Wednesday, January 16, 2008

Akhirnya Jadi Juga...

Beberapa tahun lalu, sebelum blog semakin mewabah & menjangkiti umat manusia, daku sempat membangun website pakai frontpage, bekal dari pelatihan kilat IT di VEDC Malang (2001). Isinya sih cuma foto-foto sama biodata yang sama sekali nggak penting, namanya juga coba-coba... Kebetulan ada seorang kawan yang sudi dan berbaik hati menghiasnya dengan versi flash, jadi ciamiikk! Sayang, web tersebut (www.vieya.com) terpaksa mundur dari peredaran karena yang tadinya free jadi musti bayar... :(

Pupus sudah cita-cita memiliki website personal, apalagi waktu itu keburu kuliah lagi, kerja & getting merried. Tahun 2005, mulai belajar nge-blog tapi masih belum pede. Apalagi ngeliat blog-blog yang udah pada eksis jauh sebelumnya, berbobot, atraktif, poko'e la mantapo alias mantab bang-get! Minder deh....

Walhasil blog tersebut sempat 'koma' beberapa saat terutama sejak hamil & punya baby... wah, jangankan nge-blog, baca serius aja nggak sempat (kayaknya keterusan sih sampe sekarang hehehe), apalagi nulis gitu (yah boleh dunk sedikit berapologi).... Sampai di penghujung tahun 2008, kepikiran punya resolusi yang lebih bermanfaat buat kemaslahatan umat (umatan wahidatan maksudnya, diri sendiri) : mulai nge-blog. Harus dimulai dari yang kecil, dari diri sendiri, dan mulai saat ini juga! (with special thanks to aa Gym) :)


Jadi mengapa nge-blog?

Yang pertama, (dengan nada ‘Tombo Ati’ yang dilagukan Opick) untuk mengoleksi tulisan –terutama mas Novri punya- yang berserakan di berbagai media. Doi nyimpen sih di PC-nya, tapi kan anything can happen to it, kena viruslah, ke-delete lah, ilang karna digondol maling lah (yang ini mah naudzubillah!) dan yang pasti semua itu tidak bisa diakses oleh lebih banyak pihak, dan dengan demikian kurang bermanfaat. Kan sayang gitu loh…. Di sisi lain, mengharapkan do’i telaten merawat blognya sendiri, sama aja dengan mengharap kucing bertanduk, boro-boro…

Yang kedua, (masih dengan nada tombo ati) ada banyak peristiwa yang sepertinya layak direkam, sekedar untuk dikenang (terutama yang manis-manis), atau untuk diambil hikmahnya (yang pahit-pahit misalnya). Kebetulan, sejak 10 tahun terakhir ini daku tak lagi terbiasa menulis diari, tepatnya sejak menginjakkan kaki di Islamabad. Padahal dalam satu dasawarsa ini banyak banget episode yang cukup menarik, kadang lucu, dan tak jarang bikin haru-biru (kenapa nggak item aja sekalian yah?). Masa-masa kuliah dan berorganisasi di Islamabad, kemudian kuliah lagi sambil beraktivitas di Jakarta, petualangan ke Malaysia, Australia, Arab Saudi, menikah, hamil, melahirkan, merawat baby wah…. I’ve missed so many thing!

Still, for me it’s always better late than never. Ragu itu memang masih ada, minder apalagi. Is it worthed enough to write such trivial accounts? Is it well written? Will it be laughable? Eventually, I decide to do it just for the sake of myself. At least I have a little angel who will be proud knowing everything about her mom, her dad, and most importantly: about her!

And that is too precious to be wasted, too valuable to be forgotten, too beautiful to be hidden….

(Lanny)

Setetes Embun Anugerah


Begitu hamil, terutama begitu tahu bahwa ia bakal jadi a baby girl, kita berdua udah heboh memikirkan nama. Well, I must admit that it is ME who really thoughtful about her name. Sebenarnya di kampungnya, mas Novri kerap jadi rujukan sanak saudara dan kerabat dalam hal nama-menamai bayi. Tapi entahlah, it often doesn’t work for your own behalf.

Sejak awal, kita ingin nama itu punya makna. Maklum, Novriantoni dan Lanny Octavia tak berarti apa-apa dan hanya menunjukkan bahwa yang pertama lahir di bulan November dan yang kedua bulan Oktober. That’s it. Shakespeare boleh saja mempertanyakan: what is in a name? Tapi bagiku nama sama pentingnya dengan penampilan, harus indah, meyakinkan dan bermakna. Nabi aja berpesan supaya setiap orangtua menamai anaknya dengan nama yang baik, bahkan mengganti nama mereka yang bermakna negatif. Sejatinya nama juga merupakan do’a.

Lalu muncullah NAYLA. Dia bisa juga dieja secara NAILA, dan bisa merefleksikan Novriantoni (NAI) dan Lanny (LA). Dalam bahasa Arab, Naila berarti pemberian, karunia, atau anugerah, dari naala-yanaalu-nailun. Masih dalam wazan yang sama ada NAWAL, seorang penyanyi Lebanon nan rupawan yang jadi pujaan mahasiswa Kairo. Cuman di Indo kan nama itu masih aneh, bisa-bisa diplesetin jadi BAWAL lagih….

Kemudian KATHRYN NADA. Kalimat Arab yang sebenarnya sih QATHRUNNADA, nyambung gitu. Tapi di Indo, banyak nama Arab yang ditulis terpenggal seperti Nurul Arifin seharusnya Nur al-Arifiin, atau Abdul Aziz seharusnya Abd al-Aziz. Qathrunnada sendiri dalam bahasa Arab berarti setetes embun. Tapi kok kayak nama grup nasyid yah..... :) Mengingat kita juga pengen nama itu lebih punya international taste maka jadilah KATHRYN, yang bisa juga dieja Katherine, Catherine, Katrina dsb… yang berarti suci dan murni. Di dunia selebritas ada Catherine Zeta Zone, Katherine Hepburn, Catherine Wilson…yang semuanya sedap dipandang mata alias qurratu a’yun (yang ini jadi nama keponakan, dan dipanggil ‘ratu’ heheh). NADA ini tentu bahasa Indonesia, laiknya gita. Sebuah lagu nan merdu pasti terdiri dari serangkaian nada toh?

Jadilah Anugerah Setetes Embun atau Setetes Embun Anugerah. Karena begitulah kehadiran si malaikat kecil ini. Sejak menikah di hari valentine 2004 (awal), tanda-tanda positif akan keberadaannya tak kunjung datang hingga bulan Ramadhan 2005 (akhir). Kevakuman selama hampir 2 tahun itu tentu menimbulkan keresahan tersendiri (gue normal kagak sih?) dan teror dari sanak saudara maupun handai taulan (pakai kontrasepsi nggak? periksa ke dokter deh! coba alternatif gih... dst). So, vonis positif dokter di RSB YPK Menteng, terutama kelahirannya di RSB Permata Bunda Malang, tak pelak bagaikan embun pagi yang menetes di tengah gersangnya gurun pasir…..

Dan begitu jualah harapan kami untuknya, semoga malaikat kecil kami kelak menjadi embun penyejuk bagi dunia, anugerah terindah untuk semesta…… Amen. (Lanny)



Thursday, January 10, 2008

Jihad ala Bushido

20/09/2007

Beberapa waktu lalu, empat belas organisasi masyarakat Islam, antara lain Muhammadiyah dan NU, menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk berjihad melawan para koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hingga mereka mengembalikan seluruh kerugian negara yang ditimbulkan. Terlepas dari kontroversi yang muncul setelah dijadikan iklan, langkah tersebut cukup menarik dan patut dipuji. Itu dikarenakan selama ini penanganan hukum bagi tindak korupsi memang dinilai masih setengah hati, bersifat tebang pilih, tidak pernah tuntas dan kurang mendapat tindakan tegas dari aparat. Di sisi lain, deklarasi tersebut menunjukkan kecaman para tokoh Islam pada pelanggaran moral serius berupa penyelewengan kekayaan negara yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, sebagai bagian dari amr ma’ruf nahi munkar.



Lazimnya, para ulama ataupun tokoh Islam hanya lantang mengkritisi pelanggaran moral dengan definisi yang sempit. Sebagian lainnya bahkan tidak segan-segan menindak langsung dengan menghancurkan tempat-tempat yang diklaim sebagai sumber perbuatan amoral dan maksiat seperti kafe, klab malam, perjudian, pelacuran dan sejenisnya. Kegiatan yang terutama dilancarkan demi menjaga kesucian bulan Ramadhan tersebut tak jarang bersifat anarkis sehingga merugikan pihak-pihak tertentu. Di sisi lain, mereka sama sekali tidak mengambil sikap apapun terhadap persoalan korupsi yang semakin mengakar sekaligus menggurita mulai dari soal pengurusan KTP di tingkat kecamatan hingga kasus-kasus yang melibatkan Bulog di tingkat nasional. Karena kerap ditolerir, tak mengherankan jika tokoh agama sendiri pun sampai terperangkap jeratan korupsi dan terpaksa mendekam di bui.



Cukup miris jika membandingkan fenomena korupsi di negara relijius dengan negara sekuler. Menurut Corruption Perceptions Index (CPI) tahun 2006, peringkat terburuk justru diduduki oleh negara yang cukup relijius seperti Indonesia, Pakistan, Sudan dan Iraq. Sementara sejumlah negara sekuler yang dianggap abai terhadap agama relatif bersih dari korupsi. Di antaranya adalah Finlandia, Denmark, Singapura, Swedia, Swiss, Australia, Belanda dan negara-negara ‘kafir’ lainnya. Mereka benar-benar menyadari bahwa korupsi adalah momok yang dapat merusak banyak sendi sosial-ekonomi dan pada akhirnya menghambat pertumbuhan bangsa.



Di negara saudara tua kita, Jepang, Menteri Pertanian Norihiko Akagi yang baru dua bulan menjabat mengundurkan diri pada bulan Agustus kemarin karena didakwa lalai melaporkan biaya kantornya. Pendahulunya, Toshikatsu Matsuoka, melakukan bunuh diri pada bulan Mei lalu karena terlibat skandal keuangan. Serangkaian skandal korupsi tersebut pada akhirnya memaksa Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe untuk mengakhiri masa jabatannya yang belum genap setahun. Hal tersebut tak lain dikarenakan masyarakat Jepang masih berpegang teguh pada kode etik kepahlawanan samurai yang dikenal dengan Bushido, yang menjunjung tinggi moralitas, kebajikan, keberanian, dan kejujuran.



Padahal dalam Islam, secara normatif al-Quran tak pernah jemu menganjurkan umatnya untuk selalu menegakkan keadilan, mengentaskan kemiskinan dan mewanti-wanti mereka untuk tidak mengkhianati amanah atau menyalahgunakannya. Nabi Muhammad sendiri pun menolak mengampuni seorang perempuan dari Bani Makhzumiyah yang mencuri, dan mengatakan: “ Umat sebelum kalian telah ditimpa kehancuran dikarenakan apabila yang mencuri itu para elit mereka biarkan saja, namun apabila yang mencuri itu rakyat biasa mereka baru menegakkan hukum atasnya. Demi Allah, sekiranya anak kandungku Fathimah mencuri, maka aku akan sungguh-sungguh memotong tangannya.”



Nampaknya, reduksi pemaknaan agama sehingga lebih mementingkan kesalehan ritual daripada kesalehan sosial dapat menjawab ironi di atas. Selama ini, umat Islam terlalu menyibukkan diri dengan perhitungan pahala dan dosa individual, tanpa adanya kesadaran terhadap problem-problem sosial seperti kemiskinan, korupsi, penggusuran atau pengangguran yang berimbas langsung pada kemaslahatan umat. Bukankah Islam dilahirkan untuk membebaskan manusia dari pelbagai bentuk perbudakan dan eksploitasi? Bukankah Islam datang dalam rangka memperbaiki sistem sosial masyarakat yang timpang?



Pada Ramadhan kali ini, ada baiknya jika umat Islam kembali merenung dan mencerna secara mendalam bagaimana al-Qur’an kerap mengaitkan soal keimanan dengan perbuatan baik. Sebab, kesaksian iman tidak akan pernah memadai tanpa dibuktikan oleh implementasinya di dalam kehidupan sosial yang nyata. [Lanny]

Menegaskan Humanisme Islam






DALAM beberapa tahun terakhir, mata kepala kita amat sering menyaksikan macam-macam tindak kekerasan manusia atas manusia lain. Berbagai tindak kekerasan itu dengan sempurna mampu menegakkan supremasi horor di atas nilai-nilai perdamaian dalam kehidupan dan peradaban kemanusiaan secara umum.



Tindak pelenyapan fisik, jiwa, atau etos untuk bisa hidup secara damai dalam diri manusia terjadi berulang-ulang. Peristiwa itu tak hanya terjadi pada level nasional, tetapi lebih luas berskala internasional. Kasus peledakan bom yang meminta banyak nyawa manusia, misalnya, tidak hanya terjadi di Bali dan di Jakarta. Peledakan bom di Najaf, Baghdad, dan banyak tempat lain, sungguh telah menyayat-nyayat rasa kemanusiaan kita.



Namun, ironi segala ironi adalah ketika berbagai teror dilakukan atas nama agama atau sembari melibat-libatkan agama di dalamnya. Seperti kita saksikan, beberapa pelaku tindak teror mutakhir di negeri ini menggunakan simbol-simbol agama tanpa sungkan, bahkan tanpa rasa berdosa sama sekali. Senyum puas dibarengi fantasi tuntasnya misi suci agama (jihad) seakan meneteskan air cuka di atas luka kemanusiaan yang menganga.



Memang, banyak pihak tak rela, Islam diasosiasikan dengan tindak teror yang biadab seperti bom Bali. Hanya saja, banyak umat Islam terkecoh oleh simbol-simbol Islam yang diusung para pelaku teror. Tanpa sadar, mereka yang terkecoh telah digiring kalangan teroris pada sikap pembenaran tak langsung-paling tidak apologia-atas horor kemanusiaan itu. Sungguh sebuah ironi yang mendalam!



Melihat ironi sedemikian rupa, tepatlah kiranya mengutip apa yang pernah dikatakan seorang filosof humanis zaman klasik Islam, Abu Hayyan At-Tauhidi: "Al-insân asykala ’alaihil insân" (sungguh, manusia telah sengsara oleh manusia lainnya!). Lantas, mengapa ironi sedemikian rupa terjadi?



Kontribusi nalar teologis



Jawaban yang mudah untuk pertanyaan itu tentu dengan pola eskapisme, yaitu dengan mengatakan, itu terjadi-kurang lebih-karena para pelakunya tidak memahami ajaran agama atau memahami ajaran agama secara keliru. Dengan jawaban ini, praktis agama dan beberapa aspek bermasalah dalam doktrin yang dikandungnya terbebas dari kritik. Dengan begitu pula, agama tetap necis dan ortodoksi atas agama juga tetap terjaga secara sempurna.



Dalam buku Al-Fikrul Islâmy: Naqdun wa Ijtihâdun, pemikir Islam kontemporer asal Aljazair, Mohamed Arkoun, menggarisbawahi, dalam konteks beragama ada sebentuk nalar yang disebut dengan istilah nalar teologis (al-’aqlul aqâ'idy). Ciri terpenting nalar ini adalah kecenderungan yang amat memusatkan persoalan kepada Tuhan, pembahasan problem ketuhanan, sembari merendahkan dan memandang sebelah mata harkat dan martabat manusia dan problem kemanusiaan.



Sebuah contoh agak nyata dikemukakan Arkoun. Bagi seorang ilmuwan sosial yang terbiasa dengan pelbagai kajian humaniora (dengan begitu dia diharapkan bernalar humanis), kematian umat manusia-tak peduli yang durhaka sekalipun, apalagi dalam jumlah besar-mengandung makna sosial yang amat penting. Sementara seorang teolog melihatnya tak lebih sekadar peristiwa biasa. Bila yang tertimpa kematian tak wajar adalah umat di luar keyakinannya (entah secara mazhab pemikiran atau berbeda dalam aspirasi sosial-politik), mereka segera saja menanggapinya secara enteng dan ringan belaka.



Maka, tak heran bila Arkoun melakukan kritik pedas terhadap kalangan yang menganut nalar teologis, mulai dari yang klasik sampai modern. Menurut Arkoun, penganut nalar teologis tak jarang merupakan orang yang tidak peduli dengan problem kemanusiaan. Mereka selalu meletakkan problem lenyapnya nyawa manusia dalam kerangka di mana Tuhan sedang berkepentingan menghukum orang yang dimurkai (dan dimurkai para penganut nalar ini, tentunya).



Jika dicermati secara kritis, khususnya pada aspirasi hukum, mereka sebenarnya tersembunyi sebentuk nalar yang lebih mendahulukan sanksi yang bersifat represif (sampai tingkat hukum bunuh sekalipun) ketimbang sanksi yang bersifat restitutif atas pelaku kejahatan.



Dari teosentrisme ke antroposentrisme



Agak senada dengan Arkoun, pemikir asal Mesir, Hassan Hanafi, menjelaskan persoalan kemanusiaan ini dari sisi paradigma pemikiran keagamaan yang dianut individu ataupun komunitas tersebut. Hanafi mengkritik paradigma pemikiran dan penghayatan keagamaan yang dia sebut kelewat teosentris. Paradigma berpikir dan penghayatan keagamaan ini menganggap segala yang dikerjakan manusia adalah untuk Tuhan semata, sembari meniscayakan tersingkirnya nilai-nilai kemanusiaan. Mengabdi kepada Tuhan dalam bentuk ritual ibadah dipandang untuk kepentingan Tuhan itu semata. Padahal, Tuhan tidak berkepentingan atas ibadah manusia, justru manusialah yang butuh akan ibadah untuk kemaslahatan mereka sendiri.



Yang paling mengkhawatirkan dari paradigma pemikiran dan penghayatan keberagamaan yang teosentris ini adalah kenyataan bahwa penganutnya potensial untuk "dimabuk Tuhan". Dan, bila "mabuk Tuhan" sudah terjadi, tak jarang kita menyaksikan tindakan yang justru tanpa ampun melenyapkan umat manusia sendiri. Sadar akan potensi destruktif pola berpikir dan menghayati agama yang demikian, Hanafi mengusulkan agar kita lebih kuat lagi menekankan pola keberagamaan yang bersifat antroposentris; sebuah pola keberagamaan yang bertepa selira dengan umat manusia dan problem-problem kemanusiaan universal.



Untuk merealisasikan pola keberagamaan demikian itu, Hanafi menggagas perlunya kita keluar dari fase teosentris ketuhanan yang lama, menuju fase kemanusiaan. Peradaban Islam perlu keluar dari wawasan keberagamaan yang teosentris menuju peradaban yang antroposentris. Dalam peradaban yang teosentris, segala sesuatu diabdikan untuk Tuhan itu sendiri, sementara dalam peradaban yang antroposentris, peradaban ditujukan untuk setinggi mungkin mengangkat harkat dan martabat umat manusia. Peradaban selalu dibangun untuk kemanusiaan, bukan untuk Tuhan. Sebab, sebagaimana Gus Dur menyebut "Tuhan tidak perlu dibela", maka "Tuhan pun tidak butuh peradaban". Manusialah yang butuh memanfaatkan peradaban itu supaya bisa menangkap kebaikan Tuhan.



Hanya saja, jalan menuju peradaban kemanusiaan itu tidaklah lempang, mudah, dan mendatar. Untuk menuju peradaban kemanusiaan, kita membutuhkan semacam revolusi peradaban (tsauratul hadlârah) dari paradigma yang teosentris tadi menuju paradigma yang antroposentris. Tugas berat tersebut membutuhkan pemindahan kutub paradigma kita dari ilmu tentang Tuhan yang selama ini banyak kita kenal, menuju pelbagai ilmu humaniora, pengetahuan yang lebih dalam tentang umat manusia. Ilmu-ilmu ketuhanan yang dipelajari untuk Tuhan itu sendiri, di lingkungan pesantren misalnya, sudah saatnya direvisi agar lebih mempertimbangkan implikasinya bagi sisi-sisi kemanusiaan.



Perubahan orientasi mempelajari ilmu-ilmu tersebut dan pergeseran penekanan paradigmanya menjadi sangat relevan, apalagi di tengah persoalan kemanusiaan yang kita hadapi akhir-akhir ini. Pengajaran agama pada hakikatnya tidak pernah untuk agama itu sendiri. Agama selalu saja diperuntukkan demi mengangkat harkat dan martabat manusia. Agama yang dilaksanakan dengan tidak menghargai harkat dan martabat manusia, agamawan yang ringan hati ingin melihat lenyapnya jiwa manusia, sesungguhnya sudah menjauhkan diri dari nilai-nilai luhur dan universal dari agama itu sendiri. Sudah saatnya kita perlu menemukan kandungan nilai kemanusiaan yang terpendam dalam khazanah keagamaan yang kita punya.



Mempertegas sudut pandang humanisme agama adalah tugas semua umat beragama. Ini penting diupayakan agar umat beragama tidak menjauhkan diri dari agama itu sendiri.[Novriantoni]

Hijrah Demi Kebebasan


10/01/2008

Setiap 1 Muharram, umat Islam merayakan tahun baru Hijriyah. Perayaan ini memang tidak sesemarak perayaan tahun baru Masehi. Tak ada kembang api, terompet, pawai kendaraan, pentas hiburan, apalagi jaga malam untuk menunggu kedatangan 1 Muharram. Tapi di beberapa tempat di Jawa, perayaan 1 Muharram juga cukup semarak. Unsur festival dari ritus Suroan ini berkembang semarak bersamaan dengan tradisi Kejawen yang pekat.


Tapi bukan unsur festival itu yang penting kita bahas. Yang perlu direfleksikan ulang adalah makna inti dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad dari Mekah menuju Madinah. Sebab, peristiwa inilah yang menjadi patokan awal tahun Hijriyah.


Tepat pada tanggal 16 Juli 622 M, di bawah terik musim panas, tulis Montgomery Watt dalam Muhammad: Nabi dan Negarawan (2006: 121-126), sekitar 70-an orang pengikut Nabi Muhammad lebih dulu sampai di Madinah, menyusul kemudian Nabi Muhammad, Abu Bakar, Ali, dan beberapa keluarganya.


Perjalanan yang ditempuh saat itu tidaklah pendek karena masih terbatasnya sarana transportasi yang tersedia. Jarak Mekkah-Madinah mencapai 250 mil dengan memakan waktu perjalanan kurang lebih sembilan hari berunta. Untuk menghindari kejaran orang-orang Quraiys yang makin sengit mempersekusi Nabi dan para pengikutnya, maka strategi yang disusun untuk hijrah pun harus matang dan rute yang ditempuh mestilah jalur alternatif yang lebih berliku.


Lalu pelajaran apa yang tersirat dari peristiwa ini? Bagi para ahli strategi politik, hijrah dapat saja dimaknai sebagai langkah undur-diri yang ditempuh Nabi Muhammad untuk menyusun strategi baru guna memenangkan misi reformasi sosial-politiknya. Terbukti, delapan tahun kemudian (630 M), Nabi berhasil menaklukkan Mekkah, tumpah darah yang telah mempersekusi dan mengusirnya.


Tapi hijrah dapat juga dimaknai dengan cara lain. Yaitu, sebagai upaya mencari oase kebebasan dalam berkeyakinan yang disediakan dengan raman-tamah oleh penduduk Madinah. Jadi, hijrah juga berarti upaya menciptakan ruang kebebasan berkeyakinan yang tidak mungkin didapatkan Nabi di Mekkah sebagai minoritas-tertindas.


Dan ini bukanlah hijrah yang pertama. Pada tahun 615, beberapa orang umat Islam yang tertindas juga diperintahkan Nabi untuk hijrah ke Abessenia demi meminta perlindungan kepada Raja Negus atau Najasyi. Tapi sejarah memang tetap mencatat, hijrah kedualah yang dianggap lebih bermakna daripada hijrah pertama.


Tapi yang jelas, ketidakmungkinan menjalankan agama dan keyakinan secara bebas yang dialami oleh umat Islam perdana di Mekkah, merupakan salah satu alasan untuk hijrah. Usaha menjaga kebebasan beragama dan berkeyakinan itulah yang kemudian dijadikan semacam kontrak sosial oleh Nabi setelah posisinya makin menguat di Madinah. Kontrak sosial yang mengikat berbagai puak, agama dan golongan itu, termuat di dalam Konstitusi Madinah atau Mîtsâqul Madînah.


Sekitar 25 Pasal dalam Konstitusi Madinah membicarakan berbagai aspek hubungan di antara kaum mukminin (sebutan untuk orang yang beriman kepada Nabi Muhammad), dan terhadap orang yang tidak beriman. Sementara 15 pasal berbicara tentang hak dan kewajiban orang-orang Yahudi Madinah.


Dan yang patut direnungkan ulang, Konstitusi Madinah dapat dikatakan sebagai ketentuan pertama yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan di Madinah kala itu. Di dalamnya, ayat Alquran yang menekankan prinsip “non-paksaan dalam beragama” dan “bagimu agamamu, bagiku agamaku” betul-betul diterapkan.


Orang-orang munafik Madinah, bahkan orang-orang yang mengaku sebagai nabi-nabi pesaing pun tidak diperlakukan secara semena-mena oleh Nabi. Sepanjang mereka tidak melakukan makar, bertindak aniaya terhadap kelompok lainnya, atau melakukan agresi militer, mereka adalah umat yang satu di dalam naungan negara-kota Madinah.


Konstitusi Madinah menunjukkan bahwa Nabi tahu betul bahwa perkara keyakinan yang ada dalam sanubari tiap-tiap manusia adalah urusan Allah semata. Sepanjang tiap-tiap individu dan kelompok agama tidak menunjukkan gelagat aniaya terhadap pihak lainnya, mereka adalah individu-individu yang bebas dalam beragama dan berkeyakinan.


Nabi tahu betul, hijrah adalah titik balik untuk menciptakan tatanan masyarakat dimana aspek agama dan keyakinan dapat dijalankan secara bebas dan bertanggung-jawab.[Novriantoni]

Poligami dan Keadilan

28/04/2002

Poligami adalah salah satu isu yang disorot tajam kalangan feminis, tak terkecuali feminis Islam. Tradisi menikah lebih dari satu ini (perseliran), selalu saja kontroversial, sehingga menuai subur pro dan kontra. Ada permasalahan penafsiran atas teks disana. Dalam al-Qur’an, ada ayat yang secara eksplisit membolehkan poligami: dua, tiga atau empat orang isteri. Ayat inilah yang selalu menjadi senjata pendukung poligami untuk membenarkannya menurut optik Islam. Tapi jangan lupa, lanjutan teks Qur’an di atas juga memuat aturan yang ketat: masalah keadilan. “…kalau kamu kuatir tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang perempuan saja…,” demikian Tuhan menegaskan. Di sini umat Islam perlu bertanya: mana watak perkawinan asli Islam?


Potongan pertama “ayat poligami” di Qur’an, seakan menyusun tangga jumlah keutamaan pernikahan. Di mulai dari dua, tiga, lantas empat. Yang paling reflek ditangkap logika biasa: cobalah dua dulu; kalau masih berminat, bisa tiga; jika masih ada kemauan dan kemampuan, boleh nambah menjadi genap empat. Bahkan, sementara umat Islam, ada yang sampai hati menjumlahkan bilangan-bilangan yang disebut Tuhan di al-Quran tersebut. Dua plus tiga, plus empat, sehingga menghasilkan jumlah yang fantastis dan menguntungkan kecenderungan pernikahan seseorang. Perbedanaan pemahaman ini tidak lepas dari permasalah hermeneutika (cara tafsir) atas ayat al-Qur’an. Masalahnya adalah, apakah penyebutan dua, tiga, empat, lantas kemudian satu, menunjukkan yang disebut pertama lebih utama (afdlal) dari yang kemudian? Kalau itu dilihat sebagai urutan keutamaan, ya poligami menjadi pilihan.


Yang sering terlupakan adalah kelanjutan “ayat poligami” ini. Justru, yang terlupakan inilah sebetulnya ruh ayat itu. Yaitu: masalah keadilan. Keadilan atas siapa? Tentu yang dimadu (perempuan). Dari sudut pandang siapa keadilan itu? Ya, jelas sudut pandang perempuan. Sebab, yang menjadi objek poligami adalah perempuan; yang makan hati dan tahu takaran keadilan poligomos adalah perempuan itu sendiri, utamanya yang dimadu.


Dan perlu diingat, bahwa Tuhan juga menegaskan, bahwa Engkau tidak akan dapat berlaku adil, walau berusaha keras untuk itu. Ayat ini terbukti. Nabi sendiri mengakui bahwa hatinya lebih cenderung ke Aisyah ketimbang isterinya yang lain. Maklumlah, si muka merah (al-humairah), satu-satunya isteri nabi yang perawan, cerdas, manja disertai rasa cemburu sedikit tinggi. Kalau nabi saja mengaku tidak dapat berlaku adil (khususnya dalam perihal hati) apalagi umatnya yang jelas-jelas berkualitas keadilan tidak sebanding dengan Nabi yang dijamin tidak tercela (ma’shum).


Jika semacam itu, logika kontekstual “ayat poligami”, kita perlu bertanya lagi: manakah watak asli pernikahan Islam? Kalau hal ini dipertanyakan kepada pembaru Islam abad ini seperti Muhammad Abduh, dia akan menjawab: monogami. Tidak percaya? Silahkan baca kumpulan karya lengkap Abduh: al-A’mal al-Kamilah. Dengan berlindung di balik pendapat Abduh yang nota bene pernah menjadi Mufti Mesir inilah, “feminis yang berpenis” bernama Qasim Amin, menyuarakan monogami juga, bahkan lebih luas dari itu, melalui magnum opus-nya: Tahrir al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan). [Novriantoni]

Stop Fundamentalisme Birokrasi Kita!

28/11/2007

Memalukan, tidak etis, kurang beradab. Itulah komentar tentang penjegalan keterlibatan Nasr Hamid Abu Zayd dari seminar internasional tentang Islam yang berlangsung 27 November kemarin, di Universitas Islam Negeri, Malang. Peristiwa ini menunjukkan gejala merasuknya paham fundamentalisme agama ke dalam birokrasi pemerintah.

Dari keterangan yang sampai kepada kita, penjegalan itu dilakukan atas nama Menteri Agama Republik Indonesia karena wujudnya desakan “masyarakat Islam tertentu”. Klaim “Islam” atau “masyarakat Islam” terbukti ampuh membuat waswas panitia acara, bahkan Menteri Agama.

Yang memalukan, Abu Zayd mendapat kepastian penjegalan hanya lewat pesan pendek. Padahal, Guru Besar Studi Islam Universitas Leiden, Belanda itu, datang berkat kerjasama Universitas Leiden dengan Departeman Agama. Abu Zayd sendiri baru enam bulan lalu menyatakan kesediaan untuk menghadiri acara yang digagas dua tahun lalu itu.

Tidak etis, karena pembatalan keikutsertaan Abu Zayd baru disampaikan setelah ia menjejakkan kaki di Surabaya. Alasan tersembunyi pencekalan juga sungguh-sungguh usang dan jadul: kontroversi tesis Abu Zayd soal Alquran sebagai produk sekaligus produsen kebudayaan (muntâj wa muntij tsaqâfî), lebih 20 tahun silam.

Padahal, Abu Zayd acap kali menyatakan cintanya kepada Indonesia, bahkan senantiasa membanggakan karakter Islam Nusantara yang dicitrakan toleran, moderat, dan kompatibel dengan demokrasi di mata dunia.

Menjelang konferensi pers di Wahid Institute, Senin (26/11) lalu, Abu Zayd memang tampak santai dan tetap sumringah. Ia juga menyatakan, pada setiap takdir yang ia terima, selalu tersimpan hikmah yang tiada terduga. Saat harus meninggalkan Mesir dan menjadi eksil, ia justru mendapat murid dari segala bangsa. Semua bersedia menyimak, berdiskusi, bahkan berbantah dengannya.

Kurang beradab, karena sampai saat ini Departeman Agama bungkam seribu bahasa. Abu Zayd pun dianggurkan begitu rupa. Jangankan meminta maaf, berjumpa pun mereka tak sedia. Ini jelas menyalahi etika Islam tentang ikrâmud dhaif atau penghormatan tamu, betapapun kita tak sependapat dengan buah pikirannya.

Dalam jumpa pers bersama Gus Dur, Abu Zayd tetap menyampaikan uneg-unegnya secara bersahaja. Ia mengingatkan pentingnya mencermati gejala infiltrasi gerakan-gerakan fundamentalisme agama ke dalam jajaran birokrasi negara.

Gus Dur pun mengamati hal serupa. Tidak sekarang saja, tapi ia merujuk ke penghujung era Orde Baru Indonesia. Abu Zayd juga menegaskan bahwa terorisme sosial (al-irhâb al-ijtimâ’iy) tak kalah berbisa dibandingkan terorisme aktual ataupun terorisme negara. Bahkan, terorisme sosial adalah basis dari yang kedua dan ketiga.

Terorisme sosial adalah suasana ketika kehidupan sosial-keagamaan suatu masyarakat sudah terkontaminasi oleh iklim teror dan didominasi semangat intoleransi dari elemen-elemen sosial masyarakat sendiri. Akibatnya, proses-proses dialog yang sehat dan terbuka, terutama seputar agama, tak lagi mungkin berlangsung ramah, nyaman, dan leluasa.

Kini, gejala ini sudah bermunculan dalam kehidupan sosial-keagamaan kita. Forum-forum diskusi, baik di kampus maupun luar kampus, sering dicemari para demagog yang tak ingin menyimak diskusi bermutu, tapi justru ingin menonton kedangkalan pikir, bahkan keonaran. Kurikulum pendidikan perguruan tinggi Islam yang memberi ruang studi kritis dan terbuka, pun berulang-ulang dipersoalkan mereka.

Ormas-ormas Islam yang mengalami mengalami pahit-getir terorisme negara (state terrorism) di masa Orba, kini beralih fungsi menjadi agen aktif terorisme sosial. Mereka tak hanya bebas mengampayekan ideologi kebencian, tapi juga meneror orang atau organisasi yang dianggap tak sehaluan dengan pikiran mereka.

Mereka begitu aktif menginfiltrasi jajaran birokrasi pemerintah, atau menelusup ke ruang terbuka ormas-ormas yang punya peran vital di masyarakat. Kaum fundamentalis di mana pun sadar betul, merebut pengaruh di sektor birokrasi adalah agenda teramat penting untuk diabaikan.

Inilah yang disebut Abu Zayd sebagai gejala fundamentalisasi sektor birokrasi negara. Abu Zayd sangat menyayangkan kalau itu terjadi di Indonesia yang sedang merambah jalan demokrasi. Ia sendiri dapat mengendus baunya, karena fenomena serupa pernah ia saksikan dengan mata kepalanya, di Mesir maupun negara Arab lainnya.

Apakah itu akan terjadi di Indonesia? Kita perlu waspada. Sepak terjang fundamentalisme agama di banyak negara membuktikan: tiada kemaslahatan apapun yang mereka bawa. Tidak bagi agama, apalagi untuk bangsa dan negara. [Novriantoni]

Aspek Sosiologis Kelompok Sempalan

10/11/2007

Fatwa dan 10 kriteria aliran sesat yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia Selasa (6/11) lalu mungkin tidak akan banyak membantu kita untuk memahami dan mengatasi kemunculan kelompok-kelompok agama yang sering dicap sesat. Penjara pun tak akan membuat jera jika keyakinan baru sudah tertanam begitu kokoh di dalam sanubari mereka.

