Thursday, January 10, 2008

Al-Islâm: Agama atau Politik?

16/07/2003

Judul: Al-Islâm Al-Siyâsiy (Islam Politik)

Pengarang: Muhammad Sa’id Al-Asymawi

Penerbit: Penerbit Sinai, Mesir

Tahun: 1992 (cet. II)

Tebal: 248 halaman.

Al-Islâm: Agama atau Politik?


Semenjak Presiden Soeharto sebagai simbol Orde Baru tumbang dari tampuk kekuasaannya, Indonesia mengalami euforia kebebasan politik yang belum terjadi sebelumnya. Banyak pihak yang menangguk kebebasan. Di antara wujud kebebasan yang paling tampak adalah kesempatan untuk menyiarkan ragam-ragam aspirasi atau tuntutan-tuntutan yang sejak lama terpendam; mulai dari teriakan desentralisasi kekuasaan, pekikan kedaulatan ataupun merdeka, sampai romantisme “negara Islam”.

Tuntutan aplikasi syariat (tathbiqus syariiah) pada level negara dan oleh negara dalam konteks Indonesia pasca-Soeharto, dapat digolongkan sebagai bentuk aspirasi yang terakhir disebutkan. Memang, masih kurang jelas, apakah tuntutan tersebut demi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, atau sekadar upaya untuk sampai ke pucuk kekuasaan dengan anjungan retorika dan slogan agama.

Negara (baca: kekuasaan pemerintah) yang dulu dibenci, serta-merta kembali dirindu. Keyakinan akan kompetensi negara dalam mengurusi kehidupan beragama seakan meningkat. Padahal, mereka yang menjuangkan aspirasi demikian, boleh jadi tidak betul-betul yakin kalau agama akan terurus secara becus oleh kekuasaan negara yang korup. Mungkinkan agama diserahkan ke tangan lembaga yang terbukti gagal menjalankan tugas yang semestinya?

Hanya saja, mungkin demikianlah hasil penjumlahan rasa tertekan, romantisme dan harapan akan Ratu Adil. Di tengah badai krisis, semuanya menjelma menjadi penawar solusi. Berbagai retorika agama yang manis dikata (semisal kedaulatan Tuhan, syariat adalah solusi, khilafah Islamiyyah, dan lain-lain) tak putus-putus diteriakkan. Apakah slogan, retorika, dan ungkapan-ungkapan manis yang nyaring terdengar itu tulus merupakan upaya untuk keluar dari keterpurukan, atau cuma “pepesan kosong”, karena sifatnya yang emosional-sloganistik?

Buku Al-Islâm Al-Siyâsî (Islam Politik) karangan pakar perbandingan hukum Islam-hukum konvensional dari Negeri Piramida ini, Al-Asymawi, sedikit banyak mampu memberi penjelasan. Buku ini mengulas, menganalisis, dan mengritik wacana-wacana yang selama ini direproduksi oleh nalar Islam Politik secara pedas, bahkan provokatif. Berbagai topik yang menghantui pemikiran keislaman selama ini, seperti konsep al-hâkimiyyah, negara Islam, jihad, fundamentalisme, dan aplikasi syariat, mendapat porsi kritik masing-masing. Al-Asymawi terlalu garang dan gamblang dalam melakukan kritik. Slogan-slogan, retorika-retorika, dan ungkapan-ungkapan yang terkesan renyah dan dengan enteng dikumandangkan para aktivis Islam Politik di Mesir, nyaris memudar kilaunya, dan —lebih dari itu— kehilangan legitimasi keislamannya. Karena perbuatannya itu, Al-Asymawi harus menanggung risiko ancaman dan teror. Sampai kini, beliau masih hidup di bawah perlindungan aparat keamanan Mesir selama 24 jam penuh.

Unit analisis buku ini adalah para aktivis Islam Politik dan wacana-wacana yang mereka kembangkan di Mesir. Tapi, sebagaimana ditegaskan Al-Asymawi, Mesir hanyalah contoh kasus (namûdzaj). Kesamaan-kesamaan dalam retorika dan slogan-slogan, membuat buku ini penting untuk dirujuk, sebagai kritik atas fenomena Islam politik di berbagai negara selain Mesir (hal. 5). Apa yang dikatakan Al-Asymawi, dalam konteks ini nampaknya logis belaka. Siapapun yang mencermati fenomena Islam Politik, dengan mudah akan dapat menemukan, bahwa pada tingkat retorika, wacana-wacana yang mereka propagandakan cenderung sama, sekalipun varian-varian dalam corak pergerakan dan afiliasi organisasinya berbeda-beda.

Al-Asymawi juga tidak sedang melebih-lebihkan pentingnya buku ini, justru karena posisi sentral Mesir, baik dalam percaturan intelektual Arab maupun pergerakan Islam modern. Mesir, tak pelak lagi merupakan pioner sekaligus pusat kebangkitan Islam yang sering dijadikan acuan. Gagasan-gagasan dari Mesir, baik yang terkonsep dengan rapi maupun sloganistik saja, banyak diadopsi —bahkan tanpa penyaringan sekalipun— oleh pelbagai gerakan Islam Politik di berbagai negara. Indonesia, tentu saja bukan perkecualian.

Sebagaimana biasa, Al-Asymawi selalu memulai tulisannya dengan mengidentifikasi konsep-konsep dasar secara jelas dan tegas. Terma “Islam Politik” misalnya, dia definisikan sebagai ajektif bagi kelompok-kelompok yang pada hakikatnya sedang melakukan kegiatan politik, tapi memanfaatkan agama sebagai tameng dan syariat sebagai topeng. Meskipun kelompok demikian merupakan fenomena khas yang muncul sejak abad lalu (sekitar tahun 1920-an), tapi preseden sejarahnya dapat dikembalikan pada zaman klasik Islam. Sekte Khawarij sebagai kelompok yang membelot dari kubu Ali bin Abi Thalib dalam sengketa politik dengan kubu Muawiyyah bin Abi Sufyan, merupakan representasi yang paling dikenal dalam sejarah klasik Islam.

Meski demikian, Al-Asymawi tidak menamakan kelompok ini sebagai Khawarij baru, atau neo-Khawarij. Al-Asymawi menggunakan istilah “Islam Politik” untuk membedakan mereka secara kategorial dengan kalangan Islam al-mustanîr (tercerahkan/enlightened) yang tersimbolisasi dalam figur-figur semacam Al-Afghani dan Abduh, satu abad sebelumnya. Dari distingsi yang dibuatnya, Al-Asymawi nampaknya ingin melakukan delegitimasi atas kelompok Islam Politik, dengan menunjukkan kedangkalan wacana dan konsep pergerakan mereka dibandingkan dengan pendahulunya: para pelopor revivalisme Islam yang berajektif “tercerahkan”.

Tesis utama buku ini mengemukakan bahwa, fenomena Islam Politik merupakan bagian dari krisis besar yang dihadapi umat Islam sejak runtuhnya kesultanan Turki Utsmani pada tahun 1924. Hanya saja, alih-alih meratapi keruntuhan itu, Al-Asymawi justru mencermati persoalan lain yang lebih penting. Menurutnya, fikih Islam sama sekali tidak mengandung teori politik yang jelas. Akibatnya, kita tidak mempunyai pembahasan tentang sistem politik “yang mungkin” lagi “realistik” (hal. 19). Kata “yang mungkin” dan “realistik” menjadi penting dan merupakan kata kunci dalam kritik Al-Asymawi. Kegagalan-kegagalan yang dialami kelompok Islam Politik selama ini, menurut Al-Asymawi justru lebih disebabkan oleh kontradiksi-kontradiksi konseptual yang mereka ciptakan sendiri. Hal itu dapat dicermati dari ungkapan-ungkapan sloganistik yang terus-menerus mereka pekikkan. Dengan sedikit melakukan simplifikasi, krisis demikian dapat juga disangkut-pautkan dengan apa yang dikatakan oleh Muhammad Abied Al-Jabiri sebagai krisis pada tataran struktur nalar (bunyatul ‘aql) politik itu sendiri. Dalam konteks buku ini, krisis pada struktur nalar politik itu, terjadi saat kalangan Islam Politik secara semena-mena mengaitkan politik dengan agama, sehingga politik kehilangan rasionalitasnya sendiri.

Setidaknya ada dua alasan yang dikemukakan Al-Asymawi sebagai dalil untuk memperkukuh tesisnya.

Pertama, argumen historis. Secara historis, umat Islam —terutama yang bersemangat mencampuradukkan agama dengan politik— tidak pernah sadar, bahwa konflik yang terjadi antarumat Islam sejak zaman klasik Islam, merupakan konflik politik yang sangat kental dibumbui oleh isu agama dan klaim-klaim syariat —kalau bukan agama dan syariat sebagai menu utamanya. Oleh karena itu, tanpa memungkiri dan berkelit dari fakta sejarah, Al-Asymawi justru mengatakan bahwa sejarah Islam adalah sejarah perang (târikhu harbin) di mana nafsu kekuasaan tanpa sungkan-sungkan mengangkangi nilai-nilai etik-moral keagamaan.

