rasa Takut terbitan Nun Publisher. Jaringan Islam Liberal (JIL) memanfaatkan momen kunjungannya tersebut dengan mengundangnya untuk berdiskusi di Utan Kayu dengan topik: “Apa Yang Salah Dengan Islam Kini?”

Tak jauh berbeda dari memoarnya, Manji ternyata memang merupakan seorang Muslimah yang kritis, pemikir yang brilian, dan pembicara yang memikat dan penuh semangat. Di awal diskusi, Manji bersikap demokratis. Ia memberi para peserta diskusi pilihan agar ia memulai agenda dengan presentasi kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab. Atau agar dari semula langsung dimulai tanya jawab mengingat garis besar proposal yang diajukannnya mengenai pembaruan Islam, ijtihad atau pemberdayaan nalar, serta penafsiran Alquran yang sesuai dengan kehidupan plural yang modern, kurang lebih serupa dengan apa yang diyakini dan diperjuangkan oleh Jaringan Islam Liberal selama ini.

Tawaran tersebut segera disambut dengan pertanyaan dari seorang diskusan tentang kemungkinan pembaruan dalam Islam. Manji, yang akibat pemikiran Islam progresifnya kerap memperoleh kecaman keras bahkan ancaman fisik, mengatakan bahwa di satu sisi, dahaga akan penyegaran Islam sangat dirasakan oleh kaum Muslim, terutama mereka di negara-negara Timur Tengah yang menjadi saksi nyata atas berlangsungnya berbagai jenis pelanggaran hak asasi manusia atas nama agama dan kehormatan. Namun di sisi lain, anugerah kebebasan berpendapat yang diperoleh kaum Muslim di negara-negara maju secara taken for granted, belum dimanfaatkan secara maksimal karena masih adanya perasaan takut di kalangan Muslim untuk mengkritik agamanya. Padahal, lanjut Manji, yang perlu dikritisi bukanlah “iman”, tapi “dogma”.

Manji pun menyimpulkan bahwa apa yang diajarkan padanya selama di madrasah, antara lain bahwa perempuan lebih rendah daripada lelaki atau bahwa kaum Yahudi itu licik, culas dan serakah, tak lain merupakan dogma, dan bukan iman. Sebagaimana dogma-dogma lainnya, baik itu sosialis, kapitalis, ateis, ataupun feminis, dogma ini pun sangatlah lemah, rigid dan silau di bawah terpaan pertanyaan. Tak mengherankan jika setelah mengajukan begitu banyak pertanyaan kritis terhadap ustadnya, Manji terpaksa dikeluarkan dari madrasah pada usia empatbelas tahun. Sambil bergurau Manji mengatakan bahwa baginya itulah bukti nyata akan keberadaan Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Dalam diskusi di Teater Utan Kayu yang dihadiri oleh berbagai kalangan dari beragam latarbelakang ini, Manji menegaskan bahwa meskipun secara teori Nabi telah bersabda akan tiadanya otoritas agamawan (ruhbaniyah) di dalam Islam—tidak seperti Katolik misalnya yang mengharuskan pengikutnya tunduk terhadap otoritas gereja dan paus dalam soal agama daripada menafsirkannya secara independen—tapi kenyataan berbicara lain. Di dalam Katolik ataupun agama selain Islam, seseorang bisa menjadi pemberontak. Ia mungkin akan dikecam, diprotes ataupun dipojokkan, namun ia tidak perlu khawatir akan kehilangan nyawanya. Manji sendiri merasa perlu memasang kaca anti peluru pada rumahnya di Kanada dan melakukan pemeriksaan menyeluruh pada kendaraan pribadinya dikarenakan ancaman pembunuhan yang bertubi-tubi terhadapnya. Hal ini tentu mengingatkan kita pada fatwa mati terhadap Ulil Abshar-Abdalla, akibat artikel kontroversialnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam” beberapa tahun lalu.

Mengenai fenomena menjamurnya kekerasan dan terorisme atas nama Islam, Manji menilai bahwa pembedaan antara Muslim ektrimis dan moderat tidaklah begitu berguna. Baginya, alih-alih memecahkan masalah, kaum Muslim moderat sendiri adalah bagian dari permasalahan. Hal itu karena meskipun mengecam terorisme, mereka sama sekali tidak mengakui adanya peran agama dalam kasus tersebut. Ini menurutnya merupakan bentuk ketidakjujuran karena para teroris pendamba surga dan kesyahidan itu jelas-jelas mengutip firman Allah untuk membenarkan aksi mereka.

Karena itu, Manji menegaskan bahwa ia sama sekali bukanlah seorang Muslim moderat. Ia adalah seorang Muslim reform-minded yang mengakui adanya ayat-ayat kekerasan dalam Alquran yang perlu ditafsirkan ulang agar tidak lagi terperangkap dalam konteks abad ketujuh Masehi. Bukankah Alquran sendiri lebih banyak berbicara mengenai pentingnya berpikir, menganalisa dan merenung daripada tentang apa yang benar dan apa yang salah?

Dalam persoalan Ahmadiah misalnya, Manji menyatakan bahwa kelompok Islam yang menghujat, mengkafirkan, bahkan menyerang kelompok pengikut Mirza Ghulam Ahmad itu sesungguhnya telah mengambil alih peran Tuhan, karena sejatinya hanya Tuhanlah yang mengetahui kebenaran hakiki dan berhak menghakimi keimanan hamba-Nya. Meskipun Manji menyatakan diri sebagai seorang pluralis, ia sama sekali bukanlah relativis. Seorang pluralis akan menghargai beragam perspektif dan cara pandang tentang kebenaran, ujarnya, sementara seorang relativis akan mendukung apa saja karena sebetulnya ia tidak memiliki pendirian apapun.

Manji sangat mengagumi Indonesia dengan Pancasilanya, yang menurutnya sama persis dengan konstitusi Amerika Serikat yang menjunjung tinggi prinsip kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Ia optimis bahwa mentalitas “kita lawan mereka” yang hinggap di kebanyakan negara Timur Tengah, akan segera tergantikan oleh pemikiran Islam pluralistik a la “Bhineka Tunggal Ika” yang telah sejak lama dianut oleh Indonesia. Bukankah jumlah Muslim Indonesia jauh lebih banyak daripada jumlah total Muslim di seluruh kawasan Timur Tengah? Karena itu di sela-sela presentasinya yang berlangsung hangat dan menarik, ia mengajukan pertanyaan tentang strategi apa yang akan ditempuh kaum Muslim Indonesia untuk mewujudkan Indonesia sebagai teladan pluralisme bagi dunia Islam.

Luthfi Assyaukanie, koordinator Jaringan Islam Liberal yang malam itu bertugas selaku moderator, menjelaskan pada Manji bahwa kaum Muslim Indonesia saat ini menghadapi tantangan berupa pengaruh Wahabisme. Manji, yang terjemahan bukunya ke bahasa Arab, Persia, dan Urdu dimuat di websitenya www.irshadmanji.com mengingat resistensi terhadap bukunya menguat di negara-negara pengguna bahasa di atas, menyebut fenomena tersebut sebagai “imperialisme budaya Arab”. Imperialisme itu berupa mentalitas tribal padang pasir yang mencakup prinsip kehormatan yang mendudukkan perempuan sebagai properti lelaki. Dan justru karena ancaman itulah, menurut Manji, urgensi menghidupkan kembali nilai pluralisme menemukan momentum kritisnya.

Akhirnya, forum yang tanpa terasa telah berlangsung hampir dua jam tersebut sayangnya harus segera diakhiri, mengingat Manji harus segera bersiap-siap untuk berangkat ke Yogyakarta. Semoga harapan tulus Manji pada bumi pertiwi ini menjadi kenyataan… [Lanny Octavia].

Thursday, April 24, 2008

To write or not to write?


Awal minggu ini, seorang Muslimah reformis asal Canada yang dinobatkan oleh Jakarta Post sebagai satu dari tiga perempuan Muslim yang membuat perubahan dalam Islam, Irshad Manji, datang ke Jakarta. Ia menulis sebuah buku yang sangat inspiratif, brilliant, dan menohok dogma (bedakan antara dogma dan iman dia bilang saat itu) berjudul "The Trouble with Islam Today: A Muslim's Call for Reform in Her Faith" yang kini telah dialih-bahasakan ke Indonesia dengan judul "Beriman Tanpa Rasa Takut". Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan berharga ini, kami pun mengundangnya ke sebuah diskusi bertema "What Went wrong with Islam today?"

Irshad adalah sosok yang ramah, hangat, dan tentu saja cerdas serta brilliant. Dia seorang yang sangat rasional. Khas seorang jurnalis cum aktivis, dia selalu bersemangat dalam memaparkan pemikirannya, tidak hanya di depan khalayak ramai, namun juga secara personal. Terus terang, beberapa tahun lalu daku pernah meng-escort seorang intelektual Muslim asal Timur Tengah yang kini eksis di Eropa, yang menurutku kurang simpatik, menyimpan prejudice, memandang sebelah mata Muslim non-Arab, dan suka mengeluhkan hal remeh temeh nan sepele.

Kadang, daku mendapati betapa banyak orang ‘barat’ yang ber-akhlaq karimah, dan tidak sebaliknya dengan orang 'timur'. Manaaa adat ketimurannyaa??? Memang tidak semuanya begitu sih, dan daku sama sekali tak berpretensi untuk menjudge, atau mengeneralisir hal itu, alih-alih menggiringnya ke soal Islam dan non-Islam. Tapi fakta pahitnya, daku yang berbusana Muslimah ini, ternyata lebih merasa nyaman berjalan di suatu sudut Melbourne, daripada di jalanan Islamabad atau Riyadh. Well, it is out of the context, but I must write about it next time.

Kembali ke laptop, eh Irshad. Yang juga menyenangkan darinya adalah bahwa dia sangat apresiatif terhadap siapapun lawan bicaranya. Ketika daku bilang bahwa daku sangat memahami pengalaman dan traumanya di Madrasah, dan bilang bahwa "you're luckier since you were there in such very young age, while I was there in my teenage years, brainwashed," dan sedikit curhat tentang 'era kegelapanku' saat itu, dia dengan kreatifnya malah mendorongku untuk menulis episode kelam itu: "why don't you write your own memoar?"

Wow, although I did write few pieces, I am not a journalist. Meski pernah bercita-cita dan sempat diterima di Fakultas Komunikasi UNPAD tahun 1997 lalu, nasib membawaku menuju universitas Islam Internasional Islamabad, ibukota sebuah republik Islam Pakistan. Hhmmm... let me see if there is 'any' of my pieces then. Well, it seems pretty embarrassing I think. Sebuah opini berjudul "Mengapa Feminisme?" yang berisi kritik terhadapnya mengingat "perempuan Muslim telah mendapatkan jaminan atas hak-haknya dan Allah telah menentukan yang terbaik bagi hambanya", (jelas saat itu daku belum sepenuhnya memahami bahwa kodrat sangatlah berbeda dengan takdir). Sebuah refleksi berjudul "Sindrom Kaburo Maqtan" yang menekankan perlunya taushiyah karna bukankah Allah telah mengamanati hambanya untuk menyampaikan kebenaran dan kesabaran pada sesamanya, agar tidak merugi dalam hidup yang fana ini? (sebenarnya sih tak lebih dari 'defense mechanism' terhadap begitu banyaknya do’s and dont’s alias rambu-rambu yang intangible saat itu). Sebuah kolom Berjudul "Suara-suara Perempuan" yang merupakan sindiran bagi jajaran 'penguasa' laki-laki yang selalu membuat keputusan organisasi secara sepihak tanpa mempertimbangkan para mahasiswi, yang dengan segera dibalas dengan sindiran soal bagaimana seharusnya seorang akhwat bersikap oleh teman mahasiswi (heran, padahal kan kite bela-belain die), Sebuah biografi singkat tentang "Muhammad Iqbal", intelektual dan penyair yang menyemai benih republik Islam yang meninggal sebelum kelahirannya. Daku juga ingat menulis sebuah paper tentang "Syiah" yang dikritik habis oleh Madam Sofia karna tidak memuat informasi yang berimbang karena semua rujukannya ditulis oleh orang Sunni. (Please let me know madam, if the library provide us with any single literatures of Shiah perspective :))

Sampai di tanah air pun, saking mindernya berada di lingkup para intelektual dan aktivis kawakan, daku nggak pe-de menulis suatu apapun, kecuali tentang "Jihad ala Bushido" karena saking gemes dan gregetannya dengan para pejabat 'terhormat' yang dengan sengaja menyalahgunakan kekuasaannya dan mengutip apa yang bukan haknya demi kepentingan pribadi. Teganya, oh teganya….. Di saat kita berada dalam kondisi krisis dan kritis, kemanakah perginya moral?

Daku memang menulis thesis soal "Analisis Faktor Determinan Tingkat Kesehatan Baitul Maal wa Tamwil (BMT)", tapi ibarat jodoh, yang satu ini bukanlah pasangan ideal sebagaimana yang daku cita-citakan, namun pasangan 'pragmatis' yang ditulis berdasarkan apa yang ada dan secara apa adanya. Sungguh memalukan meski berkatnya daku tak lagi harus memboroskan waktu dan dana untuk semester selanjutnya.

So, dengan track record yang sangat amat terbatas itu, layakkah daku menyambut proposal Irshad, untuk menuliskan memoar perjalananku? (dalam tandatangannya di buku, Irshad menulis: "In the spirit of ijtihad, keep on growing... What a journey!")

