Thursday, September 22, 2005

Islam dan Kebebasan Berekspresi

08/09/2002

Suatu ketika, di sebuah apotik di kota Kairo, sekonyong-konyong seorang laki-laki bertanya kepada Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir Islam dari Mesir yang dituduh murtad karena pemikirannya tentang Alqur’an, “Bukankah Anda bernama Nasr?.” “Ya,” jawab pemikir Islam yang bertubuh gemuk itu. “Apakah Anda orang yang disebut-sebut murtad itu?” kata laki-laki itu memburu. Dengan heran, Nasr balik bertanya: “Anda percaya?” Hm, rupanya kabar burung sampai ke telinga lelaki itu, kalau pakar ilmu Alqur’an itu melecehkan Alqur’an. Lantas, Nasr bertanya lagi, “Pernahkah Anda membaca salah satu buku karanganku?” Dengan jujur, pria itu menjawab, “Sungguh, belum sama sekali!” Pada akhirnya, Nasr memberi wejangan untuk penuduh yang belum membaca bukunya itu: “Aku harap, Engkau mau membacanya. Selanjutnya, berserah dirilah pada Allah!” (Al-Hurriyyah fî Sabîl-i-Allâh, 1994)

Kasus lain lagi. Kabar teranyar dari Mesir mengungkapkan, seorang dai muda kondang selevel Aa’ Gim, bernama Amr Khalid, dilarang pemerintah melanjutkan aktivitas dakwahnya. Tanpa alasan yang kuat, kemungkinan menyangkut masalah kepantasan politik (al-mulâamah al-siyâsiyyah), Amr terpaksa rehat dari tugas amar makruf nahi munkar. Sebagai catatan, sampai kini, pemerintah Mesir masih memberlakukan undang-undang darurat (qânûn al-thawâri’) yang mirip undang-undang subversif a la ORBA. Di belahan dunia lain, tapatnya di Libia, sebuah masjid “disucikan” dari golongan zindiq karena desas-desus mengajarkan “aliran sesat”. Massa beramai-ramai mendatangi mereka agar pensiun dari pengajian dengan rupa-rupa ancaman. Kedua hikayah ini disesalkan secara mendalam oleh pemikir moderat Islam, Fahmi Huwaidi dalam kolomnya setiap Senin di harian Asharq Alawsat (29/7/2002).

Peristiwa di atas memang tidak terjadi di Indonesia. Tapi tentu hal semacam itu bisa terjadi di mana-mana, termasuk di Indonesia. Kita masih ingat, bagaimana kasus sweeping “buku kiri”, pendudukan media massa, dan banyak kasus lain, masih menyiratkan trauma untuk hal kebebasan berekspresi. Sebuah negara yang memiliki perangkat perundang-undangan kebebasan berekspresi yang lemah, akan lebih rawan mengalami kejadian serupa. Sekilas terlihat, kasus Nasr Hamid, Amr Khalid, masjid di Libia, sweeping “buku kiri” dan pendudukan media, berdiri sendiri-sendiri dan tampak berbeda. Tapi sebetulnya, semua itu termasuk antrian problem serius dunia Islam: kebebasan berekspresi masih payah. Salah satu tugas penting dan mendesak kemudian, bagaimana kebebasan berekspresi dijamin baik oleh undang-undang maupun masyarakat yang lama terkekang.


Teror Penguasa dan Teror Massa Paling tidak, ada dua bentuk teror yang dapat ditangkap dari contoh-contoh di atas. Pada kasus Amr, pengekangan kebebasan dipertontonkan penguasa politik secara berlebihan. Itu belum seberapa. Beberapa waktu lalu, pemerintah Mesir juga memenjarakan beberapa akademisi yang disinyalir kuat sebagai aktivis Ikhwanul Muslimin. Alasannya, bukan karena mereka melakukan teror dan tindakan destruktif lainnya, tapi lebih karena mereka kritis. Penangkapan semena-mena oleh rezim penguasa di dunia Islam, tentu tidak sekali dua kita dengar. Cerita yang sama sudah jamak kita dengar dan mengakumulasi menjadi krisis kebebasan yang memasung, bahkan ragam-ragam potensi umat.

Dalam kasus kedua, masyarakat yang tidak terbiasa dengan kebebasan, mempertontonkan suasana prasangka dan ketakutan yang berlebihan. Mereka terpaksa menjadi “masyarakat ternak”. Akibatnya, mereka yang sudah lama tidak menikmati kebebasan itu, tanpa sadar membuat kerangkeng kebebasan bagi diri mereka lagi. Fenomena seperti ini disoroti tajam oleh pemikir liberal bernama Salamah Musa. Menurutnya, selain pemerintah yang phobia kebebasan, masyarakat juga tak jarang berperan besar memasung kebebasan. Dalam banyak kasus, massa lebih cepat bertindak dan menghajar mereka yang keluar dari kebiasaan --baik agama, maupun bukan agama-- mereka. Sementara itu, pemerintah berpangku tangan seolah memberkati “inisiatif” masyarakat itu. (Hurriyyat al-Fikr wa Ibhtâluhâ fi al-Târîkh, 1975)

Kasus teror oleh kekuasaan, boleh jadi bisa diobati dengan proses demokratisasi dan perundang-undangan yang menjamin kebebasan. Ini setidaknya dapat pembenarannya dari negara-negara muslim yang beranjak ke arah demokratisasi. Namun, teror pemikiran/mental/fisik (al-irhâb al-fikrî/al-maknâwî/al-jasadî) yang dilakukan masyarakat, obatnya jauh lebih sulit. Teror pemikiran yang dilakukan massa tertentu, taruhlah gerakan keagamaan yang ekstrim, berdiri di atas tingkat budaya pemikiran dan fanatisme lama yang mendarahdaging di masyarakat. Dalam hal seperti ini, perundang-undangan tidak mampu menawarkan obat, sekiranya tidak didukung/diperkuat opini publik yang prokebebasan, toleransi dan pluralisme. Lebih dari itu, masyarakat perlu mendapat pendidikan tentang bagaimana menikmati kebebasan seraya taat pada hukum. Kondisi kebebasan yang terjamin dan ideal ini tampaknya masih jauh panggang dari api di dunia Islam. Maka, pantas bila Thomas Friedman dalam komentarnya tentang vonis pengadilan yang memenangkan kasus pengajaran ilmu Alqur’an di North Carolina University belakangan ini, menyindir soal kebebasan umat Islam dengan sinis: “Bagaimana reaksi Bin Ladin, sekiranya Bibel diajarkan di salah satu perguruan tinggi Islam?” Masing-masing kita, mungkin tahu jawabnya.


Mahalnya Kebebasan Dari pemandangan di atas, terasa betapa mahal harga kebebasan berekspresi di dunia Islam. Jika kita yakin bahwa agama berperan sentral dalam pembentukan watak bangsa, mau tidak mau kita mesti menagih garansi kebebasan dari agama itu sendiri. Ya, garansi kebebasan berekspresi harus dicarikan dari doktrin terdalam agama. Perlu diakui, bahwa tema kebebasan berekspresi termasuk tema “yang tak terpikirkan” dalam pembahasan pemikiran keislaman. Sama halnya dengan tema demokrasi, HAM, interreligious dialogue, pluralisme, dan tema-tema yang menjadi kebutuhan kontemporer, kebebasan berekspresi menjadi tema yang terabaikan dan tidak terlihat penting dalam kajian-kajian keislaman.

Rasanya perlu dicatat, berbagai perdebatan pemikiran yang berkembang di kalangan umat Islam, semacam wacana apakah Alquran itu makhluk atau bukan, tidak dirayakan sebagai wacana yang dengan santainya dapat berseliweran di muka publik. Karena sesak oleh perdebatan, wacana-wacana yang multitafsir itu, dicarikan kata putusnya dari kekuasaan politik maupun kekerasan massa. Tragedi Ibnu Hanbal dapat menjadi sampel lama untuk masalah ini.