Kisah-kisah ironis dan intrik-intrik politik yang paling biadab sekalipun —dan itu pernah dipraktikkan dalam sejarah Islam— dikemukakan Al-Asymawi pada bagian ini tanpa tedeng aling-aling. Tragedi-tragedi tersebut, justru dia kutipkan dari kitab-kitab sejarah klasik Islam sendiri. Kisah pembunuhan Utsman dan pemakamannya di perkuburan Yahudi, pemenggalan kepala Husein bin Ali (cucu nabi), dan pembantaian politik yang dilakukan pendiri Dinasti Abbasid, Abul Abbas Al-Saffah (baca: sang jagal), dapat disebutkan sebagai contoh (hal. 17).

Tapi sungguh naif! Alih-alih menghindar dari kontestasi politik dengan membawa-bawa agama, kalangan Islam Politik justru gagal belajar dari sejarah. Mereka, tak bosan-bosan menarik-narik agama ke arena politik dengan berbagai impak negatifnya. Sementara Allah menginginkan Islam sebagai agama, tapi umatnya —khususnya kelompok Islam Politik— justru menghendakinya sebagai politik, tulis Al-Asymawi dalam pengantar bukunya.

Kedua, argumen teoritis-konseptual. Secara teoritis-konseptual, Al-Asymawi mencermati bahwa kelompok Islam Politik sama sekali belum mampu membuat terobosan fikih tentang konsep negara yang baik. Bagi Al-Asymawi, ungkapan-ungkapan sloganistik yang senantiasa diumbar kelompok Islam politik, seperti al-Islâm huwal hall (Islam adalah solusi) tidak cukup memadai untuk mengatasi krisis mendasar yang sedang dialami umat Islam dalam berbagai aspeknya. Kelompok Islam Politik, bagi Al-Asymawi, sama sekali tidak mengemukakan idiom-idiom yang masuk akal, agenda politik yang tepat, serta teori yang kongkrit dan realistik demi mengatasi krisis tersebut (hal. 76). Yang mereka kerjakan tidak lebih hanya mengumbar slogan-slogan hampa makna, retorika-retorika menyihir, dan waham atau ilusi belaka.

Setelah sekitar lima puluh tahun lebih mencermati dunia sloganistik kalangan Islam Politik, Al-Asymawi menyimpukan bahwa kegagalan proyek Islam Politik, justru disebabkan terpakunya mereka pada slogan-slogan yang secara lahir manis bagai madu, tapi hakikatnya adalah racun yang berbisa. Pada akhirnya Al-Asymawi berkesimpulan, ungkapan-ungkapan sloganistik tak akan pernah membuahkan perubahan, justru karena sifatnya yang emosional, tak rasional, dan tidak realistik.

Al-Asymawi memberi contoh tentang propaganda Islam Politik yang tidak realistik. Dalam berbagai kesempatan, kalangan Islam Politik sering kali mengandaikan umat Islam kembali ke masa Nabi, Umar bin Khattab, ataupun Umar bin Abdul Aziz, sebagai prototipe “negara Islam ideal” dalam sejarah perpolitikan Islam. Tapi bagi Al-Asymawi, pengandaian itu tak lebih hanya mimpi yang tak pernah berwujud, kecuali selama 12 tahun dari 14 abad lamanya rentang sejarah Islam (hal. 176). Jelas sekali, Al-Asymawi mencoba mengingatkan umat Islam akan pentingnya memperhatikan dimensi ruang dan waktu atau memperhatikan realitas sejarah (al-wâqi‘iyyah al-târîkhiyyah) ketika mereproduksi gagasan-gagasan. Dan sayangnya, aspek tersebut selalu saja tidak diacuhkan banyak aktivis Islam Politik sampai detik ini.

Hal penting yang perlu diketahui di luar isi buku ini adalah sosok diri Al-Asymawi sendiri. Kalau dilihat dari latar belakang profesinya, mereka orang yang membaca buku ini tentu mudah menuduh pengaranya sebagai penulis yang tidak fair dalam menilai kelompok Islam Politik yang dia kritik secara pedas dan tanpa ampun. Maklum saja, Al-Asymawi bukanlah seorang akademisi yang biasa diasumsikan cukup objektif dalam menulis. Di Mesir, dia adalah seorang penulis yang sangat terlibat dalam struktur kekuasaan Mesir yang despotik. Bahkan, karir kenegaraannya dia lakoni sebagai Hakim Agung. Dengan fakta ini, dia bisa saja dianggap buta-tuli, sama sekali tidak berempati, dan gagal memahami gejolak psikologis kelompok Islam Politik di bawah kontrol politik pemerintahan Mesir, sejak Presiden Nasser sampai Mubarak.

Hanya saja, kritik tersebut tidak serta merta menganulir berbagai paparan yang dikemukakan Al-Asymawi. Dengan begitu juga, hal itu tidak membuat buku ini kehilangan signifikansinya. Andai disadari oleh kelompok Islam Politik khususnya, buku ini justru sangat berguna untuk introspeksi diri dan meninjau ulang pelbagai wacana yang mereka usung. Akhir kalam, buku ini sedikit banyak berkesesuaian dengan buku Gagalnya Islam Politik (Olivier Roy, 2002) dan akan melengkapi pemahaman kita tentang fenomena Islam Politik yang semakin dilirik dunia belakangan ini. Roy lebih banyak membahas aspek sosiologis Islam Politik, semantara Al-Asymawi lebih menukik pada analisis atas struktur nalar Islam politik itu sendiri. Selamat menelaah! [Novriantoni]

Ibn Bajah

18/05/2003


DALAM beberapa tahun terakhir, negeri ini cukup sibuk menggunjingkan persoalan moral. Beberapa orang yang berkesan "moralis", merasa terpanggil dan peduli akan "merosotnya" moral bangsa. Yang sering dilupakan, perbincangan tentang moral bangsa, sama artinya berbicara perihal acuan bersama menyangkut apa yang baik dan buruk dalam perilaku berbangsa dan bernegara (Kuntowijoyo, 2002: 166). Maka, persoalan ini bukan perkara gampangan dan merupakan topik besar yang perlu dipikir secara rembukan.

Sebagian pihak yakin --bahkan teramat yakin-- persoalan moral bangsa mudah saja ditentukan dan ditetapkan dengan batasan-batasan tertentu dan terukur. Bagi mereka, patokannya bisa saja, misalnya, budaya bangsa, common sense orang Indonesia. Sementara pihak lain agak pesimistis --mungkin lebih realistis-- kalau masalah moral yang berada pada wilayah subjektif ini (menurut mereka), bisa dengan mudah ditentukan.

Di tengah kebuntuan dan keruwetan perbincangan tentang moral tadi, kita disadarkan akan pentingnya peran individu-individu sebagai satuan terkecil dari masyarakat, dari bangsa. Dalam Alquran, anjuran untuk menyelamatkan diri (individu) diurut sebelum unit masyarakat yang lebih besar. Sebuah ayat Quran mengatakan, "Waspadailah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka!" Oleh beberapa sebab, pada titik inilah, kita merasa perlu mengenang gagasan-gagasan Ibn Bajah.

Dia adalah seorang filosof muslim kelahiran Andalusia yang hidup pada penghujung abad XI M. atau V H. Bajah punya versi tersendiri tentang negeri utopian. Menurut Bajah, suatu negeri dikatakan baik manakala tiap-tiap individu di dalamnya sehat-bugar, adil-terpercaya, dan selektif-terpilih. Dalam masyarakat demikian, tidak lagi dijumpai juru rawat (dokter) dan juru dakwa (jaksa). Sebuah negeri yang terlalu banyak memerlukan perundang-undangan dan tenaga medis, menurut Bajah, justru negeri yang minimalis. Jalan menuju negeri utopian itu, anehnya dimulai dari tingkat individu. Bajah sekan-akan ingin mengatakan: mulailah dari diri sendiri!

Inti falsafah Bajah tertuang dalam bukunya Tadbîrul Mutawahhid (Penggemblengan Integritas Diri). Dalam buku itu, Bajah cenderung menyeru tiap individu untuk menghindar dari pelbagai patologi sosial, seraya menjadikan dirinya sebagai titik sentral yang tidak larut dalam hal bernama "komunitas". Gagasan Bajah memang terkesan sangat individualistik, dan mengingkari komunitas. Tapi apa yang salah dengan individualitas? Namun begitu, Bajah bukan orang yang ingin individu-individu teralienasi sama sekali dari lingkungan. Yang hendak dia tekankan dan tuju adalah, bagaimana tiap-tiap individu tetap menjadi pangeran bagi dirinya (amîr nafsih) dan juragan atas hasrat-hasrat liarnya (sayyid syahawâtih) seraya tetap berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama (Al-Bayoumi, 97: 29).

Bagi Bajah, hanya dengan cara itu individu dapat terhindar dari "kekejian" struktur dan norma sosial yang berlaku. Dengan perkataan lain, Bajah memberi "senjata" pada tiap-tiap individu, seraya percaya mereka mampu dan mahir menggunakannya. Lebih jauh Bajah menginginkan tiap orang menjadikan dirinya sebagai titik sentral dan selalu saja berkehendak dan bergegas menjadi tauladan yang patut diturut; menjadi penentu norma-norma individu sebagai pengganti kelarutan diri dalam lingkungan sosial itu sendiri (Iraqi, 1998: 114-115).

Menurut Bajah, perbuatan manusia dapat bersumber dari dua motivator. Pertama, dari naluri hewaniah (al-gharîzatul hayawâniyyah) yang antara manusia dan makhluk lainnya paralel belaka. Kedua, kemauan makhluk bernalar (al-irâdatul ’âqilah). Anjuran Bajah: kalau Anda (sebagai manusia) disuruh memilih, maka paculah diri dengan lebih banyak mengakomodasi motif kedua. Sebab, hanya itulah perbuatan yang khas manusia. Murni sebagai tindakan manusia, tidak paralel dengan naluri makhluk hidup lainnya. [Novriantoni]

Perang dan Tafsir Agama

20/04/2003

Hampir beberapa pekan ini, sejumlah stasiun televisi di Indonesia, bekerja sama dengan stasiun televisi Al-Jazeera, menayangkan perkembangan Invasi AS dan sekutunya atas Irak secara langsung. Tajuk Alharb Alal Iraq (serangan atas Irak), menjadi sumber informasi penting tentang perang, sekaligus tayangan yang disukai. Setelah Perang Teluk I 1991, publik dapat kembali manyaksikan horor kemanusiaan di Baghdad dan kota Irak lainnya melalui televisi.

Bagi dunia Arab dan dunia Islam khususnya, invasi atas Irak tak ayal lagi punya pengaruh besar. Solidaritas keagamaan umat Islam di mana-mana, kini kembali terusik. Penyebutan ini, tentu tanpa tendensi untuk mengurangi arti solidaritas kemanusiaan atas derita rakyat Irak yang tampak di bumi manapun. Lantas, apa hubungan Invasi AS dan sekutunya dengan tafsir keagamaan? Pokok soal ini rasanya penting kita tanyakan dan kita bahas dalam tulisan singkat ini.

Bagi bangsa Arab, horor Perang Teluk I belum lepas dari ingatan. Fatimah Mernissi, seorang feminis asal Maroko sempat merekam memorinya --mungkin trauma-- atas Perang Teluk I. Itu dapat terbaca dari bukunya Islam and Democracy: Fear of Modern World. Inilah sebuah buku yang menggambarkan betapa perang memberikan dalil tambahan bagi orang-orang yang tak percaya pada kesantunan dunia modern. Sebuah dunia yang didominasi oleh negara kuat, meski punya nilai-nilai kultural yang amat memikat.

Dalam buku itu, Mernissi antara lain menulis: Perang Teluk (satu) membalikkan persepsi kita ke dalam kepastian. Apa gerangan kepastian itu? Kepastian bahwa nilai-nilai kemanusiaan modern –umpamanya demokrasi Barat yang mempesona-- rupanya bohong belaka. Setidaknya, inilah bukti kuat penentang nilai-nilai tersebut. Apa yang menjadi kecurigaan dunia Arab dan dunia Islam umumnya, seketika itu terafirmasi dengan baik.

Ketakutan akan dunia modern --sementara dunia Arab dan Islam umumnya ingin menuju kesana-- yang dilukisakan Mernissi itu, diapresiasi dan dikritik dengan baik oleh Nasr Hamid Abu Zaid, pemikir “sial” asal Mesir. Abu Zaid mengumpamakan total ketakutan itu dengan lingkaran ketakutan, dawaairul khauf. Pada akhirnya, baik Mernissi maupun Abu Zaid, keduanya sama-sama menyinggung pengaruh perang atas tafsir agama, meski serba sedikit.

Dalam Al-Khitab wa Atta’wil, Abu Zaid pernah mengaitkan perang, kekalahan dan kemenangan dengan tentuan corak tafsir ataupun pemikiran keagamaan. Perang dan akibat-akibat destruktif bawaanya, rupanya berpengaruh besar atas pemikiran keagamaan. Perang, selain menebar trauma, juga mengukuhkan wujud krisis dalam banyak dimensinya, utamanya bagi yang kalah. Kekalahan Arab atas Israel dalam perang tahun 1967, telah memaparkan secara gamblang wujud krisis yang menyeluruh bagi bangsa Arab, kata Abu Zaid.

Dalam kondisi krisis hebat semacam itu, rujuk ke pangkuan agama (alluju’ iladdin) dengan bentuk tafsiran tertentu, menjadi benteng psikologis yang amat melegakan. Akibat buruknya, kekalahan sekalipun lantas ditafsirkan dengan penjelasan keagamaan. Ironisnye, menurut Abu Zaid, ketika itu muncul tafsiran bahwa kemenangan Yahudi terjadi berkat keteguhan mereka menunaikan ajaran-ajaran Taurat. Sementara sebaliknya, umat Islam berkelit dari nilai-nilai agama, terperosok dalam taklid buta pada Barat yang sekuler, dan tak bosan mengimpor sistim politik dan pemikiran mereka. Inilah yang disebut Abu Zaid sebagai tafsiran metafisis atas krisis dan kekalahan (at-tafsir al-ghaibiy lil haziimah).

Sebagaian pemikir Arab sudah mulai berbicara tentang pengulangan sejarah, yaitu sejarah yang kelam dan tak maju-maju (salah satunya) disebabkan perang yang berulang-ulang (1948, 1956, 1967, 1973, 1980-1990, 1991, 2003) di kawasan. Jabir Al-Ushfur, seorang cendikiawan Mesir menulis kekawatiran akan sejarah yang bergerak mundur itu (Al-Ahram, 31/3/03). Bisa dipastikan, rakyat Irak adalah yang pertama menjadi korban sejarah yang bergerak mundur itu. Tapi tak hanya Irak, Jabir mengingatkan dunia Arab dan dunia Islam lainnya, untuk tak terjebak dalam lingkar sejarah mundur itu. Berfikir futuristik (al-tafkiir al-mustaqbaliy), tidak terjebak dalam alur krisis yang melenakan dan –-menurutnya— dipaksakan dari luar, adalah suatu kemutlakan. Bagi Jabir, sudah terlalu banyak bukti, kemajuan-kemajuan yang dicapai dunia Arab, lagi dan kembali lagi dirundung krisis. Sejarah kembali mundur dalam semua lapangan penghidupan, tak kecuali pada sisi pemikiran keagamaan.

Agaknya, bila beberapa kesan di atas dicermati dalam konteks Indonesia, akan banyak juga pelajaran yang bisa ditimba. Saat ini, nyaris enerji kita tersedot oleh horor invasi AS dan sekutunya atas Irak. Dalam lapangan keagamaan, kekhawatiran akan meningkatnya radikalisme nampaknya mulai mendapat pembenaran. Dalam suasana perang, nyaris tak ada --mungkin tak etis ataupun tak relevan-- wacana tentang toleransi dan perlunya mempertahankan visi keagamaan yang lebih mementingkan moderasi.

Meminjam istilah Arkoun, nalar perlawanan (al-aqlun nidlaaliy) dalam suasana begini, akan mendominasi wacana keagamaan dan semakin menggelegak. Padahal, masih menurut Arkoun, salah satu faktor kegagalan reformasi pemikiran keislaman di banyak belahan dunia Islam, disebabkan dominasi wacana perlawanan ke luar atas perlawanan ke dalam. Kuatnya gaung pembebasan ke luar, atas pembebasan di dalam. Dalam konteks dunia Arab, konflik Arab-Israel, sejak berdirinya Israel tahun 1948, bagi banyak pemikir (salah satunya Abu Zaid) termasuk faKtor penentu corak tafsir keagamaan.

Refleksi-refleksi sedemikian, rasanya penting kita kemukakan untuk konteks kekinian kita. Sudah barang tentu, ini tidak bermaksud mematikan ataupun melenyapkan solidaritas kemanusiaan atas rakyat Irak yang sedang menderita. Akan tetapi, ini diperlukan –-paling tidak bagi saya-- untuk mengantisipasi kesalahan dan keterjebakan dalam pusaran fenomena sesaat yang sering kali datang berulang-ulang, dan menjebak.

[Novriantoni]

Unjuk Rasa Kemanusiaan

13/04/2003


Agresi militer gabungan AS dan sekutunya, sampai tulisan ini dibuat sudah berlangsung lebih dari seminggu. Sudah banyak korban berjatuhan. Meski begitu, institusi-institusi formal, baik regional maupun internasional, seperti Liga Arab, tak mampu berbuat satu apa, bahkan dianggap telah “wafat”. OKI tak berdaya; gerakan Non Blok juga tak banyak membantu. Ini mungkin dapat dimaklumi, sebab institusi perdamaian dunia seperti PBB saja tak mampu mencegah ambisi Bush apatah lagi yang beberapa derajat berada di bawahnya. Kini, PBB juga pantas dipertimbangkan relevansinya, dan mungkin dalam tingkat yang lebih ekstrim, patut diberi “sertifikat kematian” juga.

Institusi-institusi formal dunia yang melambangkan pola hidup beradab dan berhukum di dunia, memang nyaris tak relevan lagi, tapi apa yang mampu menghentikan Bush? Jawabnya mungkin jalur tak resmi: dengan unjuk rasa naluri kemanusiaan. Barangkali agak naif mengandalkan nilai-nilai kemanusiaan di tengah menggelegaknya nafsu barbarian. Bukankah dunia hanya bisa mengurut dada? Hanya saja, bila mereka mampu mengkooptasi PBB, dapatkah mereka membungkam naluri kemanusiaan di mana-mana?

Naluri kemanusiaan masih hidup. Dia belum meninggal dan tak akan pernah mati. Demikian Syekh Yusuf Al-Qardlawi mengomentari tingginya gelombang protes dunia atas aksi unilateral AS atas Irak (http://www.qaradawi.net). Al-Qardlawi mungkin tepat adanya. Unjuk rasa kemanusiaan yang masih kita saksikan di banyak tempat sampai kini, nampaknya tak mudah berhenti, bahkan potensial terus meningkat. Saat ini, kita menyaksikan lonjakan naluri kemanusiaan yang tak mengenal ras, suku, bangsa dan agama. Dia bersifat universal, tak mengenal batas identitas korban kemanusiaan.