Kata misua, daku bisa saja menuliskannya secara fiksi, sebagai novel. Jika novel tentang mahasiswa Mesir aja sukses, kenapa tidak mahasiswa Pakistan? (Huh, ge-er banget dia atas ilustrasi prototype mahasiswa kairo yang sempurna di novel itu, padahal mah....)

However, i think it's tempting enough. Why not?

(Lanny)

Fahri Ayat-Ayat Cinta: Mahasiswa Cairo Sepantasnya, Bukan Seadanya

Mahasiswa Cairo yang menjadi tokoh utama Ayat-Ayat Cinta itu mungkin tidak sepenuhnya manusia. Patut diperiksa, di dalam sel-sel tubuhnya mungkin terkandung unsur-unsur kemalaikatan yang cukup pekat. Ketegangan yang minimum antara unsur “yang malaikati” dan “yang manusiawi” dalam diri Fahri itulah yang tampaknya ingin terus digali Habiburrahman El Shirazy dalam novelnya yang laris-manis ini.

Setelah tuntas membacanya, saya membayangkan Fahri seperti sosok sahabat Nabi nan rupawan, Dihyah al-Kalabi, yang badannnya sering dipinjam malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu-wahyu ilahi. Dan di sepanjang kisah novel ini, Fahri memang seperti al-Kalabi: terus saja menyampaikan firman ilahi ataupun sabda Nabi. Pesan Islam yang dilontarkannya pada umumnya halus dan santun, tapi di beberapa bagian terlalu vulgar dan verbal. Tapi para pembaca fanatik novel ini mungkin terlanjut mencari jenis novel yang agak berkhotbah. Atau, sekurang-kurangnya berguna untuk “pembangunan jiwa”.

Kemampuan El Shirazy menggambarkan setting kota Cairo dan budaya masyarakat Mesir cukup informatif bagi pembaca yang ingin membawa imajinasinya terbang ke negeri Kinanah. Kang Abik—demikian sapaan akrab El Shirazy—betul-betul telah ter-Mesirkan. Ia tampak sangat memahami adat-resam-kelakar masyarakat Mesir. Dia hanya kurang liar dan nakal saja. Penggambaran profil mahasiswa Indonesia dan kehidupan sehari-hari di sana memang sudah banyak bergeser dari gambaran Mona Abaza di dalam Education Persepsions and Exchanges: Indonesian Students in Cairo (1994).

Bila merujuk Abaza dan pengalaman saya belajar di sana (1997-2001), terasa ada kepingan-kepingan puzzle tentang keragaman corak berpikir dan kelakuan mahasiswa yang tidak tergambarkan secara utuh. Meminjam Abaza, “Cairo sesungguhnya memberikan kesempatan kepada mahasiswa Indonesia untuk membaca buku-buku alternatif yang menganjurkan berbagai aliran.” Keragaman aliran pemikiran dan pergerakan mahasiswa Cairo amat khas dan itulah yang luput dari novel ini. Kang Abik hanya menyuguhkan sepenggal puzzle dan aspek yang baik-baik dan necis-necis saja dari mahasiswa Cairo. Dan di puncak kebajikan itulah bertengger sosok Fahri yang budiman, baik hati dan tidak sombong.

Saya harus mengatakan bahwa figur Fahri dan kawan-kawan satu flatnya, serta beberapa orang yang disebutkan di dalam novel ini, hanyalah salah satu corak dan ringkusan dari potret mahasiwa Kairo yang amat beragam. Dilihat dari kenyataan sosio-kultural dan intelektual mahasiwa Cairo yang berjumlah ribuan orang, sosok Fahri tak lebih dari ungkapan tentang seorang “mahasiswa Cairo yang sepatutnya” menurut preferensi pengarang novel ini, “bukan mahasiswa yang seadanya”.

Tapi tidak berarti cerita tentang mahasiswa Cairo di novel ini tidak berjejak di atas kenyataan sama sekali, sehingga menjadi fiksi yang total. Detil-detil fakta tentang sebagian aktivitas sehari-hari mahasiswa tetap ada. Hanya saja, itu seperti dipinjam begitu saja untuk membuat landing “spesies baru” mahasiswa Cairo bernama Fahri. Ia sesosok mahasiswa yang rajin belajar dan berangkat talaqqi, pandai menerjemah aktif berdiskusi dan mandiri; taat syariat hampir-hampir menyerupai Nabi.

Sekali lagi, Ayat-Ayat Cinta bermain-main dengan unsur yang manusiawi dan yang malaikati pada sosok Fahri. Pergulatan Fahri di hampir seluruh isi novel ini tidak jauh-jauh dari ketegangan yang minimum di antara dua unsur itu. Ujung dari kisahnya pun gampang dikira: unsur yang malaikati pada akhirnya akan menang jua. Jika kebenaran sudah tiba, kebatilan pasti akan sirna. Itulah mungkin esensi dari novel yang memang diabdikan untuk berdakwah ini. Lika-liku dari kisah, tak lebih dari “alat” untuk menyampaikan pesan yang sudah ditetapkan dengan begitu jelas sejak dari awal kisah.

Padahal, kebanyakan mahasiswa Cairo laiknya juga bisa malas dan kadang kala suka berleha-leha. Tapi yang satu ini tidak. Fahri sangat disiplin dan hidup terjadwal ketat untuk menentukan takdirnya sendiri. Peta hidupnya setahun ke depan sudah terbentang dalam catatan yang rinci. Dan sebagaimana mahasiswa Cairo lainnya, Fahri sepantasnya bisa pula jatuh cinta dan patah hati, baik terhadap sesama orang Indonesia maupun lintas negara. Kasus yang terakhir ini memang agak langka.

Tapi Fahri memang beda. Alih-alih tergoda iman oleh empat gadis jelita lintas negara yang terpincut eloknya tutur-kata dan tindak-tanduknya dalam waktu yang sama (Nurul, Maria, Aisha, Noura), Fahri justru lolos ujian dan memenangkan semua pertarungan melawan gejolak masa muda. Ia tidak berada di pihak yang mendamba, tapi selalu saja ia didamba. Memang ia tidak memiliki semua, tapi ia mendapatkan tiga hati yang merana. Mungkin itu hanya Fahri yang bisa, tidak mahasiswa Cairo lainnya.

Tak banyak mahasiswa Cairo yang lolos ujian hebat terhadap komitmen belajar dan godaaan masa muda seperti Fahri. Untuk lolos ujian naik tingkat dalam sistem perkuliahan ala paket di al-Azhar pun banyak sekali yang harus jatuh bangun dan gagal-menyerah. Menjadi hafiz al-Quran—dengan qiraat sab’ah pula—jago berkhotbah, gemar membaca dan berdiskusi, menerjemah dan menulis, pandai bergaul dan mengambil hati orang, alamak…. itu hanya Fahri yang bisa!

