Mahasiswa Cairo yang menjadi tokoh utama Ayat-Ayat Cinta itu mungkin tidak sepenuhnya manusia. Patut diperiksa, di dalam sel-sel tubuhnya mungkin terkandung unsur-unsur kemalaikatan yang cukup pekat. Ketegangan yang minimum antara unsur “yang malaikati” dan “yang manusiawi” dalam diri Fahri itulah yang tampaknya ingin terus digali Habiburrahman El Shirazy dalam novelnya yang laris-manis ini.
Setelah tuntas membacanya, saya membayangkan Fahri seperti sosok sahabat Nabi nan rupawan, Dihyah al-Kalabi, yang badannnya sering dipinjam malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu-wahyu ilahi. Dan di sepanjang kisah novel ini, Fahri memang seperti al-Kalabi: terus saja menyampaikan firman ilahi ataupun sabda Nabi. Pesan Islam yang dilontarkannya pada umumnya halus dan santun, tapi di beberapa bagian terlalu vulgar dan verbal. Tapi para pembaca fanatik novel ini mungkin terlanjut mencari jenis novel yang agak berkhotbah. Atau, sekurang-kurangnya berguna untuk “pembangunan jiwa”.
Kemampuan El Shirazy menggambarkan setting
Bila merujuk Abaza dan pengalaman saya belajar di
Saya harus mengatakan bahwa figur Fahri dan kawan-kawan satu flatnya, serta beberapa orang yang disebutkan di dalam novel ini, hanyalah salah satu corak dan ringkusan dari potret mahasiwa Kairo yang amat beragam. Dilihat dari kenyataan sosio-kultural dan intelektual mahasiwa Cairo yang berjumlah ribuan orang, sosok Fahri tak lebih dari ungkapan tentang seorang “mahasiswa Cairo yang sepatutnya” menurut preferensi pengarang novel ini, “bukan mahasiswa yang seadanya”.
Tapi tidak berarti cerita tentang mahasiswa
Sekali lagi, Ayat-Ayat Cinta bermain-main dengan unsur yang manusiawi dan yang malaikati pada sosok Fahri. Pergulatan Fahri di hampir seluruh isi novel ini tidak jauh-jauh dari ketegangan yang minimum di antara dua unsur itu. Ujung dari kisahnya pun gampang dikira: unsur yang malaikati pada akhirnya akan menang jua. Jika kebenaran sudah tiba, kebatilan pasti akan sirna. Itulah mungkin esensi dari novel yang memang diabdikan untuk berdakwah ini. Lika-liku dari kisah, tak lebih dari “alat” untuk menyampaikan pesan yang sudah ditetapkan dengan begitu jelas sejak dari awal kisah.
Padahal, kebanyakan mahasiswa
Tapi Fahri memang beda. Alih-alih tergoda iman oleh empat gadis jelita lintas negara yang terpincut eloknya tutur-kata dan tindak-tanduknya dalam waktu yang sama (Nurul, Maria, Aisha, Noura), Fahri justru lolos ujian dan memenangkan semua pertarungan melawan gejolak masa muda. Ia tidak berada di pihak yang mendamba, tapi selalu saja ia didamba. Memang ia tidak memiliki semua, tapi ia mendapatkan tiga hati yang merana. Mungkin itu hanya Fahri yang bisa, tidak mahasiswa
Tak banyak mahasiswa
Mungkin ada saja dua-tiga sosok mahasiswa
Tapi tak apalah. Tetap ada beberapa hal yang membangakan dari Ayat-Ayat Cinta. Ini novel yang sedari awal hendak berdakwah, dan dakwah itu sedang mencari formula di tengah banyak cara yang tersedia dan perlu dicoba. Dan ada beberapa hal mendasar tentang mahasiswa
Moderasi Islam itu terasa dari cara pandang Fahri dalam beberapa perkara. Misalnya bagaimana beliau ini—walau sangat kentara apologetis—menjelaskan soal kedudukan perempuan di dalam Islam, soal cadar, soal poligami, dan soal etika berhubungan dengan orang non-muslim. Memang inklusif saja. Di samping itu, corak pemahaman Islam yang lebih ketat pun, sesungguhnya sangat menghantui Fahri. Untuk menolak berjabatan tangan dengan lawan jenis, Fahri harus berkhotbah panjang-lebar. Begitu juga menolak ajakan dansa. Untuk membantu Maria yang sekarat, panji-panji formalisme agama pun lebih dulu harus ditegakkan.
Akhirnya, saya tersadar bahwa ini hanyalah novel belaka. Penulis novel selalu bisa mengelak dari ulasan seperti ini. Tak apa. Mudah-mudahan aku pun kecipratan citra luhur mahasiswa
Novriantoni Kahar, Alumnus Universitas al-Azhar,
No comments:
Post a Comment