Monday, May 12, 2008

Islam Tanpa Fatwa Majelis Ulama

Resensi Buku
(sebelumnya dimuat di Majalah Tempo, edisi 5-11 Mei 2008)


Judul : Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini

Penulis : Irshad Manji

Penerjemah : Herlina Permata Sari

Penerbit : Nun Publisher, Jakarta

Cetakan : Pertama, April 2008

Tebal : 342 halaman


Jika di Arab Saudi, Pakistan, Afganistan, dan Nigeria, praktik Islam yang keras—Irshad Manji menyebutnya ”Islam padang pasir”—masih mendominasi karena kolaborasinya dengan tribalisme, secara sosiologis itu bisa dimengerti walau tak perlu terus dibiarkan. Tapi bagaimana mungkin itu berhasil diekspor ke Eropa dan Amerika Utara? Bagaimana dengan Asia Tenggara?

Itulah fakta yang tidak terlalu baru tapi cukup mencengangkan. Di Toronto, Kanada, Manji menyaksikannya. Ia tersentak: “Aku merasa mual. Apapun budaya di tempat kaum muslim hidup, baik budaya pedesaan maupun budaya digital, dan apapun generasinya, …Islam muncul sebagai sebuah agama tribal yang mengkhawatirkan. Kita memang memerlukan reformasi. Sungguh!” (hal. 74).

Manji menilai, perkembangan Islam dewasa ini bukanlah seperti pesawat yang terbang menuju zona aman toleransi dan hak-hak asasi manusia. Pesawat Islam telah dibajak! Kini ia terbang ke arah sebaliknya. Siapa yang membajaknya? Menurut Manji, dana petrodolar betul-betul sukses mengampanyekan corak Islam padang pasir agar diterapkan di banyak kawasan negeri muslim.

Proyek itu berhasil di Afganistan, Sudan, dan Pakistan. Manji pun kuatir arus itu merambah Asia Tenggara. “Budaya-budaya lokal diabaikan di daerah-daerah seperti Indonesia dan Malaysia, karena dianggap tak cukup islami (maksudnya, tidak cukup Arab),” kata Manji. Bagi Manji, “mereka yang jauh dari padang pasir secara umum tidak menentukan arah Islam dewasa ini. Arab Saudilah yang menentukan” (hal. 227).

Manji mungkin terlalu menggeneralisasi dan kurang akurat dalam soal ini. Tapi jikapun kurang akurat, rasanya tak mengapa mengaggap itu sebagai lonceng peringatan. Itu sebabnya, relevan mempertanyakan apa yang dilakukan kelas menengah di tiap negara muslim dalam membendung wabah global Islam jenis ini.

Di Pakistan, “kebanyakan kelas menengahnya membiarkan diri mereka ikut tenggelam ke dalam arus fundamentalisme yang kejam” (hal. 202). Mereka menghamparkan karpet merah untuk ekstremisme sembari mencampakkan Islam toleran yang digariskan pendiri negara mereka, Ali Jinnah. Hasil dan korbannya pun nyata.

Makanya, Manji tak habis pikir. Bagaimana mungkin umat Islam non-Arab yang 87 % harus terus menerus inferior dan menjadikan diri mereka satelit dari corak Islam-Arab yang 13 % saja dari total populasi muslim dunia? Di Indonesia, ironi itu kini nyata dari sikap Majelis Ulama Indonesia dan banyak kelompok Islam yang begitu peduli terhadap fatwa Saudi dan negara-negara OKI dalam perkara Ahmadiyah.

Padahal, jika lempang mengikuti konsideran Saudi, akan banyak hal yang haram dan dilarang di Indonesia. “Kelompok Syiah dalam ajaran resmi Wahabi, sah untuk dilenyapkan karena dianggap sebagai buah dari konspirasi Yahudi” (hal. 233). Apakah ormas-ormas Islam garis keras dapat hidup bebas di Indonesia jika kita konsisten menjiplak Saudi dan negara Arab lainnya?