Meski terlampau jauh, agaknya inilah yang mengingatkan kita pada “humanisme” ala Nabi ketika dia berkata, alaisat nafsan (bukankah dia juga sebuah jiwa?). Ketika itu, naluri kemanusiaan Nabi coba dieksklusi beberapa sahabat yang kurang menghormati jenazah seorang Yahudi yang sedang menuju pemakaman. Mungkin banyak yang tak sepakat kita menamakan ujaran Nabi itu sebagai humanisme, kemanusiaan dalam makna filosofis zaman kini. Beberapa orang mungkin menyebut “itulkah Islam!”. Itu tak apa. Bagi kita, tak masalah dia berasal dari agama mana. Naluri kemanusiaan yang kini kita saksikan, menunjukkan kalau dia lebih universal dari sekedar agama.

Oleh sebab itu, sangat bijak rasanya kalau naluri kemanusiaan itu kini tetap dipelihara, dikembangkan bahkan ditingkatkan menjadi oposisi kemanusiaan atas perang yang tak pernah adil. Itu bisa dilakukan dan sedang dilakukan, melalui aliansi-aliansi protes lintasras, lintasbangsa dan lintasagama. Nah, apakah masih tersisa alasan bagi kelompok-kelompok tertentu untuk mengeksklusi solidaritas kemanusiaan yang tengah ranum ini dengan sentimen-sentimen tertentu yang lebih sempit, sekalipun dalam bentuk agama? Adakah tindak-tindak manipulasi atas isu Irak demi tendensi sektarian masih bisa dibenarkan? Fa‘tabirû yâ ulil albâb, pertimbangkanlah wahai orang-orang yang bernalar! Demikian Alqur’an mengajak belajar dari kealfaan-kealfaan yang tak perlu. Wallâh Alîm!

[Novriantoni]

Wednesday, January 09, 2008

Berinteraksi dengan Teks

09/02/2003


Tulisan ini diusahakan sejalan dengan visi global gagasan Ulil Abshar-Abdalla tentang wahyu progresif (lihat: Wajah Liberal Islam di Indonesia; 74-78). Kalaupun tidak sejalan, katakanlah usaha mengelaborasi lebih lanjut gagasan mendasar Ulil itu. Ulil yakin akan visi progresif wahyu, sementara tulisan ini, secara spesifik menukik pada ulasan mengenai visi progresif teks primer Islam, Alqur’an, yang karena beberapa faktor dianggap bak monumen yang diam, statis, dan sudah mengupas segala hal dengan tuntas. Ditambah beberapa kenyataan objektif, gagasan tentang wahyu progresif itu perlu diperbincangkan lebih lanjut.

Faktanya, siapapun yang berbicara ihwal keagamaan (terutama Islam), selalu saja dihadang tantangan berarti tentang bagaimana laiknya memperlakukan teks-teks agama yang diyakini merupakan rujukan paling otentik guna menanggapi berbagai problem hidup. Fakta demikian sudah dialami banyak pemikir besar Islam. Sudah lama, mereka mencermati adanya jurang pemisah (alhuwwah al-fâshilah) antara teks dengan konteks atau sejarah umat manusia. Hassan Hanafi menggambarkan munculnya kesadaran itu begini: “kita berlindung di sebalik teks, ternyata kita justeru kecolongan (ihtamainâ bi al-nushûsh, fadakhala al-lushûsh). Suatu tamsil tentang adanya semacam belenggu teks sehingga lupa akan kenyataan, konteks dan sejarah.

Di banyak kalangan umat Islam, persepsi bahwa Tuhan tidak mengalfakan satu perkara dunia-akhirat pun (dalam Alkitab), kecuali Dia berbincang tentangnya, mengakar sangat kuat. Atau, dengan mengutip ungkapan Qur’ani, mâ farrathnâ fi al-kitâb min al-syai’ (tak ada yang luput dari “liputan” Alkitab). Teks ini, oleh banyak kalangan yang harfiah, diartikan sebagai penegasan akan hiraunya Tuhan terhadap masalah sekecil dan seremeh apapun di dalam teks. Bagi mereka, problem apapun mungkin dan bisa dirujukkan penyelesaiannya dengan senjata teks. Dari pandangan beginilah muncul anggapan kalau Alqur’an adalah kitab segala kitab; dia bisa menjadi kitab hukum, kitab politik, kitab sains dan teknologi dan bla-bla-bla. Rasanya, tidak perlu mengemukakan kekeliruan pemikiran begini, dan implikasi negatifnya bagi kelangsungan Islam dan pemikiran keislaman itu sendiri.

Berangkat dari ilustrasi di atas, menjadi jelas bahwa siapapun yang berbicara ihwal agama, mesti lihai memperlakukan teks-teks agama itu sendiri. Atau --dengan sedikit mengutip dua judul buku Al-Qardlawi: Kaifa Nata‘âmal ma’a al-Qurân, juga ma‘a al-Sunnah?-- pandai berinteraksi dengan Alqur’an maupun Sunnah. Kebutuhan ini secara konseptual semakin mendesak, agar dapat menampik anggapan bahwa kalangan fundamentalis literal berusaha/mengusahakan diri untuk “dipeluk teks”, sementara “fundamentalis liberal”, getol “memerkosa teks”, sebagaimana disangka Yudi Latif dalam kolomnya yang berjudul Fundamentalis Literal versus Fundamentalis Liberal di Koran Tempo bulan Novermber 2002 lalu.


Pemikiran Keagamaan dalam Belanggu Teks

Pemikir Islam asal Aljazair, Mohamed Arkoun, mempuyai julukan yang khas untuk umat-umat penganut monoteisme. Mereka itu, oleh Arkoun disebut “masyarakat teks suci” (mujtama’ al-kitâb al-muqaddas). Lebih spesifik dari Arkoun, Nasr Hamid dalam Mafhûm al-Nash, menyebut peradaban umat Islam sebagai “peradaban teks” (hadlârah al-nash). Sebutan ini mengindikasikan betapa teks-teks keagamaan (yang primer adalah Alqur’an, dan yang sekunder adalah Sunnah), memainkan peran sentral dalam mengarahkan kesadaran umat Islam akan relasinya dengan Tuhan, alam maupun realitas sejarah.

Tentu tidak terlalu penting berpanjang-panjang mengemukakan bagaimana peran sentral teks bagi umat Islam. Yang lebih penting dari itu adalah membicarakan keberlangsungan vitalitas dan progresivitas teks yang menempati posisi sentral dalam kesadaran umat itu sendiri (Watt, 1998: 178). Kalimat “keberlangsungan vitalitas dan progresivitas teks”, inilah nampaknya yang perlu digarisbawahi. Sebab dalam kurun-kurun sejarah Islam, kita menjumpai bagaimana visi dan nilai-nilai yang dikandung teks, mengendap dan mengalami fosilisasi sedemikian lama, bahkan sampai hari ini masih berasa. Entah mana yang paling dulu: umat yang mandek lalu berakibat melemahnya vitalitas teks, atau teks yang dipandang tidak vital, statis, taken for granted dan final, sehingga umat menjadi jumûd alias membeku.

Agaknya perlu ditegaskan, bahwa dalam realitas sejarah, tidak semua persoalan hidup manusia bisa dijawab teks-teks agama. Persoalan umat manusia, sejak Adam sampai kini, tidak sepenuhnya berjalan atas landasan tekstual agama. Para pengamat yang jeli melihat adanya hubungan dialektik antara teks dengan sejarah (realitas) yang tak jarang dimenangkan sejarah (Abd. Rasul: Majalah Adab wa Naqd, Juli 2002).

Ambillah contoh untuk penjelas dialektika teks dan sejarah. Dalam teks-teks primer dan sekunder Islam, perihal sistim politik tidak dijelaskan secara terperinci. Diamnya teks ini tentu mempunyai maksud-maksud tertentu. Sebagian pemikir memandang hal itu memang tidak perlu, karena baik Alquran maupun nabi sendiri, sadar kalau hal sedemikian selalu tunduk pada realitas manusia yang berkembang dinamis, progresif dan memerlukan inovasi tiada henti. Pasca runtuhnya “sistim khilafah” tahun 1924, --sebetulnya kesultanan-- umat Islam bangun, sadar akan adanya kebutuhan mendesak guna mencari sistim yang lebih mungkin --sekali lagi, lebih mungkin-- memberikan kehidupan kenegaraan yang lebih baik dan maju. Dari tumbuhnya kesadaran ini, gap antara teks dengan konteks tampak semakin menganga.

Teks berbicara tentang negara yang tersusun atas dasar identitas agama (pembagian muslim dan zimmi, misalnya), konteks menunjukkan negara bangsa terbangun bukan atas fondasi identitas keagamaan. Teks, oleh kalangan literalis disangka berbicara tentang “hukum Tuhan”, “kedaulatan Tuhan”, sementara konteks membutuhkan adanya mekanisme sosial-politik yang lebih demokratis untuk mewujudkan perangkat hukum yang mengatur kehidupan publik.