Mungkin ada saja dua-tiga sosok mahasiswa Cairo yang seperti Fahri, tapi saya tak pernah terjumpa mereka. Potret kehidupan Fahri sungguh jauh di atas rata-rata kehidupan normal mahasiswa Cairo umumnya. Dia adalah tipe ideal mahasiswa Cairo, yang direkabayangkan Kang Abik, bahkan mungkin terlalu ideal untuk sekadar ada.

Tapi tak apalah. Tetap ada beberapa hal yang membangakan dari Ayat-Ayat Cinta. Ini novel yang sedari awal hendak berdakwah, dan dakwah itu sedang mencari formula di tengah banyak cara yang tersedia dan perlu dicoba. Dan ada beberapa hal mendasar tentang mahasiswa Cairo dalam Ayat-Ayat Cinta yang belum terlalu jauh melenceng dari amatan Abaza. Misalnya corak pemahaman Islam yang hendak diketengahkannya. “Para alumni Cairo”, kata Abaza, “cenderung mengatakan bahwa versi Islam Mesir yang moderat lebih dekat ke hati orang Indonesia daripada versi Wahhabi yang keras”.

Moderasi Islam itu terasa dari cara pandang Fahri dalam beberapa perkara. Misalnya bagaimana beliau ini—walau sangat kentara apologetis—menjelaskan soal kedudukan perempuan di dalam Islam, soal cadar, soal poligami, dan soal etika berhubungan dengan orang non-muslim. Memang inklusif saja. Di samping itu, corak pemahaman Islam yang lebih ketat pun, sesungguhnya sangat menghantui Fahri. Untuk menolak berjabatan tangan dengan lawan jenis, Fahri harus berkhotbah panjang-lebar. Begitu juga menolak ajakan dansa. Untuk membantu Maria yang sekarat, panji-panji formalisme agama pun lebih dulu harus ditegakkan.

Akhirnya, saya tersadar bahwa ini hanyalah novel belaka. Penulis novel selalu bisa mengelak dari ulasan seperti ini. Tak apa. Mudah-mudahan aku pun kecipratan citra luhur mahasiswa Cairo yang sudah dibangun dengan susah payah oleh novel ini. Siapa tahu nilai jual alumni Cairo semakin tinggi di pasaran domestik dan akan lebih banyak lagi orangtua yang tak sabar mengangkatku sebagai menantu. Siapa tahu kan? Fahri sungguh membantu!


Novriantoni Kahar, Alumnus Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir (1997-2001)

Monday, March 31, 2008

Teori Ijtihad Farag Fouda

06/03/2008

Farag Fouda adalah intelektual Mesir yang mati dibunuh dua anggota Jama’ah Islamiyyah, sayap ekstremis Ikhwanul Muslimin Mesir, 8 Juni 1992. Ia telah meningalkan beberapa buku yang kritis terhadap upaya politisasi Islam, antara lain Qablas Shuqûth (polemik tentang formalisasi syariat); al-Haqîqah al-Ghâ’ibah (tinjauan kritis terhadap sejarah Islam), dan Hiwâr Hawla al-`Almâniyyah (polemik tentang sekularisme).

Fouda juga menulis al-Mal`ûb (tentang bank syariah dan skandal pencucian uang), an-Nazîr (survei tentang bahaya ekstremisme beragama), dan al-Irhâb (tentang asal-usul pemikiran teroristik). Sampai kini, buku-bukunya masih dilarang beredar di pasaran Mesir, dan hanya dapat dibaca sekelompok kecil orang.

Salah satu aspek menarik dari pemikiran Fouda adalah teorinya tentang ijtihad atau aktivitas berpikir kreatif dalam Islam. Fouda kukuh berpendapat bahwa ijtihad adalah keniscayaan. Dalam al-Haqîqah al-Ghâ’ibah, ia merumuskan formulasi teorinya. Menurutnya, ketentuan-ketentuan agama memang “tetap” (tsâbit), tapi kondisi kehidupan “terus berubah” (mutaghayyir). Dan dalam proses tarik-menarik antara teks agama “yang tetap” dan konteks zaman “yang berubah” itu, pasti akan muncul “bentuk-bentuk penyimpangan” (al-mukhâlafât).

Yang ia maksud “penyimpangan-penyimpangan” adalah “perubahan pada yang tetap dan ketetapan pada yang berubah”. Karena membuat tetap kenyataan hidup adalah mustahil, maka yang selalu terjadi adalah perubahan-perubahan pada hal-hal yang dianggap tetap di dalam agama. Dalam konsepsi Fouda, upaya mengubah sesuatu yang dianggap tetap itulah yang disebut ijtihad, bukan mempertahankan sesuatu yang dianggap tetap dengan argumen atau dalih-dalih baru atau konservatisme. Kesimpulan ini termasuk unik dan belum banyak dikemukakan orang.

Tapi itulah yang menurut Fouda selalu terjadi, sehingga Islam bisa selalu relevan untuk masa yang terus berubah. Fouda menyadari bahwa ijtihad memang tidak mutlak, tapi ia harus tetap dimungkinkan dan pintunya harus senantiasa dibuka lebar-lebar. Ijtihad selalu diperlukan agar tidak terjadi penyimpangan yang terlalu ekstrem antara ideal Islam dengan faktual Islam, dan agar tidak terjadi kemandekan dalam masyarakat.

Menurut Fouda, setiap kali terjadi perubahan dalam suatu masyarakat, bentuk-bentuk penyimpangan pun akan semakin bertambah. Tapi itu tak mengapa. Asalkan lapangan ijtihad terbuka lebar, sekalipun penyimpangan terjadi, ia dapat diantisipasi agar tidak muncul dalam bentuknya yang ekstrem. Jadi, selain mengubah sesuatu yang dianggap tetap dalam agama, ijtihad juga berfungsi untuk mengantisipasi agar tidak terjadi penyimpangan yang ekstrem antara ideal Islam dengan faktual Islam.

Karena itu, bagi Fouda, masuk akal bila tingkat penyimpangan-penyimpangan yang tidak bisa dielakkan (al-mukhâlafât al-idhtirâriyyah) mendesak kita untuk lebih melapangkan medan ijtihad yang memang perlu (al-ijtihâd al-dlarûriyyah). Konsekuensi yang harus kita terima menurut Fouda, dan ini yang tidak ingin dikemukakan banyak orang: kita mesti berlapang dada menerima tingkat terendah sekali pun dari penerapan agama yang terjadi di zaman kita. Pengamalan agama kita tentu jauh dari maqam atau peringkat para sahabat nabi yang hidup di zaman yang lebih terkebelakang, kurang kompleks, lebih tertutup, tapi lebih homogen. Bahkan menurut Fouda, di masa kenabian pun, tidak ada kesucian yang absolut. Yang ada hanya tidak adanya penyimpangan yang mutlak.