Fenomena menyedihkan ini disesalkan dengan baik oleh Ahmad Al-Baghdadi, seorang pemikir kritis dari Kuwait. Menurutnya, kebebasan berekspresi adalah bagian kebebasan yang tidak dinikmati, kecuali sedikit dalam sejarah negara Islam. Wacana publik tidak jarang berakhir dengan darah saat kekuasaan melakukan intervensi. Al-Baghdadi menilai, dialog bukan keutamaan (fadlâil) umat Islam, meskipun kita mengantongi firman Allah, “…Sanggahlah mereka dengan (argumen/sikap) yang baik. Sesungguhnya, hanya Tuhanmulah yang Mahatahu siapa yang menyimpang dari jalan-Nya dan Dia Mahatahu mereka-mereka yang terbimbing.” (Tajdîd al-Firk al-Dînî: Da‘wat li al-Istikhdâm al-Aql, 1999)


Islam dan Kebebasan Berekspresi Secara teoritis, kita dapat saja mengemukakan seabrek landasan teks yang menunjukkan garansi Islam untuk kebebasan berekspresi. Seorang pemikir Islam bernama Gamal Al-Banna, yakin betul kalau para pembela kebebasan berpikir, tak akan mampu memberikan garansi kebebasan (sampai untuk hal keyakinan) sebagaimana yang telah dikemukakan Alqur’an. Dalam beberapa ayat Alqur’an, beriman ataupun tidak, ditegaskan sebagai persoalan individu, bukan persoalan publik yang menuntut intervensi kekuasaan dalam beragam bentuknya, tak terkecuali kuasa rijaluddin atau jamaah kesalehan. Manusia betul-betul otonom dan hanya Tuhan pemegang hak prerogatif untuk vonis pengadilan-Nya. (Majalah Adab wa Naqd, vol. 179, edisi Juli 2000).

Dalam buku fikih barunya, Al-Banna lebih lanjut merumuskan hal kebebasan berekspresi itu. Ibarat pohon, dia menjadikan kebebasan berkeyakinan (hurriyyat al-aqîdah), sebagai pokok (al-‘ashl) yang memiliki cabang-cabang (al-furû‘) kebebasan lainnya: kebebasan berpikir, kegiatan pers, penerbitan dan lain sebagainya. Al-Banna memberikan pijakan kebebasan itu dari inspirasi Qur’ani seperti firman Allah: “Apakah Engkau memaksakan orang-orang, sehingga menjadi komunitas beriman?” Namun, Al-Banna mengaku, inspirasi kebebasan --dalam banyak dimensinya-- yang dia ambilkan dari landasan Qur’ani itu, akan berseberangan atau malah bertolak belakang dengan gagasan-gagasan “mapan” para “ahli fikih” yang memiliki institusi keagamaan. Sebab, sebagaimana biasanya, mereka yang berlindung di balik institusi keagamaan itu, berpotensi memonopoli kebenaran dan menekan orang-orang yang berbeda gagasan dengan mereka (Nahwa Fiqh Jadîd, 1999).

Apa yang ditorehkan Al-Banna itu dibuktikan Al-Baghdadi dengan contoh konkretnya. Menurutnya, negara-negara Muslim adalah deretan negara yang paling girang mengusir para pemikir, periset dan akademisi. Bagi dia, aliran-aliran keagamaan berusaha menyiksa setiap pemikir yang liberal. Ironisnya, masyarakat Barat menampung mereka yang tertindas itu, untuk kemudian kita berbalik menuduh Barat melakukan konspirasi terhadap Islam. Padahal, aliran keagamaan, dengan logika keras dan terbelakangnya, lebih menyiksa Islam itu sendiri. Al-Baghdadi mengingatkan, persemaian Islam di Barat, bukan hanya buah militansi juru dakwah Islam di sana, tapi juga akibat tidak langsung dari iklim kebebasan berekspresi yang sudah terkonsolidasi dengan baik.

Kritikan Al-Baghdadi di atas tentu pahit adanya. Orang pun mungkin akan yakin, kalau Al-Baghdadi tidak sepenuhnya benar. Sebab, sudah barang tentu banyak faktor lain yang menyebabkan terusirnya para pemikir dari negeri Islam, selain tekanan konservatifisme pandangan keagamaan. Namun, kritik itu menemukan relevansinya sebagai peringatan agar agama tidak secara semena-mena digunakan sebagai penghalang penyemaian ilmu pengetahuan dan kebebasan berekspresi. Dalam konteks ini, aliran-aliran keagamaan betul-betul ditagih tantangan: bagaimana memberi garansi, bahwa ideal Islam yang menjunjung tinggi akal, pengetahuan dan kebebasan, dapat bermakna dalam sebuah masyaratak Islam dengan ragam-ragam alirannya. Semoga saja!

Novriantoni

No comments: