Monday, May 12, 2008

Kaum Moderat adalah Bagian dari Persoalan

Cerdas, kritis dan lugas. Itulah kesan yang tertangkap dari figur Irshad Manji, melalui memoarnya yang menjadi bestseller internasional yang cukup kontroversial: The Trouble with Islam Today. Akhir bulan April 2008 lalu, Manji berkunjung ke Jakarta dalam rangka peluncuran bukunya yang telah dialihbahasakan ke bahasa Indonesia dengan judul: Beriman tanpa Rasa Takut terbitan Nun Publisher. Jaringan Islam Liberal (JIL) memanfaatkan momen kunjungannya tersebut dengan mengundangnya untuk berdiskusi di Utan Kayu dengan topik: “Apa Yang Salah Dengan Islam Kini?”

Tak jauh berbeda dari memoarnya, Manji ternyata memang merupakan seorang Muslimah yang kritis, pemikir yang brilian, dan pembicara yang memikat dan penuh semangat. Di awal diskusi, Manji bersikap demokratis. Ia memberi para peserta diskusi pilihan agar ia memulai agenda dengan presentasi kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab. Atau agar dari semula langsung dimulai tanya jawab mengingat garis besar proposal yang diajukannnya mengenai pembaruan Islam, ijtihad atau pemberdayaan nalar, serta penafsiran Alquran yang sesuai dengan kehidupan plural yang modern, kurang lebih serupa dengan apa yang diyakini dan diperjuangkan oleh Jaringan Islam Liberal selama ini.

Tawaran tersebut segera disambut dengan pertanyaan dari seorang diskusan tentang kemungkinan pembaruan dalam Islam. Manji, yang akibat pemikiran Islam progresifnya kerap memperoleh kecaman keras bahkan ancaman fisik, mengatakan bahwa di satu sisi, dahaga akan penyegaran Islam sangat dirasakan oleh kaum Muslim, terutama mereka di negara-negara Timur Tengah yang menjadi saksi nyata atas berlangsungnya berbagai jenis pelanggaran hak asasi manusia atas nama agama dan kehormatan. Namun di sisi lain, anugerah kebebasan berpendapat yang diperoleh kaum Muslim di negara-negara maju secara taken for granted, belum dimanfaatkan secara maksimal karena masih adanya perasaan takut di kalangan Muslim untuk mengkritik agamanya. Padahal, lanjut Manji, yang perlu dikritisi bukanlah “iman”, tapi “dogma”.

Manji pun menyimpulkan bahwa apa yang diajarkan padanya selama di madrasah, antara lain bahwa perempuan lebih rendah daripada lelaki atau bahwa kaum Yahudi itu licik, culas dan serakah, tak lain merupakan dogma, dan bukan iman. Sebagaimana dogma-dogma lainnya, baik itu sosialis, kapitalis, ateis, ataupun feminis, dogma ini pun sangatlah lemah, rigid dan silau di bawah terpaan pertanyaan. Tak mengherankan jika setelah mengajukan begitu banyak pertanyaan kritis terhadap ustadnya, Manji terpaksa dikeluarkan dari madrasah pada usia empatbelas tahun. Sambil bergurau Manji mengatakan bahwa baginya itulah bukti nyata akan keberadaan Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Dalam diskusi di Teater Utan Kayu yang dihadiri oleh berbagai kalangan dari beragam latarbelakang ini, Manji menegaskan bahwa meskipun secara teori Nabi telah bersabda akan tiadanya otoritas agamawan (ruhbaniyah) di dalam Islam—tidak seperti Katolik misalnya yang mengharuskan pengikutnya tunduk terhadap otoritas gereja dan paus dalam soal agama daripada menafsirkannya secara independen—tapi kenyataan berbicara lain. Di dalam Katolik ataupun agama selain Islam, seseorang bisa menjadi pemberontak. Ia mungkin akan dikecam, diprotes ataupun dipojokkan, namun ia tidak perlu khawatir akan kehilangan nyawanya. Manji sendiri merasa perlu memasang kaca anti peluru pada rumahnya di Kanada dan melakukan pemeriksaan menyeluruh pada kendaraan pribadinya dikarenakan ancaman pembunuhan yang bertubi-tubi terhadapnya. Hal ini tentu mengingatkan kita pada fatwa mati terhadap Ulil Abshar-Abdalla, akibat artikel kontroversialnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam” beberapa tahun lalu.

Mengenai fenomena menjamurnya kekerasan dan terorisme atas nama Islam, Manji menilai bahwa pembedaan antara Muslim ektrimis dan moderat tidaklah begitu berguna. Baginya, alih-alih memecahkan masalah, kaum Muslim moderat sendiri adalah bagian dari permasalahan. Hal itu karena meskipun mengecam terorisme, mereka sama sekali tidak mengakui adanya peran agama dalam kasus tersebut. Ini menurutnya merupakan bentuk ketidakjujuran karena para teroris pendamba surga dan kesyahidan itu jelas-jelas mengutip firman Allah untuk membenarkan aksi mereka.

Karena itu, Manji menegaskan bahwa ia sama sekali bukanlah seorang Muslim moderat. Ia adalah seorang Muslim reform-minded yang mengakui adanya ayat-ayat kekerasan dalam Alquran yang perlu ditafsirkan ulang agar tidak lagi terperangkap dalam konteks abad ketujuh Masehi. Bukankah Alquran sendiri lebih banyak berbicara mengenai pentingnya berpikir, menganalisa dan merenung daripada tentang apa yang benar dan apa yang salah?

Dalam persoalan Ahmadiah misalnya, Manji menyatakan bahwa kelompok Islam yang menghujat, mengkafirkan, bahkan menyerang kelompok pengikut Mirza Ghulam Ahmad itu sesungguhnya telah mengambil alih peran Tuhan, karena sejatinya hanya Tuhanlah yang mengetahui kebenaran hakiki dan berhak menghakimi keimanan hamba-Nya. Meskipun Manji menyatakan diri sebagai seorang pluralis, ia sama sekali bukanlah relativis. Seorang pluralis akan menghargai beragam perspektif dan cara pandang tentang kebenaran, ujarnya, sementara seorang relativis akan mendukung apa saja karena sebetulnya ia tidak memiliki pendirian apapun.

Manji sangat mengagumi Indonesia dengan Pancasilanya, yang menurutnya sama persis dengan konstitusi Amerika Serikat yang menjunjung tinggi prinsip kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Ia optimis bahwa mentalitas “kita lawan mereka” yang hinggap di kebanyakan negara Timur Tengah, akan segera tergantikan oleh pemikiran Islam pluralistik a la “Bhineka Tunggal Ika” yang telah sejak lama dianut oleh Indonesia. Bukankah jumlah Muslim Indonesia jauh lebih banyak daripada jumlah total Muslim di seluruh kawasan Timur Tengah? Karena itu di sela-sela presentasinya yang berlangsung hangat dan menarik, ia mengajukan pertanyaan tentang strategi apa yang akan ditempuh kaum Muslim Indonesia untuk mewujudkan Indonesia sebagai teladan pluralisme bagi dunia Islam.

Luthfi Assyaukanie, koordinator Jaringan Islam Liberal yang malam itu bertugas selaku moderator, menjelaskan pada Manji bahwa kaum Muslim Indonesia saat ini menghadapi tantangan berupa pengaruh Wahabisme. Manji, yang terjemahan bukunya ke bahasa Arab, Persia, dan Urdu dimuat di websitenya www.irshadmanji.com mengingat resistensi terhadap bukunya menguat di negara-negara pengguna bahasa di atas, menyebut fenomena tersebut sebagai “imperialisme budaya Arab”. Imperialisme itu berupa mentalitas tribal padang pasir yang mencakup prinsip kehormatan yang mendudukkan perempuan sebagai properti lelaki. Dan justru karena ancaman itulah, menurut Manji, urgensi menghidupkan kembali nilai pluralisme menemukan momentum kritisnya.

Akhirnya, forum yang tanpa terasa telah berlangsung hampir dua jam tersebut sayangnya harus segera diakhiri, mengingat Manji harus segera bersiap-siap untuk berangkat ke Yogyakarta. Semoga harapan tulus Manji pada bumi pertiwi ini menjadi kenyataan… [Lanny Octavia].

No comments: