Tuesday, February 12, 2008

Melarang Ahmadiyah: Apa Kata Dunia?

Keputusan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) Selasa lalu (15/1/08) untuk tidak melarang ajaran dan keberadaan Ahmadiyah di Indonesia sudah tepat dan sesuai dengan tradisi negara yang demokratis dan beradab. Memang keputusan itu bersifat sementara karena Pakem masih memberi waktu tiga bulan bagi Ahmadiyah untuk menyosialisasikan 12 Pokok Ajarannya yang diumumkan sehari sebelumnya. Pada titik ini, Jamaah Ahmadiyah Indonesia tetap harap-harap cemas akan selalu diinteli oleh lembaga warisan Orde Baru itu.

Tapi itu sudah cukup baik jika menimbang maslahat dan mudarat yang mungkin muncul sebagai implikasi dari sebuah keputusan. Bayangkan kalau Pakem mengambil keputusan sebaliknya dengan melarang Ahmadiyah. Dengan bekal fatwa sesat Majelis Ulama Indonesia (MUI) saja unsur-unsur yang ekstrem di dalam masyarakat Islam tepat giat melakukan demonstrasi dan intimidasi terhadap Ahmadiyah. Apatah lagi bila Pakem pun menguatkan keputusan MUI. Mereka akan mendapatkan dua amunisi sekaligus: dari agama dan dari negara.

MUI dan orang-orang yang selama ini menentang Ahmadiyah memang pantas kecewa. MUI yang di era reformasi ini seolah-olah ingin menjadi lembaga superbody juga layak protes karena tidak diikutsertakan dalam rapat Bakor Pakem. Tapi apa pentingnya lagi meminta pendapat MUI dalam soal Ahmadiyah bila pendapatnya seperti meminta petuah penggemar durian tentang lezat tidaknya buah durian? Lebih dari itu, MUI berkali-kali sudah terbukti sebagai lembaga anti-demokrasi dan kebebasan berekspresi di saat-saat Indonesia sedang tertatih-tatih menapaki jalur demokrasi.

Karena itu, Pakem pun tidak perlu menghiraukan konsideran Pakistan, Arab Saudi, Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan negera-negara non-demokratis lainnya dalam menyelesaikan kasus Ahmadiyah. Pakem harus mantap dan tegas mengambil jalan Indonesia dan jalan negara-negara beradab lainnya dalam memutuskan kasus sekte-sekte minoritas agama. Jalan itu berdiri di atas prinsip ini: selagi suatu kelompok tidak melakukan tindakan-tindakan kriminal dan membahayakan eksistensi negara, mereka adalah warga negara yang bebas menjalankan keyakinan mereka dan berhak mendapat perlindungan yang setara oleh negara dan di muka hukum.

Kalau akidah Ahmadiyah dinilai telah menyimpang oleh MUI, atau katakanlah sesat dari akidah kebanyakan umat Islam, urusannya tentu bukan lagi pada negara. Mereka tentu berdosa di muka Allah dan cukuplah Allah saja yang akan menghukum mereka di akhirat kelak. Negara yang demokratis dan berusaha menciptakan iklim masyarakat terbuka tidak selayaknya mencampuri urusan pahala dan dosa warga negara.

Nah, perkaranya tinggal meredakan emosi unsur-unsur yang ekstrem di masyarakat Islam yang dalam lima tahun terakhir sangat agresif ingin melenyapkan Ahmadiyah. Tidak mudah memang, tapi konsekuensi-konsekuensinya memang jauh lebih sederhana daripada melarang Ahmadiyah. Mestinya, di sinilah peranan MUI dapat diharapkan bila ingin menjadi unsur penting dalam memperjuangkan demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia. MUI mungkin bisa menyeru mereka untuk menghentikan tindakan-tindakan pengrusakan sembari menganjurkan umat untuk tidak mengikuti ajaran Ahmadiyah yang dianggap sesat dan menyesatkan.

Sesederhana itu, dan tidak perlu terus merengek-rengek agar negara mengambil keputusan-keputusan yang tidak sesuai dengan demokrasi dan tradisi negara yang beradab. Peran seperti itulah yang selama ini dimainkan oleh tokoh-tokoh seperti Gus Dur, Gus Mus, Syafii Maarif, dan para pejuang demokrasi dan hak asasi manusia lainnya. Mereka konsisten menjadi pelita penerang hati dan pikiran umat, bukan menjadi kompor dan pembenar tindakan-tindakan tidak terpuji yang dilakukan umat.

Kalau pun MUI ingin lebih memupuk rasa percaya diri umat Islam kebanyakan dalam mengimani keunggulan Nabi Muhammad sebagai nabi penutup, MUI pun bisa katakan: datangkan seribu Ghulam Ahmad, Nabi Muhammad tak akan pernah berkurang keagungannya! Dia agung dan tidak akan ada yang dapat menyetarai keagungannya. [Novriantoni]