Kesimpulannya, teori ijtihad Fouda berfungsi sebagai trisula: mengubah yang dianggap tetap di dalam agama, memperpendek jarak antara ideal dan faktual Islam, serta membuat kita arif dalam menyikapi beragam ekspresi pengamalan beragama masyarakat Islam. Intinya, teori ijtihad Fouda adalah sebuah upaya untuk mencari titik keseimbangan antara mereka yang berupaya mengawang-awangkan Islam dengan upaya membenamkan Islam ke dalam comberan peradaban.(Novri)

Tuesday, February 12, 2008

Melarang Ahmadiyah: Apa Kata Dunia?

Keputusan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) Selasa lalu (15/1/08) untuk tidak melarang ajaran dan keberadaan Ahmadiyah di Indonesia sudah tepat dan sesuai dengan tradisi negara yang demokratis dan beradab. Memang keputusan itu bersifat sementara karena Pakem masih memberi waktu tiga bulan bagi Ahmadiyah untuk menyosialisasikan 12 Pokok Ajarannya yang diumumkan sehari sebelumnya. Pada titik ini, Jamaah Ahmadiyah Indonesia tetap harap-harap cemas akan selalu diinteli oleh lembaga warisan Orde Baru itu.

Tapi itu sudah cukup baik jika menimbang maslahat dan mudarat yang mungkin muncul sebagai implikasi dari sebuah keputusan. Bayangkan kalau Pakem mengambil keputusan sebaliknya dengan melarang Ahmadiyah. Dengan bekal fatwa sesat Majelis Ulama Indonesia (MUI) saja unsur-unsur yang ekstrem di dalam masyarakat Islam tepat giat melakukan demonstrasi dan intimidasi terhadap Ahmadiyah. Apatah lagi bila Pakem pun menguatkan keputusan MUI. Mereka akan mendapatkan dua amunisi sekaligus: dari agama dan dari negara.

MUI dan orang-orang yang selama ini menentang Ahmadiyah memang pantas kecewa. MUI yang di era reformasi ini seolah-olah ingin menjadi lembaga superbody juga layak protes karena tidak diikutsertakan dalam rapat Bakor Pakem. Tapi apa pentingnya lagi meminta pendapat MUI dalam soal Ahmadiyah bila pendapatnya seperti meminta petuah penggemar durian tentang lezat tidaknya buah durian? Lebih dari itu, MUI berkali-kali sudah terbukti sebagai lembaga anti-demokrasi dan kebebasan berekspresi di saat-saat Indonesia sedang tertatih-tatih menapaki jalur demokrasi.

Karena itu, Pakem pun tidak perlu menghiraukan konsideran Pakistan, Arab Saudi, Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan negera-negara non-demokratis lainnya dalam menyelesaikan kasus Ahmadiyah. Pakem harus mantap dan tegas mengambil jalan Indonesia dan jalan negara-negara beradab lainnya dalam memutuskan kasus sekte-sekte minoritas agama. Jalan itu berdiri di atas prinsip ini: selagi suatu kelompok tidak melakukan tindakan-tindakan kriminal dan membahayakan eksistensi negara, mereka adalah warga negara yang bebas menjalankan keyakinan mereka dan berhak mendapat perlindungan yang setara oleh negara dan di muka hukum.

Kalau akidah Ahmadiyah dinilai telah menyimpang oleh MUI, atau katakanlah sesat dari akidah kebanyakan umat Islam, urusannya tentu bukan lagi pada negara. Mereka tentu berdosa di muka Allah dan cukuplah Allah saja yang akan menghukum mereka di akhirat kelak. Negara yang demokratis dan berusaha menciptakan iklim masyarakat terbuka tidak selayaknya mencampuri urusan pahala dan dosa warga negara.

Nah, perkaranya tinggal meredakan emosi unsur-unsur yang ekstrem di masyarakat Islam yang dalam lima tahun terakhir sangat agresif ingin melenyapkan Ahmadiyah. Tidak mudah memang, tapi konsekuensi-konsekuensinya memang jauh lebih sederhana daripada melarang Ahmadiyah. Mestinya, di sinilah peranan MUI dapat diharapkan bila ingin menjadi unsur penting dalam memperjuangkan demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia. MUI mungkin bisa menyeru mereka untuk menghentikan tindakan-tindakan pengrusakan sembari menganjurkan umat untuk tidak mengikuti ajaran Ahmadiyah yang dianggap sesat dan menyesatkan.

Sesederhana itu, dan tidak perlu terus merengek-rengek agar negara mengambil keputusan-keputusan yang tidak sesuai dengan demokrasi dan tradisi negara yang beradab. Peran seperti itulah yang selama ini dimainkan oleh tokoh-tokoh seperti Gus Dur, Gus Mus, Syafii Maarif, dan para pejuang demokrasi dan hak asasi manusia lainnya. Mereka konsisten menjadi pelita penerang hati dan pikiran umat, bukan menjadi kompor dan pembenar tindakan-tindakan tidak terpuji yang dilakukan umat.

Kalau pun MUI ingin lebih memupuk rasa percaya diri umat Islam kebanyakan dalam mengimani keunggulan Nabi Muhammad sebagai nabi penutup, MUI pun bisa katakan: datangkan seribu Ghulam Ahmad, Nabi Muhammad tak akan pernah berkurang keagungannya! Dia agung dan tidak akan ada yang dapat menyetarai keagungannya. [Novriantoni]

Wednesday, January 16, 2008

Akhirnya Jadi Juga...

Beberapa tahun lalu, sebelum blog semakin mewabah & menjangkiti umat manusia, daku sempat membangun website pakai frontpage, bekal dari pelatihan kilat IT di VEDC Malang (2001). Isinya sih cuma foto-foto sama biodata yang sama sekali nggak penting, namanya juga coba-coba... Kebetulan ada seorang kawan yang sudi dan berbaik hati menghiasnya dengan versi flash, jadi ciamiikk! Sayang, web tersebut (www.vieya.com) terpaksa mundur dari peredaran karena yang tadinya free jadi musti bayar... :(

Pupus sudah cita-cita memiliki website personal, apalagi waktu itu keburu kuliah lagi, kerja & getting merried. Tahun 2005, mulai belajar nge-blog tapi masih belum pede. Apalagi ngeliat blog-blog yang udah pada eksis jauh sebelumnya, berbobot, atraktif, poko'e la mantapo alias mantab bang-get! Minder deh....

Walhasil blog tersebut sempat 'koma' beberapa saat terutama sejak hamil & punya baby... wah, jangankan nge-blog, baca serius aja nggak sempat (kayaknya keterusan sih sampe sekarang hehehe), apalagi nulis gitu (yah boleh dunk sedikit berapologi).... Sampai di penghujung tahun 2008, kepikiran punya resolusi yang lebih bermanfaat buat kemaslahatan umat (umatan wahidatan maksudnya, diri sendiri) : mulai nge-blog. Harus dimulai dari yang kecil, dari diri sendiri, dan mulai saat ini juga! (with special thanks to aa Gym) :)


Jadi mengapa nge-blog?

Yang pertama, (dengan nada ‘Tombo Ati’ yang dilagukan Opick) untuk mengoleksi tulisan –terutama mas Novri punya- yang berserakan di berbagai media. Doi nyimpen sih di PC-nya, tapi kan anything can happen to it, kena viruslah, ke-delete lah, ilang karna digondol maling lah (yang ini mah naudzubillah!) dan yang pasti semua itu tidak bisa diakses oleh lebih banyak pihak, dan dengan demikian kurang bermanfaat. Kan sayang gitu loh…. Di sisi lain, mengharapkan do’i telaten merawat blognya sendiri, sama aja dengan mengharap kucing bertanduk, boro-boro…

Yang kedua, (masih dengan nada tombo ati) ada banyak peristiwa yang sepertinya layak direkam, sekedar untuk dikenang (terutama yang manis-manis), atau untuk diambil hikmahnya (yang pahit-pahit misalnya). Kebetulan, sejak 10 tahun terakhir ini daku tak lagi terbiasa menulis diari, tepatnya sejak menginjakkan kaki di Islamabad. Padahal dalam satu dasawarsa ini banyak banget episode yang cukup menarik, kadang lucu, dan tak jarang bikin haru-biru (kenapa nggak item aja sekalian yah?). Masa-masa kuliah dan berorganisasi di Islamabad, kemudian kuliah lagi sambil beraktivitas di Jakarta, petualangan ke Malaysia, Australia, Arab Saudi, menikah, hamil, melahirkan, merawat baby wah…. I’ve missed so many thing!

Still, for me it’s always better late than never. Ragu itu memang masih ada, minder apalagi. Is it worthed enough to write such trivial accounts? Is it well written? Will it be laughable? Eventually, I decide to do it just for the sake of myself. At least I have a little angel who will be proud knowing everything about her mom, her dad, and most importantly: about her!

And that is too precious to be wasted, too valuable to be forgotten, too beautiful to be hidden….

(Lanny)

Setetes Embun Anugerah


Begitu hamil, terutama begitu tahu bahwa ia bakal jadi a baby girl, kita berdua udah heboh memikirkan nama. Well, I must admit that it is ME who really thoughtful about her name. Sebenarnya di kampungnya, mas Novri kerap jadi rujukan sanak saudara dan kerabat dalam hal nama-menamai bayi. Tapi entahlah, it often doesn’t work for your own behalf.

Sejak awal, kita ingin nama itu punya makna. Maklum, Novriantoni dan Lanny Octavia tak berarti apa-apa dan hanya menunjukkan bahwa yang pertama lahir di bulan November dan yang kedua bulan Oktober. That’s it. Shakespeare boleh saja mempertanyakan: what is in a name? Tapi bagiku nama sama pentingnya dengan penampilan, harus indah, meyakinkan dan bermakna. Nabi aja berpesan supaya setiap orangtua menamai anaknya dengan nama yang baik, bahkan mengganti nama mereka yang bermakna negatif. Sejatinya nama juga merupakan do’a.

Lalu muncullah NAYLA. Dia bisa juga dieja secara NAILA, dan bisa merefleksikan Novriantoni (NAI) dan Lanny (LA). Dalam bahasa Arab, Naila berarti pemberian, karunia, atau anugerah, dari naala-yanaalu-nailun. Masih dalam wazan yang sama ada NAWAL, seorang penyanyi Lebanon nan rupawan yang jadi pujaan mahasiswa Kairo. Cuman di Indo kan nama itu masih aneh, bisa-bisa diplesetin jadi BAWAL lagih….

Kemudian KATHRYN NADA. Kalimat Arab yang sebenarnya sih QATHRUNNADA, nyambung gitu. Tapi di Indo, banyak nama Arab yang ditulis terpenggal seperti Nurul Arifin seharusnya Nur al-Arifiin, atau Abdul Aziz seharusnya Abd al-Aziz. Qathrunnada sendiri dalam bahasa Arab berarti setetes embun. Tapi kok kayak nama grup nasyid yah..... :) Mengingat kita juga pengen nama itu lebih punya international taste maka jadilah KATHRYN, yang bisa juga dieja Katherine, Catherine, Katrina dsb… yang berarti suci dan murni. Di dunia selebritas ada Catherine Zeta Zone, Katherine Hepburn, Catherine Wilson…yang semuanya sedap dipandang mata alias qurratu a’yun (yang ini jadi nama keponakan, dan dipanggil ‘ratu’ heheh). NADA ini tentu bahasa Indonesia, laiknya gita. Sebuah lagu nan merdu pasti terdiri dari serangkaian nada toh?

Jadilah Anugerah Setetes Embun atau Setetes Embun Anugerah. Karena begitulah kehadiran si malaikat kecil ini. Sejak menikah di hari valentine 2004 (awal), tanda-tanda positif akan keberadaannya tak kunjung datang hingga bulan Ramadhan 2005 (akhir). Kevakuman selama hampir 2 tahun itu tentu menimbulkan keresahan tersendiri (gue normal kagak sih?) dan teror dari sanak saudara maupun handai taulan (pakai kontrasepsi nggak? periksa ke dokter deh! coba alternatif gih... dst). So, vonis positif dokter di RSB YPK Menteng, terutama kelahirannya di RSB Permata Bunda Malang, tak pelak bagaikan embun pagi yang menetes di tengah gersangnya gurun pasir…..

Dan begitu jualah harapan kami untuknya, semoga malaikat kecil kami kelak menjadi embun penyejuk bagi dunia, anugerah terindah untuk semesta…… Amen. (Lanny)



Thursday, January 10, 2008

Jihad ala Bushido

20/09/2007

Beberapa waktu lalu, empat belas organisasi masyarakat Islam, antara lain Muhammadiyah dan NU, menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk berjihad melawan para koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hingga mereka mengembalikan seluruh kerugian negara yang ditimbulkan. Terlepas dari kontroversi yang muncul setelah dijadikan iklan, langkah tersebut cukup menarik dan patut dipuji. Itu dikarenakan selama ini penanganan hukum bagi tindak korupsi memang dinilai masih setengah hati, bersifat tebang pilih, tidak pernah tuntas dan kurang mendapat tindakan tegas dari aparat. Di sisi lain, deklarasi tersebut menunjukkan kecaman para tokoh Islam pada pelanggaran moral serius berupa penyelewengan kekayaan negara yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, sebagai bagian dari amr ma’ruf nahi munkar.



Lazimnya, para ulama ataupun tokoh Islam hanya lantang mengkritisi pelanggaran moral dengan definisi yang sempit. Sebagian lainnya bahkan tidak segan-segan menindak langsung dengan menghancurkan tempat-tempat yang diklaim sebagai sumber perbuatan amoral dan maksiat seperti kafe, klab malam, perjudian, pelacuran dan sejenisnya. Kegiatan yang terutama dilancarkan demi menjaga kesucian bulan Ramadhan tersebut tak jarang bersifat anarkis sehingga merugikan pihak-pihak tertentu. Di sisi lain, mereka sama sekali tidak mengambil sikap apapun terhadap persoalan korupsi yang semakin mengakar sekaligus menggurita mulai dari soal pengurusan KTP di tingkat kecamatan hingga kasus-kasus yang melibatkan Bulog di tingkat nasional. Karena kerap ditolerir, tak mengherankan jika tokoh agama sendiri pun sampai terperangkap jeratan korupsi dan terpaksa mendekam di bui.



Cukup miris jika membandingkan fenomena korupsi di negara relijius dengan negara sekuler. Menurut Corruption Perceptions Index (CPI) tahun 2006, peringkat terburuk justru diduduki oleh negara yang cukup relijius seperti Indonesia, Pakistan, Sudan dan Iraq. Sementara sejumlah negara sekuler yang dianggap abai terhadap agama relatif bersih dari korupsi. Di antaranya adalah Finlandia, Denmark, Singapura, Swedia, Swiss, Australia, Belanda dan negara-negara ‘kafir’ lainnya. Mereka benar-benar menyadari bahwa korupsi adalah momok yang dapat merusak banyak sendi sosial-ekonomi dan pada akhirnya menghambat pertumbuhan bangsa.



Di negara saudara tua kita, Jepang, Menteri Pertanian Norihiko Akagi yang baru dua bulan menjabat mengundurkan diri pada bulan Agustus kemarin karena didakwa lalai melaporkan biaya kantornya. Pendahulunya, Toshikatsu Matsuoka, melakukan bunuh diri pada bulan Mei lalu karena terlibat skandal keuangan. Serangkaian skandal korupsi tersebut pada akhirnya memaksa Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe untuk mengakhiri masa jabatannya yang belum genap setahun. Hal tersebut tak lain dikarenakan masyarakat Jepang masih berpegang teguh pada kode etik kepahlawanan samurai yang dikenal dengan Bushido, yang menjunjung tinggi moralitas, kebajikan, keberanian, dan kejujuran.



Padahal dalam Islam, secara normatif al-Quran tak pernah jemu menganjurkan umatnya untuk selalu menegakkan keadilan, mengentaskan kemiskinan dan mewanti-wanti mereka untuk tidak mengkhianati amanah atau menyalahgunakannya. Nabi Muhammad sendiri pun menolak mengampuni seorang perempuan dari Bani Makhzumiyah yang mencuri, dan mengatakan: “ Umat sebelum kalian telah ditimpa kehancuran dikarenakan apabila yang mencuri itu para elit mereka biarkan saja, namun apabila yang mencuri itu rakyat biasa mereka baru menegakkan hukum atasnya. Demi Allah, sekiranya anak kandungku Fathimah mencuri, maka aku akan sungguh-sungguh memotong tangannya.”



Nampaknya, reduksi pemaknaan agama sehingga lebih mementingkan kesalehan ritual daripada kesalehan sosial dapat menjawab ironi di atas. Selama ini, umat Islam terlalu menyibukkan diri dengan perhitungan pahala dan dosa individual, tanpa adanya kesadaran terhadap problem-problem sosial seperti kemiskinan, korupsi, penggusuran atau pengangguran yang berimbas langsung pada kemaslahatan umat. Bukankah Islam dilahirkan untuk membebaskan manusia dari pelbagai bentuk perbudakan dan eksploitasi? Bukankah Islam datang dalam rangka memperbaiki sistem sosial masyarakat yang timpang?



Pada Ramadhan kali ini, ada baiknya jika umat Islam kembali merenung dan mencerna secara mendalam bagaimana al-Qur’an kerap mengaitkan soal keimanan dengan perbuatan baik. Sebab, kesaksian iman tidak akan pernah memadai tanpa dibuktikan oleh implementasinya di dalam kehidupan sosial yang nyata. [Lanny]

Menegaskan Humanisme Islam






DALAM beberapa tahun terakhir, mata kepala kita amat sering menyaksikan macam-macam tindak kekerasan manusia atas manusia lain. Berbagai tindak kekerasan itu dengan sempurna mampu menegakkan supremasi horor di atas nilai-nilai perdamaian dalam kehidupan dan peradaban kemanusiaan secara umum.



Tindak pelenyapan fisik, jiwa, atau etos untuk bisa hidup secara damai dalam diri manusia terjadi berulang-ulang. Peristiwa itu tak hanya terjadi pada level nasional, tetapi lebih luas berskala internasional. Kasus peledakan bom yang meminta banyak nyawa manusia, misalnya, tidak hanya terjadi di Bali dan di Jakarta. Peledakan bom di Najaf, Baghdad, dan banyak tempat lain, sungguh telah menyayat-nyayat rasa kemanusiaan kita.



Namun, ironi segala ironi adalah ketika berbagai teror dilakukan atas nama agama atau sembari melibat-libatkan agama di dalamnya. Seperti kita saksikan, beberapa pelaku tindak teror mutakhir di negeri ini menggunakan simbol-simbol agama tanpa sungkan, bahkan tanpa rasa berdosa sama sekali. Senyum puas dibarengi fantasi tuntasnya misi suci agama (jihad) seakan meneteskan air cuka di atas luka kemanusiaan yang menganga.



Memang, banyak pihak tak rela, Islam diasosiasikan dengan tindak teror yang biadab seperti bom Bali. Hanya saja, banyak umat Islam terkecoh oleh simbol-simbol Islam yang diusung para pelaku teror. Tanpa sadar, mereka yang terkecoh telah digiring kalangan teroris pada sikap pembenaran tak langsung-paling tidak apologia-atas horor kemanusiaan itu. Sungguh sebuah ironi yang mendalam!



Melihat ironi sedemikian rupa, tepatlah kiranya mengutip apa yang pernah dikatakan seorang filosof humanis zaman klasik Islam, Abu Hayyan At-Tauhidi: "Al-insân asykala ’alaihil insân" (sungguh, manusia telah sengsara oleh manusia lainnya!). Lantas, mengapa ironi sedemikian rupa terjadi?



Kontribusi nalar teologis



Jawaban yang mudah untuk pertanyaan itu tentu dengan pola eskapisme, yaitu dengan mengatakan, itu terjadi-kurang lebih-karena para pelakunya tidak memahami ajaran agama atau memahami ajaran agama secara keliru. Dengan jawaban ini, praktis agama dan beberapa aspek bermasalah dalam doktrin yang dikandungnya terbebas dari kritik. Dengan begitu pula, agama tetap necis dan ortodoksi atas agama juga tetap terjaga secara sempurna.



Dalam buku Al-Fikrul Islâmy: Naqdun wa Ijtihâdun, pemikir Islam kontemporer asal Aljazair, Mohamed Arkoun, menggarisbawahi, dalam konteks beragama ada sebentuk nalar yang disebut dengan istilah nalar teologis (al-’aqlul aqâ'idy). Ciri terpenting nalar ini adalah kecenderungan yang amat memusatkan persoalan kepada Tuhan, pembahasan problem ketuhanan, sembari merendahkan dan memandang sebelah mata harkat dan martabat manusia dan problem kemanusiaan.



Sebuah contoh agak nyata dikemukakan Arkoun. Bagi seorang ilmuwan sosial yang terbiasa dengan pelbagai kajian humaniora (dengan begitu dia diharapkan bernalar humanis), kematian umat manusia-tak peduli yang durhaka sekalipun, apalagi dalam jumlah besar-mengandung makna sosial yang amat penting. Sementara seorang teolog melihatnya tak lebih sekadar peristiwa biasa. Bila yang tertimpa kematian tak wajar adalah umat di luar keyakinannya (entah secara mazhab pemikiran atau berbeda dalam aspirasi sosial-politik), mereka segera saja menanggapinya secara enteng dan ringan belaka.



Maka, tak heran bila Arkoun melakukan kritik pedas terhadap kalangan yang menganut nalar teologis, mulai dari yang klasik sampai modern. Menurut Arkoun, penganut nalar teologis tak jarang merupakan orang yang tidak peduli dengan problem kemanusiaan. Mereka selalu meletakkan problem lenyapnya nyawa manusia dalam kerangka di mana Tuhan sedang berkepentingan menghukum orang yang dimurkai (dan dimurkai para penganut nalar ini, tentunya).



Jika dicermati secara kritis, khususnya pada aspirasi hukum, mereka sebenarnya tersembunyi sebentuk nalar yang lebih mendahulukan sanksi yang bersifat represif (sampai tingkat hukum bunuh sekalipun) ketimbang sanksi yang bersifat restitutif atas pelaku kejahatan.



Dari teosentrisme ke antroposentrisme



Agak senada dengan Arkoun, pemikir asal Mesir, Hassan Hanafi, menjelaskan persoalan kemanusiaan ini dari sisi paradigma pemikiran keagamaan yang dianut individu ataupun komunitas tersebut. Hanafi mengkritik paradigma pemikiran dan penghayatan keagamaan yang dia sebut kelewat teosentris. Paradigma berpikir dan penghayatan keagamaan ini menganggap segala yang dikerjakan manusia adalah untuk Tuhan semata, sembari meniscayakan tersingkirnya nilai-nilai kemanusiaan. Mengabdi kepada Tuhan dalam bentuk ritual ibadah dipandang untuk kepentingan Tuhan itu semata. Padahal, Tuhan tidak berkepentingan atas ibadah manusia, justru manusialah yang butuh akan ibadah untuk kemaslahatan mereka sendiri.



Yang paling mengkhawatirkan dari paradigma pemikiran dan penghayatan keberagamaan yang teosentris ini adalah kenyataan bahwa penganutnya potensial untuk "dimabuk Tuhan". Dan, bila "mabuk Tuhan" sudah terjadi, tak jarang kita menyaksikan tindakan yang justru tanpa ampun melenyapkan umat manusia sendiri. Sadar akan potensi destruktif pola berpikir dan menghayati agama yang demikian, Hanafi mengusulkan agar kita lebih kuat lagi menekankan pola keberagamaan yang bersifat antroposentris; sebuah pola keberagamaan yang bertepa selira dengan umat manusia dan problem-problem kemanusiaan universal.



Untuk merealisasikan pola keberagamaan demikian itu, Hanafi menggagas perlunya kita keluar dari fase teosentris ketuhanan yang lama, menuju fase kemanusiaan. Peradaban Islam perlu keluar dari wawasan keberagamaan yang teosentris menuju peradaban yang antroposentris. Dalam peradaban yang teosentris, segala sesuatu diabdikan untuk Tuhan itu sendiri, sementara dalam peradaban yang antroposentris, peradaban ditujukan untuk setinggi mungkin mengangkat harkat dan martabat umat manusia. Peradaban selalu dibangun untuk kemanusiaan, bukan untuk Tuhan. Sebab, sebagaimana Gus Dur menyebut "Tuhan tidak perlu dibela", maka "Tuhan pun tidak butuh peradaban". Manusialah yang butuh memanfaatkan peradaban itu supaya bisa menangkap kebaikan Tuhan.



Hanya saja, jalan menuju peradaban kemanusiaan itu tidaklah lempang, mudah, dan mendatar. Untuk menuju peradaban kemanusiaan, kita membutuhkan semacam revolusi peradaban (tsauratul hadlârah) dari paradigma yang teosentris tadi menuju paradigma yang antroposentris. Tugas berat tersebut membutuhkan pemindahan kutub paradigma kita dari ilmu tentang Tuhan yang selama ini banyak kita kenal, menuju pelbagai ilmu humaniora, pengetahuan yang lebih dalam tentang umat manusia. Ilmu-ilmu ketuhanan yang dipelajari untuk Tuhan itu sendiri, di lingkungan pesantren misalnya, sudah saatnya direvisi agar lebih mempertimbangkan implikasinya bagi sisi-sisi kemanusiaan.



Perubahan orientasi mempelajari ilmu-ilmu tersebut dan pergeseran penekanan paradigmanya menjadi sangat relevan, apalagi di tengah persoalan kemanusiaan yang kita hadapi akhir-akhir ini. Pengajaran agama pada hakikatnya tidak pernah untuk agama itu sendiri. Agama selalu saja diperuntukkan demi mengangkat harkat dan martabat manusia. Agama yang dilaksanakan dengan tidak menghargai harkat dan martabat manusia, agamawan yang ringan hati ingin melihat lenyapnya jiwa manusia, sesungguhnya sudah menjauhkan diri dari nilai-nilai luhur dan universal dari agama itu sendiri. Sudah saatnya kita perlu menemukan kandungan nilai kemanusiaan yang terpendam dalam khazanah keagamaan yang kita punya.



Mempertegas sudut pandang humanisme agama adalah tugas semua umat beragama. Ini penting diupayakan agar umat beragama tidak menjauhkan diri dari agama itu sendiri.[Novriantoni]