Untuk itu, muslim Indonesia mesti bangga dengan corak Islam warna-warni kita, sembari menyatakan sikap ini: Berhentilah mendikte kami soal “Islam yang benar”, Syekh! Ini negara demokrasi; jangan lagi ajari kami bagaimana cara memperlakukan Ahmadiyah!

Pandangan Manji tentang reformasi Islam cukup unik walau agak sloganistis. Menurutnya, “Reformasi bukanlah memberitahu kaum muslim awam tentang apa yang tidak boleh dipikirkan. Reformasi adalah menggugah satu juta pemeluk Islam yang cerdas untuk berpikir” (hal. 83). Itulah yang dia harapkan dari umat Islam saat ini.

Kemampuan dan kepiawaian dalam melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang Islam itulah yang menjadi kekuatan utama dan pesona buku ini. Di hadapan pertanyaan-pertanyaan kritis Manji, ulasan-ulasan tentang Islam dari figur-figur Islam yang tercerahkan sekalipun akan tampak apologetis, konyol, dan tidak berdasar.

Pertanyaan-pertanyaan brilian itu ditunjang riwayat hidup Manji yang menolak untuk menjadi ”robot religius” sejak dini. Dari umur belasan tahun, ia sudah terasah untuk berpikir kritis. Ia kagum terhadap ijtihad, etos berpikir bebas dalam Islam. Konsep itulah yang ia jabarkan dengan cara lebih praktis, jauh dari baluran teori. Misalnya dalam bentuk saran pemberdayaan ekonomi perempuan.

Menurut Manji, ”Operasi ijtihad dimulai dengan memberdayakan lebih banyak perempuan muslim untuk menjadi wirausahawan,” (hal. 248). Manji percaya, perdagangan dapat menumbuhkan independensi pada kaum perempuan serta membentuk kontrak-kontrak sosial yang lebih cair. Dia pun menegaskan bahwa ”media massa harus menjadi salah satu ujung tombak lain dari operasi ijtihad” (hal. 256).

Pada titik ini, tidak kita temukan teori ijtihad yang mendalam dari Manji. Mungkin dia sudah tak terlalu percaya akan teori-teori yang njelimet tentang ijtihad. Sebab ijtihad pun sesungguhnya sudah lama membeku dan ”itulah yang tepat diinginkan kaum fundamentalis” (hal. 228). Karena itu, syarat ijtihad Manji amat longgar. Kita hanya butuh lebih peka akan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. “Dengar, kita tidak harus menjadi ulama untuk bisa berijtihad. Yang harus kita lakukan adalah mengekspresikan secara terbuka pertanyaan-pertanyaan kita mengenai Islam” (hal. 124).

Bagi Manji, “Islam memiliki potensi untuk menjadi agama yang bijaksana dan manusiawi. Adalah kita umat Islam yang harus memiliki keberanian untuk berubah” (hal. 31). Tepat pada dorongan agar Islam beradaptasi dengan hal yang baik-baik itulah inti dari kritik Manji terhadap Islam di buku ini. “Kalaupun Islam memang fleksibel, maka ia mestinya bisa beradaptasi dengan hal-hal yang baik, dan bukan untuk hal-hal yang buruk, bukan?” (hal. 63).

Saya membayangkan, Islam yang diinginkan Manji adalah Islam tanpa fatwa majelis ulama. Jika banyak orang yang sudah berpikiran kritis dan cerdas seperti Manji, bukankah kita tak perlu lagi lebih banyak fatwa?! (Novriantoni)

Kaum Moderat adalah Bagian dari Persoalan

Cerdas, kritis dan lugas. Itulah kesan yang tertangkap dari figur Irshad Manji, melalui memoarnya yang menjadi bestseller internasional yang cukup kontroversial: The Trouble with Islam Today. Akhir bulan April 2008 lalu, Manji berkunjung ke Jakarta dalam rangka peluncuran bukunya yang telah dialihbahasakan ke bahasa Indonesia dengan judul: Beriman tanpa Rasa Takut terbitan Nun Publisher. Jaringan Islam Liberal (JIL) memanfaatkan momen kunjungannya tersebut dengan mengundangnya untuk berdiskusi di Utan Kayu dengan topik: “Apa Yang Salah Dengan Islam Kini?”