Misal lebih ironis bisa kita kemukakan di sini. Di Tunisia, fatwa “ulama” yang mengilegalkan perbudakan, lahir --sebagian-- oleh desakan konsul-konsul negara Eropa di Tunisia ketika itu. Ini disebabkan “para ulama” tidak menemukan landasan tekstual yang kuat guna mengilegalkan perbudakan, karena teks tidak secara eksplisit mengharamkan tindak dehumanisasi ini (Al-Jursyi, Al-Islamiyyun al-Taqaddumiyynun; 2000: 94-101). Padahal, andai mereka mencermati pesan yang implisit dari teks Qur’an (al-dlimnî), niscaya akan dijumpai banyak indikasi, bahwa visi ke depan Islam hendak menuju kesetaraan; dan oleh karena itu, sistim perbudakan oleh kenyataan-kenyataan objektif sejarah, sudah masanya ilegal. Bukankah Alquran banyak menyebut ‘ithq al-raqabah (pembebasan budak) sebagai sanksi atas dosa-dosa tertentu? Tidakkah Umar pernah menyergah: “limâdzâ ista’badtum al-nâs, laqad waladathum ummahâtuhum ahrâran” (mengapa memperbudak manusia, sementara mereka lahir dalam kondisi bebas?!).

Dialektika teks dengan konteks di atas, seolah memperkukuh anggapan kalau teks beku, statis, final, membelenggu dan tinggal menerapkannya saja secara harfiah, sebagaimana bisa terbaca dari opini kalangan fundamentalis. Oleh karena itu, tak heran bila pemikir liberal asal Kuwait, Al-Baghdâdi mengejek mereka sebagai ‘ubbâd al-nushûsh, penyembah teks itu sendiri (Tajdîd al-Fikr al-Dînî, 1999), atau --dengan bahasa agak halus dan romantis ala Yudi-- mendambakan “pelukan teks”.

Tuhan tentu saja, menginginkan wahyunya efektif dan berpengaruh. Efektivitas dan pengaruh teks itu, dimungkinkan bilamana manusia memperlakukannya dengan respon dan sikap nan efektif dan positif pula. Ini mensyaratkan tersedianya pemahaman memadai atas teks dan konteks dari teks itu sendiri. Sebagai pilihan agar teks dan konteks tidak berpalingmuka sedemikian rupa, tafsir yang progressif atas teks, adalah pilihan yang mampu memberikan jaminan akan sebentuk interaksi dan respon positif manusia atas teks. Menurut Watt lagi, tafsir yang sejalan dengan konteks dengan penekanan-penekanan pada aspek realitas dan sejarah, pada hakikatnya sejalan dengan logika penafsir kontemporer (hal. 152).


Hakikat Teks dan Tafsîr Maqâshid

Agaknya, penting mengemukakan hakikat dasar teks keagamaan (dalam hal ini Alqur’an). Menurut Nasr Hamed, Alqur’an adalah teks yang (hanya) beku, tetap dan statis dari sisi pengucapan verbalnya (min haits al-manthûq), itu karena dia sudah menjadi mushaf yang dibakukan. Sedang secara konsepsi (al-mafhûm), dia sudah lepas dari sifat statisnya; dia dinamis, plural dan relatif dari segi penafsirannya. Sejak mula-mula teks yang ilahi dibumikan, lalu dibaca secara verbal, (perdananya oleh nabi) posisinya sudah bergeser dari teks ilahi yang statis, mutlak, tidak berubah, menjadi konsepsi atau teks manusiawi (yata’annas) yang relatif, dan selalu menyemangati perubahan-perubahan (Abu Zaid, Naqd al-Khitâb al-Dînî; 1995: 126). Proses ini, oleh Abu Zaid dicermati sebagai proses transisi dari tanzil (pembumian) menuju ta’wil (penafsiran).

Al-Jursyi, pemikir asal Tunisia, menunjukkan dua sikap yang perlu diambil ketika berinteraksi dengan teks. Pertama, memandang teks sebagai “yang tidak terpisah” dengan bingkai ruang dan waktu dimana dia turun. Kedua, juga sebagai wahyu yang melampaui (mufariq) ruang dan waktu, yang senantiasa mendorong dinamika sosial melalui kandungan visi dan nilai-nilai kekalnya (El-Jursyi, Al-Islâmiyyûn Al-Taqaddumiyynûn; 2000: 94-101).

Untuk dapat membaca teks secara produktif, --al-qirâah al-muntijah menurut istilah Abu Zaid, atau yang berhasil-guna-- tak lain kita mesti memilih salah satu opsi metodologi penafsiran yang ada dan mungkin berhasil-guna. Al-Jursyi menganjurkan kalangan progressif Islam untuk memilih apa yang dia sebut sebagai al-tafsir al-maqâshidiy. Yaitu tafsiran Alqur’an yang sesuai dengan maksud-maksud dan nilai-nilai universal yang dikandung Qur’an itu sendiri, tidak menitikfokuskan perhatian, melulu pada nilai-nilai situasional-partikular-lokal.

Secara teknis, al-tafsir al-maqâshidiy itu dia rumuskan dalam langkah-langkah pokok berikut: Pertama, mengidentifikasi persoalan kekinian yang penting dan mendesak, serta menatanya menurut peringkat prioritas yang jelas dan terukur. Pada tahap ini, problem kekinian diletakkan sebagai pengantar atau pintu gerbang untuk membunyikan teks yang diam. Sebab, menurut Ali bin Abi Thalib, “Alqur’an tak pernah bicara, manusialah yang membunyikannya” (lâ lanthiw, innamâ yanthiq bihi al-rijâl).

Langkah kedua adalah mengusahakan instrumen-instrumen yang mampu membongkar apa yang disebut Marx sebagai kesadaran palsu (false conciousness) kita dalam menilai realitas kekinian. Pintu masuk menuju itu tak lain adalah keluasan pengetahuan dan cakrawala pemikiran. Ketiga, beranjak menghimpun rujukan-rujukan tekstual secara tematik guna mencari visi besar teks, kalaupun teks relevan untuk turut serta dan perlu berbicara. Mekanisme ini sejalan dengan metode tafsir tematik yang berperan sebagai pembanding atas tafsir ayat per ayat secara parsial.

Problem muncul bila terlihat adanya pertentangan antara aql, yaitu pemahaman atas realitas sekaligus teks, dan naql atau teks-teks yang tersedia. Dalam kondisi demikian, ada kemungkinan bahwa pemahaman atas realitas yang keliru, oleh sebab-sebab kurangnya wawasan misalnya, atau pola interaksi dengan teks yang perlu diluruskan. Visi progresif Islam, sesuai anjuran Al-Jursyi, mesti tegas memilih akal oleh banyak alasan. Salah satunya adalah karena makna terdalam asbâb al-nuzûl, konteks turunnya teks, menunjukkan bahwa teks (hanya) megarahkan realitas. Adakah semua teks mampu mengarahkan realitas? Belum tentu demikian. Wallâhu a‘lam!

Islam, Kebebasan, dan Keadilan

24/11/2002

Dalam pandangan Islam, manakah yang lebih utama: kebebasan atau keadilan? Pertanyaan ini menjadi penting manakala umat Islam mengalami kondisi dilematis di saat kebebasan dan keadilan seolah berbenturan. Fakta menunjukkan, negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, saat ini sedang mengalami situasi ketidakberimbangan antara kebebasan dan keadilan, kalau tidak kehilangan kedua-duanya.

Idealnya, kedua prinsip itu mampu dihimpun dalam sebuah tatanan kenegaraan. Hanya saja, tak jarang terjadi dilema yang memaksa umat untuk memilah antara keduanya. Padahal, memilih salah satu, tak jarang menimbulkan konsekuensi-konsekuensi kenegaraan yang tidak menguntungkan. Galib terdengar, kalangan Islamis selalu mengeritik kapitalisme terlalu mengumbar kebebasan. Sementara sosialisme dianggap sekedar membela keadilan utopis. Islam, (dalam teorinya) adalah the third way, jalan ketiga: tengah-tengah antara kapitalisme dan sosialisme. Konsep Islam, dipersepsi mampu menjamin, baik kebebasan sekaligus keadilan.

Dalam bukunya Al-fitnah Al-kubra, Thaha Husein, pemikir besar dari Mesir menyebut, kapitalisme sedikit banyak berjasa membuka kran-kran kebebasan. Aibnya, sistem ini tak cukup lantang membela prinsip-prinsip keadilan. Sementara, sosialisme --di beberapa negara Arab-- cukup bisa mewujudkan prinsip-prinsip keadilan. Hanya saja, sosialisme banyak memasung kebebasan manusia paling asasi, sehingga menjadi sistim yang teramat represif dan jauh dari “fitrah”. Husein memang tidak sedang mengunggul-unggulkan ideologi Islam sebagai sistim yang serta merta mampu menjamin terwujudnya kedua prinsip itu. Sebab dalam kurun sejarah Islam, terdapat banyak variasi, dimana kebebasan dan keadilan saling berdialektika.

Oleh karena itu, meski Islam selalu diidealisasikan/disakralisasikan sebagai sistim yang kâmil (lengkap) dan syâmil (menyeluruh), fakta justeru menunjukkan kalau kondisi negara-negara muslim tidak cukup mengembirakan. Secara global, problem umat Islam, tak jarang berpangkal dari nihilnya kebebasan dan berujung pada gaibnya keadilan. Sebaliknya juga betul: kebebasan mulai dicicipi, keadilan tak kunjung berwujud. Akibatnya, yang menggema adalah kekecewaan, protes, kesengsaraan dan (lagi-lagi) “terpaksa” kembali ke otoritarianisme yang tidak saleh baik secara sosial, politik, budaya, lebih-lebih ekonomi.

Pada Mulanya Keseimbangan

Perlu diingat, prinsip kebebasan dan keadilan --pada masa awal Islam-- pernah menjadi dua pilar penting yang diperjuangkan umat secara bersemangat. Sejarah mencatat, para khalifah yang bijak semisal Abu Bakar dan Umar, semasa tugasnya tak lupa mengingatkan kalayak akan pentingnya kritik, demi meluruskan langkah mereka. Deklarasi semacam itu, dapat dimaknai sebagai wujud kesadaran akan pentingnya menjaga prinsip kebebasan dan keadilan. Pendek kata, kurun itu mengesankan bahwa kebebasan dan keadilan adalah bagian integral (integral part, juz-un lâ yatajazza) keimanan umat. Lebih dari itu, keduanya menjadi kesadaran sejarah mereka yang paling mendalam (Azzam, 1964: 103)

Cukup membanggakan, pada masa sedini itu, penguasa rela dikritik bila membengkok (i’wijâj) dari tanggungjawab publik. Di lain sisi, umat juga diwajibkan meluruskan (taqwîm) penguasa melalui mekanisme kontrol tradisional dan sederhana yang disemangati langsung oleh Alqur’an, juga tradisi nabi. Mekanisme itu dikenal bernama syûrâ atau mekanisme urun rembuk yang sebetulnya tidak betul-betul khas Islam, karena lebih dulu dipraktikkan Arab pra-Islam. Menurut sosiolog Robert N. Bellah, nilai-nilai sedemikian itu, terlalu modern (too modern) untuk zaman itu.

Mungkin, karena “terlalu modern” itulah --di tengah sistim kesukuan (tribalism, al-qâbiliyyah) yang masih kental--, mekanisme check and ballance itu tidak berlangsung lama. Pemikir Islam kini --Abied El-Jabiri misalnya-- menyesalkan tidak terlembagakannya iklim kebebasan dan doktrin keadilan itu menjadi sistem yang dijaga konstitusi tertulis (El-Jabiri, 1992: 86). Bukankah nabi pernah membuat konstitusi tertulis berupa Piagam Madinah (mîtsâq al-madînah)? Rasanya, kurang fair memang, mengukur kondisi-kondisi lampau dengan optik kekinian. Hanya saja, sebagai kritik ke dalam, hal itu tetap relevan dan perlu. Sebab, pengaruh kondisi-kondisi lampau itu, berlanjut ke masa sesudahnya dan sebagian masih memengaruhi imajinasi politik umat Islam sampai kini.

Dialektika Kebebasan dan Keadilan

Kini tiba masanya memaparkan relasi Islam, kebebasan dan keadilan. Dalam kolomnya di harian Azzaman (20/9/2002), pemikir Islam Hassan Hanafi, mengemukakan tesis menarik tentang hubungan Islam, kebebasan dan keadilan. Setelah mencermati gerakan revivalisme Islam dalam dua abad terakhir, Hanafi menyimpulkan bahwa dalam pemikiran dan pergerakan para pembaru Islam, kebebasan dan keadilan merupakan dua konsep yang saling melengkapi sekaligus saling berkontradiksi (fikratâni li al-takâmul wa al-tanâqud ma‘an). Sejak masa Al-Afghani, kebebasan dan keadilan selalu berdialektika. Suatu waktu, kebebasan dominan, di lain waktu harapan akan keadilan mendominasi, sehingga melenyapkan kebebasan.

Ironisnya, dialektika keduanya kemudian berujung petaka: kebebasan lenyap, keadilan tak kunjung berwujud. Baik kebebasan maupun keadilan sama-sama menjadi arang dan abu, tak ada yang dimenangkan. Hanafi menganalogikan hilangnya kebebasan dan keadilan di banyak negara-negara muslim dewasa ini, bak kondisi buntungnya dua betis (faqd al-sâqain). Dunia Islam, kini asing dari dua isu yang senantiasa mereka tuntut sejak mengencangnya antusiasme kebangkitan Islam.

Tesis Hanafi ini, bisa dielaborasi lebih lanjut dengan melihat perkembangan dunia Islam sejak masa imprealisme modern. Ketika umat dikungkung dua sangkar besi (imperialisme Eropa dan despotisme penguasa), Al-Afghani dengan lantang meneriakkan dua agenda penting: merdeka dari imperialisme dan bebeas dari despotisme. Kebebasan menjadi pekikan ternyaring. Sebab dengan kebebasanlah keadilan bisa diusahakan. Sergahan Umar bin Khattab tentang pembebasan manusia, menjadi inspirasi penting: “Mengapa menindas manusia, sedang mereka terlahir bebas?!”

Mudah disimpulkan, pada masa imprealisme Eropa, spirit kebebasan menjadi inheren dalam doktrin Islam. Kesadaran umat seolah membenarkan, bahwa proteksi Islam atas prinsip kebebasan, berperan besar menyukseskan Islam di masa lampau yang gemilang. Umat yakin, kesuskesan melakukan ekspansi ke Timur dan Barat, dari Cina sampai Spanyol, erat berkait dengan keteguhan memegang paham kebebasan (Azzam, 106). Agaknya, terma “watak liberasi Islam” (al-thâbi’ al-taharruriy) sebagaimana digunakan M. Emarah, kuat mendorong kesadaran sejarah umat ketika itu.

Bagaimana dengan keadilan? Tuntutan keadilan tak kalah nyaringnya. Dalam Islam, keadilan adalah motivasi keagamaan yang esensial (Boisard, 1980: 142) Untuk membangkitkan keadilan ekonomi dan revolusi petani, Al-Afghani secara provokatif berkata: “Para petani itu naif! Setiap hari mereka menyangkul sawah, tapi mereka tidak sedia menyangkul jantung penguasa yang menzalimi mereka.” Sayyid Qutb, pemikir Ikwanul Muslimin yang termasyhur itu, melanjutkan penekanan aspek keadilan Islam, dalam karya pentingya: “Al-‘Adalah Al-Ijtimaiyyah fi Al-Islam” (Keadilan Sosial dalam Perspektif Islam).

Sayang, kebebasan dan keadilan yang mestinya saling komplementer, tidak menjadi pilar penting pembangunan banyak negara muslim pascakemerdekaan. Tak salah bila kemudian muncul pendapat bahwa dalam catatan sejarah, “Islam” pernah membolehkan penindasan dan tirani. Umat Islam selalu berapologi, bahwa penyebabnya adalah karena umat tidak menghormati norma-norma Islam (Boisard, 1980: 150)

Berbagi “Berkat” Kebebasan

Kini, umat Islam Indonesia menikmati iklim kebebasan yang relatif longgar. Berpendapat, berkumpul, berdialog dan berdiskusi, masih menjadi buah manis reformasi. Tak dapat disangkal, semua itu hasil keringat banyak komponen bangsa. Kini, seakan ada konsensus --paling tidak di kalangan elit-- bahwa iklim kebebasan mesti dikawal agar tak terjatuh ke jurang despotisme, diktatorisme dan otoritarianisme lagi. Kebebasan dan demokrasi, mestinya dijadikan momentum untuk memperbaiki kondisi berbangsa dan bernegara, di situ tersisip harapan akan keadilan yang lebih berasa.

Ironisnya, ada kelompok Islam yang malah terlihat “jengah” dan berkesan “membenci” iklim kebebasan dan demokrasi. Sebagian mereka mengklaim demokrasi sebagai sistim kafir. Padahal, iklim kebebasan dan demokrasi --yang tidak dicicipi banyak negara muslim lain-- merupakan prakondisi untuk tumbuh dan berkembangnya aspirasi dan potensi positif berbagai komponen bangsa (kelompok Islam bukan pengecualian tentunya). Untuk itu, persepsi yang positif akan kebebasan dan demokrasi, mesti dikembangkan terus menerus demi kemaslahatan bangsa. Rasanya, tidak fair bila kelompok-kelompok yang kurang berkeringat dalam “tahlilan” merebut kebebasan dan demokrasi, justeru paling rakus melahap “berkat” tahlilan.

Sebaliknya, pemerintah seyogyanya juga memanfaatkan momentum ini guna mengupayakan tegaknya prinsip-prisip keadilan sebagai salah satu sila Pancasila. Banyak bukti, bahwa kebebasan tanpa keadilan justeru menjadi bumerang bagi rezim-rezim berkuasa. Pepatah Arab yang menyebut “keadilan adalah pondasi kekuasaan” (al-‘adl asâs al-mulk) nampaknya masih relevan disebut di sini. Hikmah lain juga menyebutkan: tak ada negara tanpa penguasa, tak ada penguasa tanpa uang, tak ada uang tanpa kesejahteraan, dan tak ada kesejahteraan tanpa keadilan. Wallâh Alîm!

[Novriantoni]

Saturday, January 05, 2008

Solidaritas untuk Palestina

Aksi umat Islam Indonesia yang mencolok ketika konflik Palestina-Israel menghangat, adalah solidaritasnya. Dengan berbagai ekspresi, umat Islam Indonesia menampakkan wujud solidaritasnya atas perjuangan rakyat Palestina. Sering sekali, solidaritas itu ditandai dengan meningkatnya kemarahan atas Israel. Tak jarang kemarahan itu diwujudkan deengan menghardik Amerika yang selama ini dipercaya dan diandalkan sebagai “penengah konflik” oleh dunia Arab, bahkan dunia internasional. Amerika, bagi banyak umat Islam adalah “tersangka” yang mensponsori kekejaman Israel. Sementara Israel tentu saja divonis sebagai terdakwa.


Secara doktrinal agama, umat Islam memang dianjurkan untuk menggalang solidaritas sesama. Ini didasarkan pada hadits yang berbunyi: “orang yang tidak peduli dengan urusan umat Islam, bukanlah dari golongan mereka”. Dari hadits seperti ini--dan banyak hadits lainnya, seperti yang mengumpamakan umat Islam bagai satu sistem organ tubuh (ka matsal al-jasad) yang saling berempati bila salah satu bagiannya menderita--umat Islam memiliki daya dorong yang kuat untuk peduli, membela dan memperjuangkan nasib sesamanya. Wujud peduli, hirau, saling menjamin, dan kadang-kadang membela inilah makna etimologis (secara bahasa) dari kata Arab “al-tadlâmun”, atau solidaritas.


Namun demikian, secara doktrinal pula, solidaritas itu tidak sebatas untuk dan demi umat Islam saja. Umat Islam dituntut juga untuk solider atas umat lainnya dalam rangka pembelaan terhadap kebaikan-kebaikan universal: kebaikan yang diakui secara umum. Penjarahan, pemerkosaan, penindasan dan ketidakadilan yang diderita oleh insan manapun, juga masuk dalam tuntutan solidaritas yang perlu diperjuangkan umat Islam. Tentu sering terdengar, al-Qur’an menganjurkan saling tolong dalam urusan kebaikan dan ketakwaan (al-birr wa al-taqwa), (sebaliknya) mencela berkomplot untuk hal kejahatan dan permusuhan (al-itsm wa al-‘udwan). Ayat Qur’an lain menganjurkan untuk tidak tergiring berlaku tidak adil karena kebencian atas suatu kaum (walâ yajrimannakum syana’ânu qaum ‘alâ ‘an lâ ta’dilû).


Jadi, sebenarnya ajaran Islam menganjurkan umatnya untuk meningkatkan derajat solidaritas, dari yang mekanik menuju organik. Solidaritas mekanik itu, memiliki daya dorong dari persamaan suku, ras, agama dan lingkup-lingkup yang memetakan manusia pada identitas tertentu. Bila suatu suku merasa terhina, memperoleh pembelaan dari teman sesukunya adalah wajar. Ini adalah solidaritas awal. Sayangnya, solidaritas ini terkadang kurang peduli dengan kriteria kebenaran dan kesalahan dari obyek yang dibela. Hal ini disebabkan sifatnya yang mekanik. Sekali tombol tertekan (misalnya emosi) maka solidaritas itu beraksi.


Berbeda dengan solidaritas mekanik, solidaritas organik lebih jernih memandang permasalahan. Ada kepentingan universal yang diperjuangkan, misalnya menentang kesemena-menaan, atas siapapun kesemena-menaan itu dideritakan. Yang kedua ini lebih melihat inti, bukan orang atau person yang perlu dan tidak perlu disolidaritasi.


Dalam kasus Palestina-Israel, pembelaan dan atau keberpihakan umat Islam Indonesia pada Palestina, wajar adanya. Mereka merasa ada saudaranya yang masih dibelenggu penjajahan dan pelecehan hak-hak mereka. Namun sayang, solidaritas tersebut masih didominasi oleh emosi yang meluap-luap dan kemarahan yang tak jarang kurang beradab. Sering juga, solidaritas untuk Palestina diwarnai simbol-simbol keagamaan (Islam) yang seolah mencitrakan adanya pertikaian bermotif agama. Pada poin terakhir ini, kentara penilaian yang kurang tepat akan hakikat konflik. Sehingga, (konsekuensinya) muncullah ekspresi solidaritas yang menyimpang pula.


Setidaknya, ada beberapa alasan yang menyangkal klaim bahwa konflik Palestina-Israel merupakan konflik agama (Islam vs Yahudi dan atau Nasrani):


Pertama, hijrahnya Yahudi dari Eropa ke Palestina justeru merupakan solusi Eropa yang tidak mampu mengatasi “masalah Yahudi” yang lama menjadi momok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mereka. Poin ini tidak memuat motif agama.


Kedua, sebagai negara-negara yang masih memiliki watak penjajah, negara-negara Barat (Inggris, Perancis, Jerman dulunya dan Amerika sekarang) menganggap keberadaan Israel di Palestina merupakan perpanjangan tangan mereka untuk menjaga banyak kepentingan (utamanya ekonomi, politik, militer) di kawasan. Ini lebih bermotifkan kepentingan dan keuntungan. Makanya El-Messirri, pakar zionisme Mesir menyebut Israel sebagai negara boneka (daulat al-wadhîfah) yang senantiasa siap memenuhi kepentingan patron/bosnya.


Ketiga, zionisme yang menjadi penyangga negara Israel adalah ideologi sekular yang sama sekali tidak peduli dengan doktrin-doktrin agama Yahudi, meskipun (tidak menghalangi) mereka memanfaatkan dan memelintir klaim-klaim kitab suci, demi membenarkan keberadaan mereka di tanah Palestina. Namun demikian, unsur agama tersebut hanyalah kedok yang memberikan legitimasi “yang suci” atas proyek penjajahan mereka. Walau sedikit memuat unsur agama, tapi tidak terlalu signifikan.


Namun demikian, karena agama adalah unsur yang kurang dikritisi dalam konflik ini, maka nuansa agama nampak lebih mengemuka. Tidak hanya Israel yang melakukan itu. Solidaritas beberapa kalangan Islam Indonesia untuk Palestina masih tetap menonjolkan simbol-simbol agama saat melancarkan aksi protes. Tidak jarang juga, jargon-jargon yang dikumandangkan dalam aksi-aksi solidaritas untuk Palestina, menggunakan kalimat-kalimat suci keagamaan yang tentu saja memiliki daya dorong tinggi untuk menyulut emosi massa.


Akibat terparah dari solidaritas ini adalah terjadinya salah kaprah dalam taktik dan strategi dalam menerjemahkan wujud solidaritas umat secara benar. Ambisi untuk berjihad ke Palestina tanpa pertimbangan geo-politik dan kondisi riil di sana, memperlihatkan bahwa solidaritas itu masih belum arif dan bijaksana. Mestinya, solidaritas itu tidak miskin nalar, terkontrol, taktis dan strategis. [Novriantoni]



Shazia


04/08/2002


Namanya Shazia Mirza. Dia seorang komedian perempuan yang hidup di London. Dengan bersahaja, dia memberi kontribusi non-konvensional untuk Islam dan kemaslahatan umat Islam: dengan humor. Dari panggung ke panggung perempuan berjilbab asal India ini mencoba mencairkan kebencian; meminimalisir stereotipe Islam dan citra Muslim di Inggris khususnya. Praktis, pasca 11 September di AS, Islam dan umat Islam remuk-redam diterpa kecurigaan dan kebencian. Menurut Shazia, people (di Barat) think that all muslims are extreme and dangerous. Apa akal? Dengan caranya, Shazia mengocok perut warga Inggris. Dalam suasana kalut yang mendalam, tak mudah membuat orang tersenyum, apalagi tertawa terpingkal-pingkal. Rupanya, banyak jalan untuk berjihad. Salah satunya seperti disebut oleh Karen Armstrong, apologis untuk Islam. Maksudnya, jihad dengan menggunakan media. Dari sederet cara itu, Shazia mengambil cara nonkonvensional yang disebut tadi.


Shazia cukup sukses. Dalam tulisannya di ISIM Newsletter edisi 10, menuturkan: “Mereka yang datang dengan beragam keyakinan, membanjiriku dengan rupa-rupa pertanyaan. Mereka sangat terkesan dengan pola hidup seorang perempuan muslim. Sebagian pikiran dan persepsi mereka tentang Islam dan Muslim pasca 11 September, berangsur-angsur berubah.” ISIM adalah jurnal kajian keislaman yang terbit di Nederland.


Namun demikian, Shazia menyoal apa sebab Islam sangat sulit diasosiasikan dengan humor. Sebatas yang dia tahu, Nabi Muhammad banyak tertawa dan membuat gurauan-gurauan segar. Bagi seorang Shazia, “jika keyakinanmu, keagamaanmu kuat, kamu akan dapat tertawa dengannya.” Tapi nyatanya, dalam hal keyakinan, jangankan tertawa, senyum pun orang tak sudi. Itu bentuk pelecehan, paling tidak ketidakbersungguhan. Sementara, keyakinan bagi sementara orang adalah kesungguhan, ketegasan, sekali-sekali kemarahan.


Tawa dalam keyakinan itu tentu saja sulit. Kalau dirujuk ke doktrin agama, tertawa mungkin menjadi makruh, kurang terpuji. Dalam sebuah hadits menyebut tawa yang overdosis sebagai pembunuh hati (fainna katsrat al-dlahik tumît al-qalb). Lebih dari itu, sebuah pepatah mengatakan, “Temanmu adalah yang membawamu terisak, bukan yang menggiringmu tertawa (shadiquka man abkâka lâ man adlhakaka). Yang perlu diingat, tentu saja teks dan realitas Shazia berlainan. Kalau tidak begitu, teks-teks menjadi tidak banyak bermakna. Sebab, menurut Shazia, “As comedian, I believe that laugther is strongest tool for communicating with people who shut the door in my face, because I am muslim. Tawa orang sangat penting bagi Shazia, ia menjadi instrumen terkuat untuk berkomunikasi dengan orang yang membanting pintu di depan mukanya, sebab ia muslim.


Mungkin tak ada korelasi secara doktrinal antara tawa dengan agama. Tertawa, hanyalah ekspresi kemanusiaan yang umum saja. Ia tanda kebahagiaan, meskipun sekali-kali orang menyebut tangis (juga) tanda kebahagiaan. Tapi, bila pemikir Fahmi Huwaidi menyebut pola keberagamaan yang pemberang (al-tadayyun al-ghâdib), tak ada salahnya kita menghubungkan keberagamaan dengan humor. Tarolah kita menyebutnya keberagamaan yang humoris (al-tadayyun al-fukâhî), atau keberagamaan yang “uhuy”, meminjam istilah Komeng.


Bisa jadi, keberagamaan yang ramah, santun, toleran bisa lahir dari tingkat humor yang tinggi. Siapa tahu? Itu sah-sah saja sebagai harapan. Toh Shazia yang sudah melakoni itu juga punya harapan. “One day, I hope we can all laught together.” Demikian harapan Shazia. [Novriantoni]

Dialog

07/07/2002

Sa’ad bin Abi Waqqash, salah seorang sahabat Nabi yang saleh pernah berkata: “Saya tidak akan turut berperang, sebelum kalian dapat memberiku sebilah pedang yang mampu berpikir, melihat dan mengatakan kepadaku: Yang ini benar dan yang itu salah!” Ungkapan bijak itu ditegaskan ketika terjadi kebuntuan dialog politik yang melanda umat Islam dua dasawasa pasca-mangkatnya nabi. Persisnya, ketika terjadi kecamuk politik luar biasa intraumat Islam yang terpolarisasi dalam pengikut Ali dan Muawiyah. Buntutnya, muncullah aliran-aliran teologi Islam yang sebetulnya lebih mirip partai yang dibungkus dinamika intelektual yang kaya dan semarak.

Dalam bukunya yang tajam, Tajdîd al-Fikr al-Dînî, seorang pemikir asal Kuwait, Ahmad al-Baghdadi menyebutkan, krisis etos dialog (azmat allâ hiwâr) di kalangan umat Islam perdananya ketika itu. Tapi, hemat saya, al-Baghdâdi benar separoh saja. Krisis dialog politik, memang bermula dari situ. Tapi tidak demikian nasib dialog pemikiran, agama dan budaya. Buktinya, dialog --setidaknya dalam tiga aspek itu-- terus berlanjut dalam kurun sejarah Islam berikutnya. Untuk itu, tidak salah bila Dr. Athif Iraqi dari Mesir menyebut dialog antara peradaban Islam dengan “peradaban asing” merupakan salah satu komponen penting berkembangnya Islam sebagai peradaban yang maju untuk zamannya. Tiga kata kunci yang dipandang penting oleh Iraqi adalah keterbukaan (al-infitâh), dialog (al-hiwâr) dan kemajuan (al-taqaddum).

Hanya saja, dialog tidak selamanya menyenangkan, apalagi bagi pemikiran yang eksklusif nan jumud dan membatu. Dialog juga dicurigai, dibenci bahkan dicaci-maki. Kalau dulu dikenal terma zindîq (man tamantaqa faqad tazandaqa) untuk menjegal rupa-rupa dialog yang berkembang, sekarang dikenal terma terbaratkan, sekular, agen Barat, dan kata-kata pembunuh lainnya. Yang menyedihkan, dialog antaragama (interreligious dialogue) yang digagas sebagai pengganti konfrontasi dan konflik berbensin agama yang menjadi pengalaman pahit umat manusia dalam rentang sejarah yang menyesakkan, tak luput dari kecurigaan itu.

Di atas sudah disebutkan, umat Islam tidak pernah pensiun berdialog pada level internal dan eksternal peradabannya, kecuali dalam masalah politik. Prestasi umat dalam dialog politik, terutama internal umat, tidak banyak yang membanggakan. Dalam politik, yang nyaring berbicara cuma pengadilan penguasa, kelicikan politikus dan kata putus pedang. Sialnya, kebuntuan dialog politik terkadang menularkan krisis dialog dalam lapangan lainnya. Tak jarang, semaraknya dialog pemikiran keagamaan, dicarikan hakimnya dari kekuasaan politik. Di tengah pasaraya tafsir keagamaan, sebagian orang merindukan ijmâ‘, konsensus atau stempel politik bagi tafsir yang salah dan benar. Akibatnya bisa diprediksi, umat kembali terperosok pada ketidakmampuan memilih kebenaran atas pertimbangan akal sehat, karena terbiasa dipilihkan versi kebenaran yang tak jarang melecehkan akal sehat.

Selain prasyarat budaya dan pengetahuan yang memadai, dialog juga butuh kondisi psikologis yang prima. Artinya, diperlukan adanya kesiapan mental untuk berbeda. Perbedaan itulah yang nantinya menghasilkan dialog. Apatah artinya berdialog bila kita sudah berada dalam visi yang sama? Untuk berdialog, Alqur’an memberikan kita semacam rambu-rambu, yang mungkin bisa kita sebut etika. Etikanya adalah bi al-hikmah (dengan penuh bijak), dan bi allatî hiyâ ahsan (dengan sikap atau argumen yang lebih baik). Jelas, etika dialog sebagaimana digariskan Alqur’an, tidak termasuk hujatan dan caci-maki. [Novriantoni]

Syariat Demokratik

05/05/2002

Istilah ini tentu saja janggal terdengar bagi sementara kalangan, sebagaimana demokrasi masih dianggap asing, impor dari barat, dan tidak terpikirkan (ghayra mufakkar fîhi) bagi sebagian umat Islam. Dan sekarang, saya malah menyandingkan syariat dengan kata demokratik. Padahal masih ada anggapan, demokrasi bertentangan dengan Islam, atau lebih spesifik lagi, syariat Islam.

Pemahaman umum mengatakan, syariat adalah “produk langit”, sementara demokrasi itu “produk bumi”. Artinya, syariat mengikuti mekanisme vertikal yang top-down: dari Tuhan untuk manusia. Sementara demokrasi bergerak secara horizontal: dari manusia untuk manusia. Karena syariat itu dari Tuhan untuk manusia, maka campur tangan manusia untuk menolak, mendebat atau bahkan mempertanyakannya, tak perlu ada. Dari sudut pandang ini, syariat harus diterima bulat-bulat dan yang menerima (baca: manusia) harus menjadi mayat.

Pandangan di atas tentulah musykil untuk akal sehat kita. Betul memang, Tuhan menurunkan syariat untuk kebaikan manusia. Dan tidak juga salah bila beranggapan bahwa Tuhan lebih tahu dari manusia. Tapi, pertanyaannya kemudian: betulkah yang ditangkap oleh umat Islam kini betul-betul syariat Tuhan?

Pertanyaan ini penting. Dan saya kira, ada dua jawabannya. Pertama, syariat bukanlah paket Tuhan sekali jadi. Syariat bila dilihat dari konteks kesejarahannya selalu berkembang dan terus beranjak dewasa dari masa ke masa. Untuk itu, syariat tidak dapat dikatakan sudah final. Wahyu dan hadits memang final, tapi usaha pemahamannya tidak pernah selesai. Selain itu, ada dimensi ruang dan waktu yang bermain dalam proses itu. Sehingga menjadikan syariat yang peka ruang dan waktu. Karena kepekaan itulah, syariat dapat disebut “baik untuk tiap-tiap waktu dan ruang” (shâlih likulli zamân wa makân).

Kedua, kalaupun syariat adalah paket yang utuh, kita bukanlah tangan pertama yang menerima. Bisa dipastikan, bahwa yang paling tahu isi syariat jelaslah penerima pertama: Nabi Muhammad Saw. Adapun kita, entah menjadi tangan keberapa dalam proses pembedahan dan pemahaman isi syariat. Boleh jadi, apa yang kita tangkap tentang syariat adalah bagian-bagian, potongan-potongan atau bahkan cuilan-cuilan dari syariat saja. Beranjak dari dua asumsi di atas, pentinglah bagi kita untuk menjadikan syariat sebagai perdebatan publik. Dalam konteks ini, syariat tidak hanya monopoli para “ulama”, apalagi dijadikan kampanye oleh partai politik. Inilah yang saya maksud dengan syariat demokratik.

Sebenarnya istilah ini juga saya pinjam dari Abdullah Ahmad An-Na’im, pemikir asal Sudan. Ia menulis buku yang terbit dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Syariat Demokratik. Menurut Na’im, syariat Islam harus dapat memberikan respon yang memadai atas wacana demokrasi, HAM ataupun kebebasan. Pertanyaan kita sekarang ketika melihat maraknya tuntutan syariat Islam di tanah air: sudahkah wacana atau tuntutan atau keputusan perda tentang penerapan syariat itu didiskusikan dan melibatkan banyak orang?

Pertanyaan ini penting, saya kira. Sebab ada kekhawatiran, wacana atau tuntutan atau perda tentang penerapan syariat tidak mengikuti mekanisme yang demokratis. Artinya, itu bukan murni produk keinginan banyak kepala. Kekhawatiran ini tentu sah-sah saja. Kecuali untuk orang yang tidak percaya kalau Islam menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. [Novriantoni]