Tak jauh berbeda dari memoarnya, Manji ternyata memang merupakan seorang Muslimah yang kritis, pemikir yang brilian, dan pembicara yang memikat dan penuh semangat. Di awal diskusi, Manji bersikap demokratis. Ia memberi para peserta diskusi pilihan agar ia memulai agenda dengan presentasi kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab. Atau agar dari semula langsung dimulai tanya jawab mengingat garis besar proposal yang diajukannnya mengenai pembaruan Islam, ijtihad atau pemberdayaan nalar, serta penafsiran Alquran yang sesuai dengan kehidupan plural yang modern, kurang lebih serupa dengan apa yang diyakini dan diperjuangkan oleh Jaringan Islam Liberal selama ini.

Tawaran tersebut segera disambut dengan pertanyaan dari seorang diskusan tentang kemungkinan pembaruan dalam Islam. Manji, yang akibat pemikiran Islam progresifnya kerap memperoleh kecaman keras bahkan ancaman fisik, mengatakan bahwa di satu sisi, dahaga akan penyegaran Islam sangat dirasakan oleh kaum Muslim, terutama mereka di negara-negara Timur Tengah yang menjadi saksi nyata atas berlangsungnya berbagai jenis pelanggaran hak asasi manusia atas nama agama dan kehormatan. Namun di sisi lain, anugerah kebebasan berpendapat yang diperoleh kaum Muslim di negara-negara maju secara taken for granted, belum dimanfaatkan secara maksimal karena masih adanya perasaan takut di kalangan Muslim untuk mengkritik agamanya. Padahal, lanjut Manji, yang perlu dikritisi bukanlah “iman”, tapi “dogma”.

Manji pun menyimpulkan bahwa apa yang diajarkan padanya selama di madrasah, antara lain bahwa perempuan lebih rendah daripada lelaki atau bahwa kaum Yahudi itu licik, culas dan serakah, tak lain merupakan dogma, dan bukan iman. Sebagaimana dogma-dogma lainnya, baik itu sosialis, kapitalis, ateis, ataupun feminis, dogma ini pun sangatlah lemah, rigid dan silau di bawah terpaan pertanyaan. Tak mengherankan jika setelah mengajukan begitu banyak pertanyaan kritis terhadap ustadnya, Manji terpaksa dikeluarkan dari madrasah pada usia empatbelas tahun. Sambil bergurau Manji mengatakan bahwa baginya itulah bukti nyata akan keberadaan Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Dalam diskusi di Teater Utan Kayu yang dihadiri oleh berbagai kalangan dari beragam latarbelakang ini, Manji menegaskan bahwa meskipun secara teori Nabi telah bersabda akan tiadanya otoritas agamawan (ruhbaniyah) di dalam Islam—tidak seperti Katolik misalnya yang mengharuskan pengikutnya tunduk terhadap otoritas gereja dan paus dalam soal agama daripada menafsirkannya secara independen—tapi kenyataan berbicara lain. Di dalam Katolik ataupun agama selain Islam, seseorang bisa menjadi pemberontak. Ia mungkin akan dikecam, diprotes ataupun dipojokkan, namun ia tidak perlu khawatir akan kehilangan nyawanya. Manji sendiri merasa perlu memasang kaca anti peluru pada rumahnya di Kanada dan melakukan pemeriksaan menyeluruh pada kendaraan pribadinya dikarenakan ancaman pembunuhan yang bertubi-tubi terhadapnya. Hal ini tentu mengingatkan kita pada fatwa mati terhadap Ulil Abshar-Abdalla, akibat artikel kontroversialnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam” beberapa tahun lalu.

Mengenai fenomena menjamurnya kekerasan dan terorisme atas nama Islam, Manji menilai bahwa pembedaan antara Muslim ektrimis dan moderat tidaklah begitu berguna. Baginya, alih-alih memecahkan masalah, kaum Muslim moderat sendiri adalah bagian dari permasalahan. Hal itu karena meskipun mengecam terorisme, mereka sama sekali tidak mengakui adanya peran agama dalam kasus tersebut. Ini menurutnya merupakan bentuk ketidakjujuran karena para teroris pendamba surga dan kesyahidan itu jelas-jelas mengutip firman Allah untuk membenarkan aksi mereka.

Karena itu, Manji menegaskan bahwa ia sama sekali bukanlah seorang Muslim moderat. Ia adalah seorang Muslim reform-minded yang mengakui adanya ayat-ayat kekerasan dalam Alquran yang perlu ditafsirkan ulang agar tidak lagi terperangkap dalam konteks abad ketujuh Masehi. Bukankah Alquran sendiri lebih banyak berbicara mengenai pentingnya berpikir, menganalisa dan merenung daripada tentang apa yang benar dan apa yang salah?

Dalam persoalan Ahmadiah misalnya, Manji menyatakan bahwa kelompok Islam yang menghujat, mengkafirkan, bahkan menyerang kelompok pengikut Mirza Ghulam Ahmad itu sesungguhnya telah mengambil alih peran Tuhan, karena sejatinya hanya Tuhanlah yang mengetahui kebenaran hakiki dan berhak menghakimi keimanan hamba-Nya. Meskipun Manji menyatakan diri sebagai seorang pluralis, ia sama sekali bukanlah relativis. Seorang pluralis akan menghargai beragam perspektif dan cara pandang tentang kebenaran, ujarnya, sementara seorang relativis akan mendukung apa saja karena sebetulnya ia tidak memiliki pendirian apapun.

Manji sangat mengagumi Indonesia dengan Pancasilanya, yang menurutnya sama persis dengan konstitusi Amerika Serikat yang menjunjung tinggi prinsip kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Ia optimis bahwa mentalitas “kita lawan mereka” yang hinggap di kebanyakan negara Timur Tengah, akan segera tergantikan oleh pemikiran Islam pluralistik a la “Bhineka Tunggal Ika” yang telah sejak lama dianut oleh Indonesia. Bukankah jumlah Muslim Indonesia jauh lebih banyak daripada jumlah total Muslim di seluruh kawasan Timur Tengah? Karena itu di sela-sela presentasinya yang berlangsung hangat dan menarik, ia mengajukan pertanyaan tentang strategi apa yang akan ditempuh kaum Muslim Indonesia untuk mewujudkan Indonesia sebagai teladan pluralisme bagi dunia Islam.

Luthfi Assyaukanie, koordinator Jaringan Islam Liberal yang malam itu bertugas selaku moderator, menjelaskan pada Manji bahwa kaum Muslim Indonesia saat ini menghadapi tantangan berupa pengaruh Wahabisme. Manji, yang terjemahan bukunya ke bahasa Arab, Persia, dan Urdu dimuat di websitenya www.irshadmanji.com mengingat resistensi terhadap bukunya menguat di negara-negara pengguna bahasa di atas, menyebut fenomena tersebut sebagai “imperialisme budaya Arab”. Imperialisme itu berupa mentalitas tribal padang pasir yang mencakup prinsip kehormatan yang mendudukkan perempuan sebagai properti lelaki. Dan justru karena ancaman itulah, menurut Manji, urgensi menghidupkan kembali nilai pluralisme menemukan momentum kritisnya.

Akhirnya, forum yang tanpa terasa telah berlangsung hampir dua jam tersebut sayangnya harus segera diakhiri, mengingat Manji harus segera bersiap-siap untuk berangkat ke Yogyakarta. Semoga harapan tulus Manji pada bumi pertiwi ini menjadi kenyataan… [Lanny Octavia].