Karena itu, daripada terus berfantasi akan sirna dan tidak akan munculnya lagi aliran sesat di bumi Indonesia lewat fatwa ataupun aksi massa, ada baiknya kita memahami akar masalah kemunculan kelompok seperti Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyyah, dan sejenisnya dalam ekspresi keberagamaan kita. Untuk keperluan ini, 10 kriteria aliran sesat Majelis Ulama Indonesia tidak akan membuat ilmu kita bertambah.

Di tahun 1992, Martin van Bruinessen menjelaskan latar belakang sosio-kultural kemunculan “kelompok-kelompok sempalan Islam” (istilah yang lebih netral) di Indonesia Jurnal Ulumul Qur'an vol. III no. 1. Ahli Islam asal Belanda itu masuk ke jantung kelompok-kelompok sempalan yang pernah dilarang atau sekurang-kurangnya diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia.

Objek studinya sangat luas, tapi tetap dibarengi klasifikasi yang cukup ketat dan jelas. Ada Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, DI/TII, Mujahidin Warsidi (Lampung), Syi'ah, Baha'i, kelompok Inkarus Sunnah, Darul Arqam, Jamaah Imran, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawwuf berfaham wahdatul wujud, Tarekat Mufarridiyah, dan gerakan Bantaqiyah (Aceh). Itulah kelompok-kelompok yang dianggap sempalan dan sesat di masa itu.

Meski agak out of date karena belum membahas kelompok baru yang kini sedang hangat diperbincangkan, beberapa kesimpulan Bruinessen tetap masih cukup relevan dan menarik untuk disimak:

Pertama-tama, di luar stigma negatif yang selalu dialamatkan pada mereka, menurut Bruinessen beberapa kelompok sempalan yang dicap sesat itu sering kali dapat memenuhi fungsi keluarga bagi para pengikutnya. Kehadiran komunitas “keluarga baru” ini bisa amat didambakan anggotanya, terutama ketika mereka mengalami alienasi sosial akibat proses urbanisasi dan merenggangnya hubungan mereka dengan keluarga asal.

Agar dapat berfungsi sebagai komunitas keluarga, jumlah anggota kelompok biasanya kecil saja, sehingga mereka bisa saling kenal. Pada aspek ini, kalangan mainstream Islam tidak perlu terlalu resah akan berkembangnya kelompok sempalan dalam jumlah besar. Studi Bruinessen menunjukkan bahwa aliran-aliran baru seperti ini hampir selalu bersifat eksklusif (menghindar dari hubungan dengan umat lainnya) dan gnostik (mengklaim punya ajaran khusus yang tidak dimengerti kaum awam), serta kerap menerapkan sistem bai'at antara pimpinan dan pengikutnya.

Poin ini sedikit banyak menjelaskan mengapa begitu banyak pengikut aliran-aliran baru seperti al-Qiyadah yang berasal dari kalangan mahasiswa. Kondisi alienasi yang mungkin mereka alami akibat perubahan situasi dan lingkungan baru yang mereka rasakan, boleh jadi membuat mereka kehilangan pegangan.

Mahasiswa, kata Bruinessen, terutama yang berasal dari kota kecil atau desa, yang hidup di sebuah lingkungan kota yang serba baru dan aneh bagi mereka, merasa diberi perlindungan dan rasa aman oleh komunitas baru yang membuat mereka merasa at home. Peran ini tidak lagi dapat dimainkan organisasi agama besar, justeru karena yang diperlukan adalah hubungan intim dalam sebuah komunitas kecil yang terpisah dari masyarakat/umat yang lebih luas.

Lalu perlukah mereka dijauhi, difatwa atau digebuki? Bruinessen berpendapat, selama dialog antara ortodoksi kalangan mainstream dan gerakan sempalan itu masih dapat berlangsung, fenomena ini akan tetap berfungsi positif. Terputusnya komunikasi dan makin terasingnya mereka justru mengandung marabahaya. Kalau ortodoksi tidak responsif dan komunikatif dan hanya bereaksi dengan melarang-larang (atau diam saja), ortodoksi sendiri justru bisa berubah menjadi salah satu sebab penyimpangan "ekstrim" ini.[Novriantoni]

Jilbab dan Kebab Turki

30/07/2007

Kita rasanya sudah terlalu sering mengaji banyak soal dari Timur Tengah, terutama dari negara-negara Arab. Aspek pemikiran sosial-politik-keagaman di sana, sampai soal pergerakannya, hampir khatam kita kaji. Sementara Turki, negara yang begitu dinamis, sama-sama berada di Timur Tengah, hampir tak terpikirkan dalam benak kita. Baru soal jilbab dan kebab, Turki dikenal di negeri ini. Untuk perkara jilbab Turki dikecam, sementara untuk urusan kebab Turki diidam.

Kini, tak hanya soal jilbab dan kebab Turki perlu dikaji. Dinamika sosial-politik Turki belakangan ini sungguh sangat menarik. Dalam lima tahun terakhir (2002-2007), sebuah partai Islam bernama Partai Keadilan dan Pembangunan (PKP), dianggap sukses memimpin Turki. Karena itu, dalam pemilu legislatif pekan lalu, PKP kembali dipercaya untuk mengisi mayoritas kursi di parlemen Turki (47% atau 341 dari 550 anggota perlemen).

Sukses PKP boleh jadi membesarkan hati partai-partai yang punya spirit agama Islam di tempat lain. Tapi tak gampang menjadi partai Islam mirip PKP. Sejarah politik Turki mungkin saja telah membuat mereka matang untuk tidak lagi terjebak dalam kubangan sloganisme sebuah partai agama. Karena itu, setidaknya selama 5 tahun terakhir, mereka tidak gegabah menyuguhkan agenda-agenda islamisme kepada rakyat Turki.

PKP konsisten berada dalam bingkai sekularisme. Bahkan para petingginya, seperti Recep Erdogan, seakan hendak menunjukkan bahwa ajaran Islam selaras dengan praktek sekularisme politik. Beberapa hari setelah menang pemilu, ia menyatakan tetap berada dalam garis besar haluan Musthafa Kemal Attaturk, pendiri Turki modern. Partainya menolak formalisasi agama, berhubungan secara wajar dengan Israel, dan pandai bergaul di lingkungan internasional.

Karena itu, kolomnis harian As-Syarqul Awsat, Abdurrahman Rasyid, menilai PKP tidaklah segaris dengan kaum revivalis Islam di tempat lain yang terjun ke dunia politik praktis. Kaum revivalis Islam di tempat lain, tidak pantas menepuk dada dengan suksesnya PKP. Sebab, baik dalam wacana maupun performa politik, PKP lebih liberal dari partai-partai Islam di mana pun.

Sampai kini, PKP tak pernah menunjukkan gelagat sebagai partai Islam yang anti-kebebasan, Mereka juga tidak terobsesi untuk menyeragamkan penampilan konstituen perempuan mereka dengan jilbab, tidak anti bunga bank, bahkan tidak canggung bertandang ke Tel Aviv atau menjamu para petinggi Israel di Ankara. Jangankan dalam tindakan, dalam wacanapun isu ini sangat dihindari oleh kaum Islamis di tempat lain.

Kinerja pemerintahan Turki di masa Perdana Menteri Erdogan pun dianggap cukup membanggakan. Dalam sejarah Turki, PKP paling sukses mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Investasi luar dan dalam negeri meningkat, sektor pariwisata bergeliat. Keberhasilan itu sudah cukup untuk menutup kekecewaan rakyat Turki karena diombang-ambing Uni Eropa untuk masuk klub negara-negara maju tersebut.

Erdogan juga dinilai berhasil menjaga keseimbangan politik dalam negeri Turki, sehingga hampir semua segmen masyarakat Turki yakin akan kepemimpinan PKP. Hubungan internasional Turki dengan negara-negara lain membaik, bahkan isu separatisme Kurdi mereda. Tak ada kelompok yang merasa terancam kebebasan sipilnya dengan sukses partai berbasis Islam tersebut. Karena itu, kata islamis pun kurang tepat untuk menyebut PKP. Mereka lebih tepat disebut partai pengusung watak Islam yang liberal, yang tercerahkan.

Namun di balik optimisme itu, masih tersisa kesangsian terhadap PKP. Terutama setelah mereka sukses menguasai mayoritas kursi di parlemen dan kemungkinan akan memuluskan langkah Abdullah Gul menjadi presiden Turki. Tidak hanya militer yang menjadi pengawal setia sekularisme Turki yang kini harap-harap cemas. Dunia pun sedang menunggu: apakah PKP memang beda atau setali tiga uang dengan watak partai kaum Islamis lainnya.

Jika PKP tetap bermain cantik dalam politik, setia pada konstitusi Turki, fokus pada pembangunan sosial-ekonomi, dan tidak mengajukan slogan Islam adalah solusi, maka ia layak menjadi teladan bagi partai-partai Islam di tempat lain. Tapi jika terlalu berambisi untuk mengambil semua dan melakukan revolusi Islam terhadap tatanan sosial-politik Turki, inilah mungkin awal kekalahannya.

Kita masih akan menunggu, apakah PKP akan menjadi sisi unik yang perlu dipelajari dari Turki, atau kita harus kembali mengenang Turki dari kontrovesi jilbab dan lezatnya kebab. [Novriantoni]

Terorisme atau Kontraterorisme?

02/07/2007

Upaya Tim Pembela Muslim (TPM) untuk mempraperadilkan kasus penembakan Abu Dujana yang berlangsung di depan mata anaknya merupakan langkah hukum yang patut dihargai. Sangat boleh jadi, satuan Datasemen Khusus 88 Anti-Teror telah bertindak kurang proporsional. Mungkin juga mereka sedikit gagah-gagahan karena sedang menangkap sosok yang dianggap sangat berbahaya. Kita belum tahu apa yang sungguh terjadi. Kejelasan kasus ini masih perlu penyelidikan lebih mendalam.

Namun pernyataan Abu Bakar Baasyir bahwa apa yang dilakukan Abu Dujana cs bukan aksi terorisme melainkan kontraterorisme sangat perlu dikritisi. Apalagi dalam konferensi pers di gedung Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Selasa (26/7) lalu, Baasyir juga menuntut dibubarkannya Densus 88 yang selama ini bertugas menangkap para tersangka terorisme.

Pernyataan itu memang retorika yang tipikal dari orang-orang yang mengingkari fakta terorisme di Indonesia. Kita tidak tahu, dengan bukti macam apa mereka akan berhenti mengelabui opini publik. Kita pun hanya mampu meraba-raba ikatan batin antara Baasyir dengan para pelaku teror itu. Yang kita tahu pasti, aksi-aksi terorisme telah memakan banyak korban. Dan, sudah tiba saatnya untuk berseru lantang: cukup!

Karena itu, jika opini Baasyir selalu kita perhitungkan, upaya pemberantasan terorisme mungkin saja akan terhambat. Dan, bukan mustahil aksi-aksi terorisme berikutnya akan kembali meledak karena terus mendapat pembenaran, baik secara teologis-ideologis maupun taktis-strategis. Pelaku terornya memang sedikit orang, tapi sugesti dan dukungan banyak orang yang sealur pikiran telah membesarkan hati dan kekuatan mereka.

Sejauh ini, ungkapan pembenaran itulah yang selalu muncul dari pernyataan-pernyataan Baasyir. Selain pembenaran teologis-ideologis, para pelaku teror itu juga terbantu oleh pembenaran taktis-strategis. Oleh sementara orang, tindakan mereka dinilai sebagai aksi heroik demi membalas teror yang lebih besar, baik yang dilakukan Amerika di Irak maupun Afganistan sana. Bagi mereka, aksi mereka tidak lebih brutal dari apa yang dilakukan musuh jauh mereka: mesin-mesin perang George W Bush.

Karena musuh besar tak dapat mereka rengkuh, maka tak mengapa bertindak sekenanya terhadap musuh yang mudah dijangkau. Dengan alur pikir seperti ini, para pembenar ideologi terorisme telah ikut andil dalam memberi sugesti dan memalingkan isu dari persoalan sebenarnya. Pelaku teror dalam negeri tidak dipandang sebagai teroris, melainkan kontraterorisme. Jatuhnya korban-korban tak bersalah pun tak membuat mereka jatuh iba. Dengan entengnya, mereka dianggap berada di tempat yang salah.

Padahal, tanpa kritik Baasyir pun, rezim Bush yang dianggap sebagai the real terrorist, telah banyak menuai kritik dari publik dalam negerinya. Sosok yang mungkin dibenci Baasyir, Geoge Soros, dalam buku Zaman Kenisbian: Konsekuensi Perang Terhadap Teror, termasuk orang paling keras menentang pendekatan Bush dalam perang melawan terorisme. Soros menggelontorkan uang jutaan dolar untuk menghambat terpilihnya kembali Bush meski ia gagal. Baginya, Amerika di bawah rezim Bush bak raksasa mabuk yang memberangus musuhnya secara serampangan.

Karena itu, pembedaan teroris-kontrateroris Baasyir tidak menggenapi apa-apa. Wujudnya teroris yang lebih besar tidak harus membuat absahnya teroris yang lebih kecil untuk bertindak semau-maunya. Itulah alur logika yang benar meski mungkin tak disepakati Baasyir. Sebab, logika Baasyir tampak berjalan ke arah sebaliknya: karena ada teroris yang lebih besar, maka teroris kecil-kecilan absah belaka adanya. Jika demikian logika Baasyir, itu tentu sudah berbeda dengan logika kebanyakan orang sehat Indonesia lainnya.

Implikasinya, pekerjaan rumah kita untuk memberantas terorisme menjadi ganda. Tidak hanya memerangi terorisme, kita juga diharuskan menyingkap alur pikir orang-orang yang selalu siap sedia melakukan pembenaran terhadap tindak teror itu sendiri. Tugas pertama sejauh ini sudah dilakoni dengan baik oleh kepolisian, sementara tugas kedua sepenuhnya berada di pundak siapa saja yang cinta iklim kedamaian, baik bagi Indonesia maupun dunia.[Novriantoni]

Sirah Nabi: Tanpa Penistaan, Sonder Idealisasi

04/05/2007

Judul Buku: Muhammad: Nabi dan Negarawan

Judul Asli: Muhammad: Prophet and Stateman

Penulis: William Montgomery Watt

Penerjemah: Djohan Effendi

Penerbit: Mushaf, Depok

Cetakan: Pertama, September 2006

Jumlah Halaman: xii + 372

Para penikmat biografi Nabi Muhammad yang dalam nomenklatur Islam disebut sirah, pantas bersuka-cita dengan terbitnya buku sirah berbahasa Indonesia, Muhammad: Nabi dan Negarawan. Djohan Effendi telah menerjemahkan buku William Montgomery Watt (1909-2006) itu dengan baik walau sudah telat lebih dari empat dekade.

Buku yang aslinya berjudul Muhammad: Prophet and Stateman (1961) ini merupakan ringkasan dari dua buku Watt sebelumnya: Muhammad at Mecca (1953) dan Muhammad at Medina (1956). Watt adalah seorang orientalis Skotlandia yang kerap dijuluki the last orientalist. Tapi nada umum uraiannya tentang sirah Nabi bernada sangat simpatik.

Itu tak mengherankan. Meski seorang pastur, Watt mengabdikan hampir seluruh karir akademiknya untuk menjembatani dialog Islam dengan Kristen, bahkan Islam dengan dunia Barat. Karenanya, buku Watt ini ikut menambah koleksi kepustakaan Islam yang berbobot tentang sirah dari sudut pandang seorang bukan Muslim.

Perbandingan

Tak banyak sirah berbahasa Indonesia yang bermutu, tanpa idealisasi yang melebih-lebihkan (praktek umum sejarawan Muslim), sonder penistaan yang tak perlu (dari sebagian penulis bukan Muslim). Orang yang mahir berbahasa Arab tentu mampu menikmati sirah bermutu karangan intelektual besar Arab modern seperti M. Husain Haikal (Hayâtu Muhammad), Thaha Husein (Alâ Hâmisit Târîkh), M. Farid Wajdi (as-Sîrah an-Nabawiyyah), Bintus Syathi (Ma`ar Rasûl), dan karya-karya sejenis lainnya.

Tapi tak banyak dari karya-karya itu yang sudah dialihbahasakan ke Indonesia. Kalaupun diindonesiakan, seringkali hasilnya mengecewakan dan tak sebaik karya aslinya. Nah, terjemahan Watt ini gampang dimengerti walau editornya tampak kurang tekun mengurangi kecacatan tanda baca.

Dibanding buku Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis, yang edisi Indonesianya sudah lebih dulu terbit, buku ini memang terasa lebih kering. Buku Watt mungkin terlalu intelek bagi pembaca yang lebih suka bahan bacaan renyah penuh bumbu dengan teknik bercerita yang andal. Armstong unggul atas Watt di aspek itu. “Buku-buku Watt ditujukan untuk mahasiswa dan mensyaratkan pengetahuan dasar yang belum banyak dimiliki orang,” kata Armstrong (Armstrong, hal. XV).

Kekurangan dan Kelebihan

Watt juga tidak memaparkan aspek metodologi yang ia pakai dalam penulisan buku ini. Rujukan-rujukan dari para sejarawan Islam pun tak tampak dalam catatan kakinya—walau sudah pasti Watt tahu dan hafal semua itu di luar kepala. Dengan begitu, buku ini mungkin kurang meyakinkan bagi sebagian pembaca Islam. Membaca buku ini mungkin akan seperti menikmati fiksi sejarah ala Dan Brown.

Dari aspek pendekatan, Watt pun tak memberi catatan. Tapi setelah membaca, kita segera tahu bahwa Watt telah menerapkan perangkat-perangkat analisis ilmu sosial modern dalam penelusuran sirah Nabi. Namum dia juga menekankan kontekstualisasi: tidak memaksakan cara pandang dan standar modern dalam menilai peristiwa-peristiwa masa lampau itu. Kasus poligami Nabi, ekspedisi dan ekspansinya, penyerangan dan pengusiran komunitas Yahudi, dan beberapa contoh lainnya, tidak diponten Watt dengan standar kelayakan masa kini.

Pendeknya, buku ini berniat mendialogkan IsIam di Barat lewat pengenalan sosok Nabi; tanpa penistaan, sonder idealisasi. “Penistaan oleh penulis-penilis Eropa terhadap Muhammad seringkali diikuti idealisasi romantik tentang ketokohannya oleh orang-orang Eropa lainnya dan orang-orang Islam. Penistaan dan idealisasi bukanlah basis yang kuat untuk hubungan timbal balik dari hampir separuh umat manusia,” tulis Watt (hal 319).

Buku ini juga selektif dalam membedakan antara fakta dan legenda. Itu beda dengan Armstrong yang justru memandang legenda tokoh besar sejarah punya kandungan spiritualitas juga. Armstong tampaknya ingin lebih menyelami pergulatan batin Nabi—dan karena itu juga memasukkan beberapa legenda yang dalam neraca sejarah agak meragukan. Sementara Watt lebih ketat menapis mana yang fakta dan mana yang legenda. Kalau pun sebuah legenda ia nukilkan, dia segera memberi catatan.

Namun jangan kuatir buku ini akan mendatangkan kantuk! Keseluruhan isinya juga sedang berkisah secara apik dengan rentetan kronologis yang memikat. Lewat buku ini, kita tanpa sadar sedang diantar Watt mengarungi situasi zaman Nabi dengan segenap persoalannya. Kita diajak menyelami kepribadian Nabi; watak dan perawakannya, kegundahan dan pengendaliannya, diplomasi dan kebijakannya, kedudukan dan kepemimpinannya. Sangat manusiawi; tanpa mengurangi keagungannya sebagai Rasul dan teladan umat manusia.

Aspek Pendekatan

Jika dipotret lewat kategori intelektual Maroko, M. Abied el-Jabiri dalam al-`Aqlus Siyâsil `Arabî, tentang pentingnya faktor aqidah (ideologi), qabilah (solidaritas sosial), dan ghanimah (insentif ekonomi), untuk kerangka penulisan sejarah Islam, maka Watt sudah menerapkan semua persyaratan itu dengan brilian dan berhasil.

Faktor aqidah tampak dari uraiannya tentang pergulatan batin Nabi dari waktu ke waktu, serta respons wahyu yang tahap demi tahap menyertai perjalan hidupnya. Faktor qabilah tampak paling menonjol dari uraian Watt yang lihai tentang konstelasi kesukuan dan puak-puak di Mekah maupun Madinah.

Adapun faktor ghanîmah yang sering diabaikan banyak orang dalam penulisan sirah, tampak pula dari uraian Watt tentang insentif ekonomi yang diharap dan dipertimbangkan sebagian penganut Islam belakangan jika menganut Islam dan berpihak kepada masyarakat baru yang sedang dibentuk Nabi dengan segenap risiko dan rintangan.

Bagi Watt, “Alasan-alasan kebendaan mestilah memainkan peranan yang cukup besar bagi masuknya orang-orang Arab ke Islam (tentu saat Islam mulai tampak jaya). Faktor lain yang cukup penting adalah iman Muhammad terhadap pesan Alquran, imannya terhadap masa depan Islam sebagai sistem agama dan politik, pengabdiannya yang pantang mundur terhadap tugas yang diyakininya sebagai panggilan Tuhan terhadapnya.” (hal 258).

Beberapa Kontroversi

Untuk pembaca pemula, karya Watt ini mungkin menghadirkan beberapa tanda tanya dan kontroversi. Terhadap legenda cap kenabian di pungung Rasul, Watt meledeknya sebagai ”cerita yang didasarkan pada pikiran-pikiran primitif” (hal. 3). Watt juga memperkirakan Nabi bukanlah seorang ummi dalam artian buta-huruf, sebagaimana jamak dipahami. ”Banyak orang Mekah yang bisa membaca dan menulis. Karena itu, ada anggapan bahwa seorang pedagang cermat seperti Muhammad tentulah mengerti kemampuan tulis-baca ala kadarnya,” catat Watt (hal. 53).

Aspek yang cukup kontroversial adalah pernyataan Watt ”tak ada bukti sudah ditentukannya secara tetap sembahyang lima waktu pada masa Nabi” (hal. 135). Watt juga menerangkan bahwa Abu Sufyan memainkan peran yang jauh lebih penting dalam penaklukan Mekah oleh orang-orang Islam dibandingkan yang umum dicatat.

”Para sejarawan Muslim menyembunyikan kenyataan ini untuk tidak memberi kesan bahwa peranan Abu Sufyan lebih hebat daripada Abbas (hal. 277-278). Sebaliknya, orang Syiah mungkin akan mengurut dada, sebab Watt—dan banyak sumber sejarah lainnya—juga berkata: ”Dia (maksudnya Nabi Muhammad), juga menyadari bahwa Ali bin Abi Thalib tidak mempunyai sifat kenegarawanan yang berhasil” (hal. 317).

Yang paling kontroversial tentulan teori Watt tentang imajinasi kreatif yang mungkin saja diilhami gagasan sufi besar Islam seperti Ibnu Arabi. Menurut Watt, “Pada Muhammad, saya beranggapan, terdapat kedalaman imajinasi kreatif. Gagasan-gagasan yang dilahirkannya, sebagian besar baik dan benar. Tapi, ”…Ada satu soal yang tampaknya kurang sehat, yaitu gagasan bahwa wahyu atau hasil imajinasi kreatif itu lebih tinggi kedudukannya dari tradisi manusia biasa sebagai sumber fakta (hal. 330).

Watt menulis itu dalam konteks sanggahan terhadap daya pukau bibliolatri dalam polemik sejarah umat beragama. Sebab, dalam halaman yang sama, Watt pun berkata, ”…Orang bisa mengakui bahwa imajinasi kreatif mampu memberi interpretasi yang baru dan lebih benar tentang suatu peristiwa sejarah. Akan tetapi, membuatanya sebagai sumber dari fakta telanjang adalah berlebih-lebihan dan tidak benar” (hal. 330).

Dasar Kebesaran

Pada pengujung buku, Watt mengemukakan tiga dasar kebesaran Nabi. Pertama, Nabi dinilainya sebagai orang yang mampu melihat sebelum kejadian. Watt lebih dari sekali menyebut Nabi berpikir intuitif, bukan analitik. Kedua, kearifannya sebagai negarawan. Dalam amatan Watt, struktur konseptual Alquran yang mentah mampu didukung Nabi dengan bangunan kebijakan yang kongkret dan institusi yang kongkret pula. Ketiga, ketrampilan dan kebijaksanaannya sebagai administrator dan kearifan dalam memilih orang yang diberi kepercayaan untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi (hal. 326-327).

Karena itu, ”Ketiga Muhammad wafat, negara yang didirikannya sudah seperti perusahaan yang sedang jalan dan mampu menahan kejutan kepergiannya. Dan begitu sembuh dari keterkejutan itu, ia meluas dengan kecepatan yang luar biasa,” pungkas Watt (hal. 327).

Akhirnya Waat memberi saran: mampukah (Muslim) menyaring segi-segi yang universal dari segi-segi yang partikular dari kehidupan Muhammad, dan dengan demikian membuka prinsip-prinsip moral yang dapat memberi sumbangan kreatif terhadap situasi dunia saat ini?! (hal. 324).

Itulah mungkin inti telaah atas buku ini: menyingkap kearifan masa Nabi untuk diaktualisasikan bagiannya yang relevan (saja) di masa kini. Dengan begitu, Islam layak digadang-gadang menjadi rahmat bagi semesta alam, relevan untuk setiap tempat dan segala zaman. [Novriantoni]

Maulid Nabi Bersama Watt

09/04/2007

Pembaca buku-buku keislaman di Indonesia perlu berbahagia dalam memperingati maulid Nabi Muhammad beberapa hari yang lewat. Tahun ini, ada “kado istimewa” yang patut disambut khalayak pembaca Islam. Buku memikat tentang peri kehidupan Nabi, Muhammad: Nabi dan Negarawan, karya W. Montgomery Watt, baru saja terbit dalam bahasa Indonesia.

Buku ini merupakan ringkasan dari dua buku Watt sebelumnya, yaitu Muhammad at Mecca (1953) dan Muhammad at Medina (1956). Buku yang aslinya berjudul Muhammad: Prophet and Stateman (1961) itu, diterjemahkan dengan cukup baik oleh salah seorang intelektual Indonesia, Djohan Effendi.

Penulisnya memang seorang orientalis yang sering dijuluki the last orientalist. Tapi nada umum uraiannya tentang sejarah Nabi bernada sangat simpatik. Maklum saja, Watt memang mengabdikan hampir seluruh karir akademiknya untuk menjembatani dialog Islam dengan Kristen, bahkan Islam dengan dunia Barat.

Buku ini ikut menambah koleksi buku terjemahan tentang sejarah Nabi yang ditulis oleh sarjana Barat, disamping buku Karen Armstrong yang telah terbit beberapa tahun sebelumnya, Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis. Bedanya, Armstong tampak ingin lebih menyelami pergulatan batin Nabi—dan karena itu dia juga memasukkan legenda-legenda yang dalam timbangan sejarah agak meragukan—sementara Watt lebih ketat menapis mana yang fakta dan mana yang legenda. Kalau pun sebuah legenda ia muat, dia segera memberi catatan. Karenanya, buku Watt terkesan ”lebih kering” dibanding buku Armstrong.

Namun janganlah kuatir, sebab keseluruhan isi buku Watt juga sedang berkisah. Lewat buku ini, kita tanpa sadar sedang dibawa Watt untuk mengarungi situasi di zaman Nabi dengan segenap persoalannya. Kita diajak menyelami kepribadian Nabi; watak dan perawakannya, kegundahan dan pengendaliannya, diplomasi dan kebijakannya, kedudukan dan kepemimpinannya. Pendeknya, buku ini memberi banyak pencerahan.

Jika memakai kategori intelektual Maroko, M. Abied al-Jabiri tentang pentingnya mempertimbangkan unsur Aqîdah (ideologi), Qabîlah (solidaritas sosial), dan Ghanîmah (insentif ekonomi), sebagai kerangka penulisan sejarah Islam, maka Watt tampaknya sudah menerapkan itu secara cerdas dan berhasil.

Faktor Aqîdah dapat ditelusuri dari pergulatan batin Nabi dan kehadiran wahyu yang menyertai perjalannya dalam memperjuangkan Islam. Faktor Qabilah tampak jelas dari uraian Watt yang sangat memikat tentang konstelasi kesukuan dan puak-puak di Mekah maupun Madinah zaman Nabi.

Sementara faktor Ghanîmah tampak dari beberapa penjelasan Watt soal insentif ekonomi yang diharapkan sebagian penganut Islam belakangan jika menganut Islam dan berpihak kepada masyarakat baru yang sedang dibentuk Nabi dengan penuh resiko dan rintangan.

Setelah menguraikan peri kehidupan Nabi secara apik dan dengan kronologi peristiwa yang teratur, Watt menyimpulkan, ”Ketiga Muhammad wafat, negara yang didirikannya sudah seperti perusahaan yang sedang jalan dan mampu menahan kejutan kepergiannya. Dan begitu sembuh dari keterkejutan itu, ia meluas dengan kecepatan yang luar biasa (hal. 327).

Untuk mengantisipasi agar bukunya tak dijadikan bahan taklid buta oleh sebagian kaum Muslimin, Watt juga berpesan dengan sebuah tanda tanya: ”Mampukah (Muslim masa kini) menyaring segi-segi yang universal dari segi-segi yang partikular dalam kehidupan Muhammad, dan dengan demikian membuka prinsip-prinsip moral yang dapat memberi sumbangan kreatif terhadap situasi dunia saat ini?” (hal. 324).

Ya, mungkin itulah yang dibutuhkan umat Islam masa kini. Inti agenda kita adalah: bagaimana menjadikan Nabi sebagai teladan, terutama pada aspek-aspek yang universal dan eternal dari ajarannya yang agung, sembari menafsir ulang aspek-aspek yang partikular dan situasional di masanya. Itulah pergulatan banyak ulama sejak dari dulu, sehingga Islam layak menjadi rahmat bagi semesta alam dan relevan untuk semua tempat dan semua zaman.[Novriantoni]

Modernisasi Perkukuh Sekularisasi

09/04/2007

22-34 Maret lalu, Jaringan Islam Liberal (JIL) merayakan ulang tahunnya yang keenam di Komunitas Utan Kayu, Jakarta. Dua agenda digelar: pemutaran film-film bertema kebebasan dan diskusi soal sekularisme. Berikut reportase diskusi hari kedua, tentang Praktik Sekularisme di Beberapa Negara.

***
**

Jumat, Teater Utan Kayu. Film Jesus Camp diputar sejak jam 2 sore, sementara Soldier of God setelah itu. Penonton berkisar 50-an orang saja. Tapi diskusi malam harinya ramai. Sekitar 200 orang setia ikut diskusi sampai tuntas. Diskusi menghadirkan tiga orang narasumber: Rizal Mallarangeng (Direktur Eksekutif Freedom Institute), Syamsurizal Panggabedan (dosen UGM, Jogja) dan Dick van der Meij (Profesor tamu UIN Jakarta).

Dick tampil pertama kali dengan mengutip defenisi favoritnya dari International Humanist and Ethical Union tentang sekularisme: a neutral attitude, especially of the State, local government and public services, in matters relating to religion; non-religious rather than anti-religious (sikap tak berpihak negara, terutama pemerintahan lokal dan bagian pelayanan masyarakat, dalam mengurusi soal-soal yang berhubungan dengan perkara agama, bukan agama, sekaligus anti-agama).

Namun Dick juga mengusulkan defenisinya sendiri. “Sekularisme lebih tepatnya berarti ‘pengeluargerejaan’ atau ‘pendindividualisasian’ agama,” tandas Dick. Menurut Dick, dalam praktek di negera-negara sekular Barat, sekularisme tak pernah mematikan agama, tapi justru membuat orang beragama dengan kesadaran sendiri. Dick gundah akan kekeliruan yang meluas di banyak negara Muslim yang menyamakan sekularisme sama dengan paham anti-agama.

Bagi ahli filologi asal Belanda itu, pengertian dasar sekularisme tak lebih dari pemisahan negara dan agama dalam semua lapis ketatanegaraan. ”Sekularisasi tidak berarti negara tak ada agama atau agama tidak ada kaitan dengan negara,” ungkap Dick. Dalam kenyataan, sekularisme tidak dijalankan seragam di semua negara. Di Inggris, Ratu tetap kepala negara sekaligus kepala gereja. Di Belanda, Ratu juga selalu harus Protestan. Jerman terhitung sebagai negara sekuler yang paling banyak menyumbang ke Vatikan. Sementara Prancis, negara yang paling ketat dalam menerapkan sekularisme, menurut Dick, justru selalu sibuk memugar katedral.

Karena itu, ”Ada kecenderungan orang sekuler menjadi lebih beragama,” papar Dick. Bagi Dick, ada semacam ironi ketika banyak orang yang tidak tahu mereka tinggal di sebuah negara sekuler karena sangat rajin berdoa walaupun tidak pernah ke gereja. Dick juga berpendapat bahwa sekularisme mutlak diperlukan, terlebih kalau tingkat kemajemukan agama di sebuah negara sangat tinggi.

Pembicara kedua, Rizal Mallarangeng lebih fokus memaparkan praktik sekularisme di Amerika yang dianggapnya negara paling akomodatif terhadap aspirasi agama. Meski demikian, platform negara sekuler tetap terjaga dalam Amendemen Konstitusi Amerika, dan kemungkinan tidak akan pernah diubah. Menurut Rizal, sekularisme Amerika unik karena justru ditegakkan orang-orang yang puritan dalam beragama. Itu karena ”orang-orang Amerika awal terdiri dari para imigran dari berbagai negara Eropa yang sudah merasakan pahit-getirnya konflik agama dan merindukan negara yang netral dalam soal agama,” jelasnya.

Walau dipatok untuk bicara sekularisme Amerika, Rizal justru banyak ditanya tentang tantangan sekularisme di Indonesia dengan indikasi merebaknya perda-perda bernbau agama. Tidak hanya perda syariah, beberapa daerah pun kini ikut mengajukan aturan daerah bernuansa agama masing-masing. Tapi Rizal tetap optimis akan keampuhan modernisasi. Menurutnya, ”modernisasi akan tetap memperkukuh sekularisasi, walau aspirasi agama di tingkat kultural makin menguat di Indonesia yang sedang memantapkan demokrasinya.” Karena dianggap ”orang pemerintahan” beberapa peserta mengingatkan Rizal tentang perlunya pemerintah mengambil sikap tegas terhadap aspirasi-aspirasi sektarian yang mewabah di banyak daerah itu. Namun Rizal tetap mengingatkan pentingnya bersabar dan mempertimbangkan sensitivitas masalah secara lebih dalam. Menurutnya, ”Sejarah Indonesia modern adalah sejarah pemberontakan daerah-daerah. Karena itu, pemerintah juga harus lebih arif dalam menghadapi masalah seperti ini.”

Rizal kembali mengingatkan pentingnya tetap menghargai kompromi-kompromi sejarah yang telah dicapai para pendiri republik ini. Misalnya akomodasi terhadap paham negara ketuhanan, eksistensi depertemen agama, undang-undang perkawinan Islam, dan asistensi terhadap sekolah-sekolah agama. ”Kompromi-kompromi itu tetap penting,” kata Rizal, ”asal tetap dalam bingkai negara sekuler yang memisahkan wewenang agama dengan wewenang negara.”

Seakan menanggapi Rizal, pembicara terakhir, Syamsurizal Panggabedan justru banyak bercerita tentang kontradiksi-kontradiksi penerapan syariah di banyak negara Muslim. Berangkat dari itu, Panggabedan mengakui adanya keterbatasan kendali dan kontrol negara terhadap perikehidupan masyarakat. Menurutnya, ”Mungkin inilah masa ketika kita melihat Indonesia yang sebenar-benarnya; lengkap dengan segenap warna-warninya.”

Tapi Panggabean juga mengingatkan bahwa pengalaman Pakistan dan Sudan justru menunjukkan potensi dan kecenderungan disintegrasi yang salah satu akarnya berasal dari kontroversi penerapan syariah. Karena itu, peran negara dalam menjamin kemajemukan multukultural dan toleransi sangat diperlukan. ”Masalah seperti kekerasan keagamaan dan sektarian dapat timbul apabila peran negara dan sistem pemerintahan dalam mengelola konflik tidak berjalan atau berjalan dengan buruk,” pungkas Panggabean. Panggabean mengakui, tembok pemisah (the wall of separation) antara agama dan politik tidak pernah tampak nyata dalam praktik dan kenyataan negeri-negeri Muslim sebagaimana pengalaman negara-negara Eropa yang juga dihuni minoritas Muslim. Dalam kenyataan, agama selalu menyusup ke serangkaian dikotomi sekularisasi seperti soal private/public, social/political, political/moral, dan secular/religious.

”Memang tak gampang membendung beberapa aturan agama yang masuk akal untuk masuk ke sektor negara,” ujarnya. Di Turki, masyarakat Muslim menggunakan hukum resmi negara dan hukum Islam sekaligus di bidang kekeluargaan. Di Inggris, komunitas Muslim bisa menikah atau bercerai dua kali, melalui hukum resmi (negara) dan hukum Islam. Di Indonesia dan Pakistan, sudah ada hukum keluarga yang dijadikan ordonansi negara.

Dosen UGM itu juga yakin bahwa aturan-aturan agama yang tidak masuk akal tapi tetap dipaksakan masuk ke tingkat negara, tidak akan mengubah apa-apa. Dick tak banyak komentar setelah presentasi. Ia tampak lebih banyak ingin mendengar. Forum diskusi ditutup oleh semacam keyakinan bahwa sekularisme akan tetap aman dan tantangan-tantangan yang dihadapinya dewasa ini hanyalah fenomena sesaat saja.[Novriantoni]

Membaca Peta Industri Perbukuan Islam

19/03/2007

Dalam lima tahun terakhir, pameran buku-buku keislaman di Jakarta selalu lebih semarak daripada pameran buku lainnya. Itulah kesan saya ketika menyaksikan beberapa kali perhelatan Islamic Book Fair (IBF) di Istora Senayan Jakarta. Terakhir adalah Islamic Book Fair 2007 yang berlangsung 3-11 Maret lalu. Tidak hanya menjual buku, IBF tahun ini juga dimeriahkan serangkaian kegiatan bertajuk “Indahnya Syariah dalam Kehidupan”. Inilah memonetum tahunan tatkala semua penerbit buku-buku keislaman panen-raya, bahkan dapat menjual kembali stok lama dengan harga murah.

Namun beberapa alumnus UIN dan penulis muda yang saya temui punya kesan khusus terhadap IBF tahun ini. ”Terlalu banyak buku terbit, sangat sedikit yang bermutu,” demikian komentar salah seorang dari mereka. Komentar serupa tidak hanya saya dengar dari satu orang, tetapi hampir mereta di kalangan terdidik Islam yang gemar membaca dan menulis seperti alumnus UIN tadi.

Tingkatan Pembaca

Komentar tadi kontras dengan antusiasme sebagian besar pengunjung pameran yang tampak dahaga akan bacaan-bacaan Islam paling mendasar. Bagi ”pembaca pemula” itu, IBF adalah tempat menghilangkan dahaga akan bahan-bahan bacaan keislaman. Karena itu, komentar ”pembaca menengah-lanjut” bahkan ”pembaca kritis” seperti teman UIN tadi tak masuk dalam pertimbangan mereka dalam membeli buku.

Artinya, ada strata pembaca buku Islam yang jelas di tengah masyarakat Indonesia saat ini. Bagi pembaca pemula, yang penting adalah banyaknya stok buku-buku keislaman paling dasar dengan beragam coraknya. Untuk mereka, sedikit gombalan pada judul dan kulit sampul buku sudah cukup menarik minat untuk melihat dan mungkin membeli.

Industri perbukuan Islam untuk pembaca jenis ini memang berlimpah. Pihak pengelola industri perbukuan tahu betul bahwa masyarakat pembaca kita adalah pembaca pemula atau sedikit menapaki jenjang menengah-lanjut; belumlah pembaca kritis. Untuk itu, kebanyakan stok buku yang mereka sediakan terkhusus untuk segmen pasar masyarakat pemula itu.

Sementara pembaca kritis yang membaca untuk kepentingan referensi ilmiah ketika berdiskusi, berdebat, meresensi, atau menulis di media massa, belumlah sebanyak pembaca pemula tadi. Itu juga menggambarkan bahwa masyarakat kita belum masuk ke tingkatan masyarakat kritis-ilmiah yang butuh kajian mendalam dan kritis terhadap bahan-bahan dan sumber-sumber bacaan keislaman. Karena itu, wajar kalau teman pembaca-kritis tadi kecewa dengan sedikitnya stok buku kalangan mereka.

Peta Buku Islam

Di samping strata pembaca yang berbeda tadi, peta perbukuan Islam juga dapat digambarkan sesuai dengan segmen pembacanya. Sebatas pengamatan singkat saya, setidaknya ada tida kategori buku-buku keislaman yang tersedia di IBF kemarin. Pertama adalah stok buku-buku bercorak Islam Puritan/Radikal. Yang dimaksud buku Islam puritan/radikal adalah buku-buku dasar keislaman yang membicarakan Islam secara taken for granted.

Buku-buku jenis ini berusaha mengetengahkan Islam dalam bentuk yang dinggap atau dibayangkan paling murni dan otentik. Buku-buku daras yang dasar dan sederhana tentang fikih, teologi, akhlak, tasawuf, termasuk dalam jenis buku ini.

Salah satu karakteristik buku Islam puritan/radikal adalah usahanya yang sungguh-sungguh bahkan tanpa tedeng aling-aling menyajikan Islam yang dianggap murni dan otentik itu ke tengah kontradiksi dunia modern. Buku-buku jenis ini tak tertarik mendialogkan Islam dengan dunia modern, agama lain, sistem dunia baru, dan penemuan-penemuan mutakhir. Bahkan, pandangannya terhadap semua itu tampak negatif. Bagi buku jenis ini, yang positif adalah Islam yang mereka bayangkan dan ketengahkan, sementara lainnya adalah subordinasi atau inferior berhadapan dengan Islam.

Berada di tengah-tengah, buku-buku Islam Moderat/Akomodasionis justru berusaha menunjukkan keluesan Islam berhadapan dengan kompleksitas dunia modern. Sembari menjalankan misi itu, buku-buku jenis ini coba mendialogkan ajaran dan nilai-nilai keislaman agar tak tampak berbenturan dengan nilai, budaya, dan peradaban modern. Buku jenis ini juga sudah menampakkan niat untuk melakukan perjumpaan dengan agama dan nilai-nilai lain sembari tetap menekankan bahwa Islam tidak kalah apiknya dibandingkan agama dan nilai-nilai peradaban modern itu.

Pada tingkatan praksis, buku-buku jenis ini tampil membela nilai-nilai keislaman yang pakem dan lama sambil berusaha mencocokkannya dengan kondisi dunia modern. Buku-buku ini misalnya membahas soal jilbab trendy, gaulnya muda-mudi Islam, pesona Islam di Barat, kemungkinan perbankan dan psikologi Islam, motivasi-diri bercorak Islam, dan lain sebagainya.

Pendek kata, buku jenis ini tak membuat pembacanya harus memilih dua kutub ekstrem antara nilai-nilai Islam yang terkadang sudah balia dengan dunia modern yang dianggap durjana. Pembaca diajak untuk tetap berislam dengan pendekatan yang berbeda agar mereka tetap dapat tune in dengan kompleksitas kehidupan dunia modern.

Sementara untuk pembaca lanjut dan kritis, buku-buku Islam Progresif/Liberal juga tersedia dengan segala keterbatasan jumlahnya. Beberapa penerbit progresif/liberal tetap menyediakan jenis-jenis buku keislaman yang kritis, ilmiah, dan progresif. Dulu, selain terkesan moderat dan akomodasionis, Penerbit Mizan dan Paramadina adalah penerbit garda terdepan dalam memasok buku-buku jenis ini. Tapi kini, yang tampak memimpin adalah Penerbit Serambi yang semarak dengan buku-buku fiksi maupun nonfiksi progresif/liberalnya.

Salah satu karakteristik jenis buku Islam progresif/liberal ini adalah usahanya untuk tidak hanya mengetengahkan Islam secara sederhana dan urakan, tapi lebih kritis, ilmiah, dan multidimensional. Soal-soal mendasar dalam Islam misalnya, disajikan dengan perspektif baru yang kritis dan ilmiah. Di sini mulai ditemukan buku-buku yang membahas Islam dari perspektif perempuan, bermuatan kritik atas klaim-klaim keislaman yang dianggap mapan, sembari menampilkan cara baru dalam melihat Islam.

Persengketaan politik pada awal Islam misalnya, tak hanya dilihat dari sisi teologisnya an sich tapi juga menggunakan analisis sosial dengan memasukkan unsur-unsur dan faktor-faktor nonteologis yang memengaruhi konflik. Buku-buku terbitan LKiS, terutama hasil terjemahan dari beberapa pemikir Islam progresif/liberal dari Timur Tengah maupun Barat adalah contohnya.

Beberapa buku Mizan juga masuk jenis buku yang progresif/liberal. Penerbit Serambi, tak pelak lagi telah mengetengahkan banyak buku jenis ini. Tengoklah buku-buku karangan Tariq Ali, Fadwa el-Gundie, Khaled Abou El Fadl, untuk menyebutkan beberapa, dan buku-buku fiksi terbitan Serambi. Semuanya mampu memuaskan dahaga kalangan pembaca kritis-profesional-terpelajar-Islam.

Quo Vadis Buku Islam Progresif/Liberal?

Yang menarik dalam industri perbukuan Islam saat ini adalah kontestasi di kalangan penerbit Islam sendiri untuk merebut segmen pasar yang tersedia dari beragam tingkatan pembaca tadi. Perebutan pada segmen pembaca pemula dan menegah-lanjut mungkin termasuk yang paling sengit. Ini mengingat banyaknya penerbit yang tak mau ambil risiko dengan mengais segmen pembaca kritis yang konon hanya sejumput.

Namun begitu, segmen pembaca kritis Islam tak mungkin statis dan tidak dapat berkembang. Saya mengasumsikan strata pembaca buku Islam tidak hanya akan terpaku pada tingkatan pemula saja. Kalau harga buku semakin terjangkau dan tingkat perekonomian bangsa makin membaik, peningkatan segmen pembaca menengah-lanjut dan kritis mungkin tak akan terbendung. Di saat itulah penerbit buku-buku Islam progresif/liberal tidak perlu berkecil hati, tampak lesu dan lusuh lagi. Semoga ini bukan sekadar harapan.[Novriantoni]

Mendaku Kebenaran Mutlak

05/02/2007

Seorang khatib, Jum’at itu “menyihir” jemaahnya. Dengan yakin, dia menegaskan bahwa krisis banyak segi yang dialami bangsa ini, akan impas kalau kita mengamalkan sebuah hadits. Di antara penggalan hadis yang dia sebutkan adalah soal ‘adâlat al-hukkâm (keadilan para penguasa), amânat al-tujjâr (kejujuran para pebisnis), dan washiyyat al-ulamâ’ (kegemaran mendengarkan petuah para ulama dan cerdik cendikia).

Khatib itu lalu bicara panjang lebar tentang banyak hal: ilmu, budaya, politik, ekonomi, dan etika. Tak ada yang salah dari khutbah yang saya rasa dangkal tapi melebar itu, kecuali simplifikasinya yang berlebihan. Saya melihat banyak sekali jemaah yang “terbius” saat itu.

Tapi rupanya, seorang jemaah di samping saya tak tahan untuk tidak menggerutu. Dia tak “terbius” oleh petuah sang khatib. Menurut hadis, salat Jum’atnya tentu laghâ (sia-sia), karena sudah bercakap-cakap, bahkan menggerutu saat khatib sedang menyampaikan pesan-pesan takwa. Saya tak tahu, siapa yang akan memikul dosa kesia-siaan itu: jemaah itu atau khatib yang “kaya ilmu” tadi.

Peristiwa itu menyisakan kegelisahan dalam diri saya seusai salat Jumat. Ada permasalahan mendasar yang dihadapi juru dakwah kita pada umumnya. Dalam kasus tadi, masalahnya berbentuk simplifikasi atau menggampang-gampangkan permasalahan yang sebetulnya tidak gampang. Sebatas itu, mungkin masih bisa dimaklumi.

Yang paling parah adalah lanjutan dari simplifikasi itu: perasaan telah mendaku kebenaran mutlak saat mendiagnosis dan memberi solusi atas problem-problem sosial-kemasyarakatan. Betul, sang khatib mungkin berniat baik dan merasa telah menunaikan tugas untuk menyampaikan pesan-pesan yang luhur. Hanya saja, dia lupa bahwa kenyataan hidup lebih rumit dari yang dia bayangkan. Dia telah terjebak dalam kemutlakan. Karena itu, wajar bila jemaah di samping saya kesal akan “kepintaran” sang khatib.

Kita tahu, dalam Islam ada anjuran untuk selalu berburu kebenaran. Dalam sebuah hadis, bahkan Nabi menyebut bahwa kebenaran/wisdom/kebijaksanaan sebagai barang tercecer (dlâllat) yang perlu dipungut setiap Muslim. Dalam konsep Islam, pemilik kebenaran mutlak hanyalah Tuhan semata. Karena itu, dalam bahasa Arab, Tuhan sering juga disebut al-Haqq: Yang Mahabenar, kalau bukan kebenaran itu sendiri.

Sementara manusia, paling banter hanya sampai pada percikan-percikan kebenaran. Namun, itu bukan berarti manusia tak akan pernah sampai pada kebenaran sama sekali. Mungkin sekali manusia sampai pada kebenaran, tapi kebenaran yang dicapai manusia adalah kebenaran yang nisbi, bukan kebenaran yang mutlak.

Hemat saya, kebenaran yang nisbi itu lebih baik bagi pengelolaan hidup manusia yang beradab karena dapat didiskusikan, diinterupsi, dievaluasi, dan dikoreksi.

Tapi dalam kenyataannya, manusia selalu punya kepentingan untuk mendaku kebenaran mutlak Tuhan dengan pelbagai motifnya. Dalam masyarakat yang taat beragama, itu berfungsi agar orang taat juga pada mereka yang mendaku kebenaran Tuhan tadi.

Tapi bagi saya, jika ada manusia yang berkata telah sampai pada kebenaran mutlak, sesungguhnya dia sedang berbohong. Sebab, filosof-filosof besar sekalipun hanya menyebut diri mereka sebagai muhibbul hikmah alias pencinta kebenaran, bukan pemilik kebenaran. Sang khatib tadi mungkin lupa atau akan hal itu.[Novriantoni]

Jihad: Bunuh Diri Keren?

20/11/2006

Kalau benar hasrat ”bunuh diri keren” adalah motif M. Nuh saat meledakkan Restoran A&W di Plaza Karamatjati, maka sejak kini kita harus lebih waspada berbicara tentang jihad dan ajakan-ajakan yang tampak luhur tapi bisa berakibat destruktif. Di media disebutkan, M. Nuh alias Olid ingin berjihad; yang dianggap sebagai bentuk bunuh diri yang lebih keren. Oalah…!

Banyak yang keberatan jika hasrat berjihad dianggap pemicu tindak destruktif. Faktanya, banyak santri yang sudah ratusan kali membaca ayat-ayat jihad dan keutamaanya tapi tak tergiur untuk ngebom. Sudah lama pula para ulama menerangkan kalau bunuh diri merupakan tindakan tercela dan dosa besar yang dilarang agama.

Kaidah fikihnya sudah jelas: la dlarara wa la dlirâra. Islam tidak membenarkan upaya mencelakan diri, apalagi mengikut-sertakan orang lain. Ada juga banyak landasan Qur’anik yang melarang bersengaja mencelakan diri sendiri atau orang lain.

Karena itu, meski beban hidup sangat tinggi, tingkat bunuh diri di masyarakat Islam termasuk rendah, bahkan bila dibandingkan dengan masyarakat yang lebih makmur. Kecilnya angka bunuh diri itu, salah satunya oleh kurangnya dukungan kultural (termasuk pembenaran agama) terhadap bunuh diri berbentuk apapun.

Namun belakangan, ulama Islam suka membedakan bunuh diri dengan tindakan syahid. Mayoritas ulama Saudi memang keberatan menyebut aksi bom bunuh diri sebagai aksi syahid (`amaliyyah istisyhâdiyyah). Mereka menamakannya `amaliyyah intihâriyyah atau aksi bunuh diri sia-sia. Tapi, ulama seperti Yusuf al-Qardlawi, cenderung menunjukkan pembenaran politis atau taktis-strategis, kalau bukan teologis.

Kedua pendapat tersebut sama-sama dikritik. Yang tak membenarkan dituduh tak punya empati, khususnya terhadap para pelaku bom bunuh diri dari kalangan lemah seperti rakyat Palestina.

Yang membenarkan juga dikritik tak kalah pedasnya, terutama karena kini bom bunuh diri sudah menjadi tren dan menu harian rakyat Irak. Al-Qardlawi misalnya, bekali-kali dikecam tak bertanggungjawab, lempar batu sembunyi tangan. Fatwa-fatwanya dituduh ikut mendongkrak pesona tsaqâfatul intihâr atau budaya bunuh diri di dalam masyarakat Islam.

Di tengah perdebatan itu, tentu tak ada yang tahu pasti nasib para pelaku bom bunuh diri yang mati di pengadilan Ilahi. Dia saja yang menentukan apakah mereka syahid (dan pantas diganjar pahala setimpal), atau pecundang pemangku dosa besar (karena merenggut nyawanya sendiri, dan juga nyawa orang lain).

Namun tetap penting mengetahui berbagai pendapat tentang bunuh diri. Studi klasik sosiolog Prancis, Emile Durkheim (1858-1917) tentang tipe-tipe bunuh diri, mungkin perlu dirujuk. Dalam Suicide (1897), Durkheim membagi bunuh diri ke dalam empat tipe, yaitu egoistik, altruistik, anomik, dan fatalistik.

Bunuh diri egoistik merupakan pilihan individu yang disebabkan rendahnya tingkat perbaurannya dengan masyarakat. Kebalikannya, bunuh diri altruistik justru didorong terlalu dalamnya perbauran pelaku dengan masyarakat. Pelaku merasa, ia bunuh diri demi orang lain atau masyarakat yang lebih luas seperti dalam film Paradise Now (2006).

Yang anomik terjadi ketika munculnya kesenjagan atau ketidaksesuain antara norma sosial dan hukum yang berlaku dalam masyarakat dengan tujuan hidup individu. Sebaliknya, yang fatalistik terjadi ketika aturan-aturan sosial justu tidak memberi ruang bernafas yang cukup bagi keberadaan individu. Mengakhiri hidup, dengan demikian dipilih untuk lepas dari aturan.

Kita belum tahu, ke dalam tipe manakah percobaan M. Nuh bisa digolongkan. Konon, ia hanya mencari kekerenan cara dalam membunuh diri. Yang penting bagi kita adalah pilihan saat ini dalam berwacana. Ketika kita masih bermain-main dengan wacana jihad, mungkin akan masih ada saja ”orang-orang rapuh” yang sedia mengamalkannya secara serampangan.

Pilihan wacana kita mungkin akan menentukan apakah dunia akan lebih tentram atau menjadi neraka jahanam. [Novriantoni]

Hamparan Makrifah dalam al-Futuhat al-Makkiyyah

16/10/2006

Pada sesi kedua Tadarus Ramadan tentang pemikiran Ibn Arabi, Jaringan Islam Liberal (JIL) menelaah kitab terbesar Ibn Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah (Inspirasi-Inspirasi dari Mekah). Tadarus Selasa lalu itu (3/10), menghadirkan KH Said Agil Siraj (Ketua PBNU), Syafiq Hasyim (Deputi Direktur International Center for Islam and Pluralism) dan Zainul Ma’arif (alumnus Universitas al-Azhar yang menjadi peneliti di Puan Amal Hayati). Diskusi dipandu Novriantoni dari JIL. Berikut reportasenya.

***
***

Murcia, Andalusia, 1198 M. Filosof sufi, Ibn Arabi bermimpi melihat seekor burung yang seakan-akan menitahkannya untuk merantau meninggalkan kampung halaman. Burung itu terbang di atas Arasy yang konon merupakan singgasana tempat Tuhan bertahta. Disertai empat pilar cahaya, ia dengan secepat kilat menuntun Ibn Arabi menuju arah timur dunia Islam.

Sejak saat itu, dalam umur tiga puluh, Ibn Arabi mulai melanglangbuana menuju pelbagai belahan dunia, termasuk ke kota Mekkah. Di sanalah ia menghasilkan garis besar mahakaryanya, al-Futuhat al-Makkiyyah (selanjutnya disebut Futuhat saja). Namun Futuhat dalam bentuknya yang utuh baru dirampungkannya tiga puluh tahun kemudian di Damaskus, tempat ia meninggal dunia (638 H/1240 M).

Tapi, bukan sekadar mimpi yang membawanya pergi. Ia juga bulat tekad angkat-kaki dari ibu pertiwi karena kondisi sosial-politik yang sedang tak menentu di kawasan Magribi Islam (Andalusia dan Afrika Utara) kala itu. Dalam suasana kacau dan nuansa senjakala peradaban Islam Andalusia, kebuntuan, kekakuan, dan fanatisme-sempit adalah ciri khas pemikiran kaum ulama eksoterik.

Mereka itulah yang disebut Ibn Arabi sebagai kaum formalis (ulamâ’ur rusum) yang tambah menjadi-jadi menguasai kehidupan sosial-politik-keagamaan. Bagi filosof sufi yang berimajinasi tinggi seperti Ibn Arabi, sudah pasti tak tersisa lagi ruang untuk mengemukakan pandangan-padangannya yang esoterik tentang Islam. Mereka lebih suka hal-hal yang tersurat dari agama, terutama yang termaktub dalam kitab suci, sementara Ibn Arabi tak pernah henti menyelami apa yang tersirat atau disiratkan Tuhan di dalam lembaran-lembaran kitab suci agama.

Zainul Ma’arif dalam makalahnya menggambarkan kondisi kepengarangaan Ibn Arabi sedemikian rupa. Dunia Islam kala itu memang sedang bergejolak. Di bagian Barat, Dinasti Mohad atau kaum Muwahhidun mulai merenta di bawah pemimpinan Muhammad an-Nasir (610 H). Di Timur, kekacauan serupa juga tak kurang gawatnya. Lebih dari 100 tahun, Perang Salib telah berhasil menyulut kebencian yang panjang dan telah pula merenggut banyak nyawa. Di Bagdad, pasukan Mongol menghancurkan Dinasti Abbasiah dan membumihanguskan kota Bagdad. Dalam kondisi demikian, oleh para pengagumnya, Futuhat Ibn Arabi dianggap sebagai ”suluh penerang kegelapan yang mengungkung umat Islam”.

Lepas dari penilaian yang agak berlebihan itu, Futuhat memang sebuah adikarya, baik dari sisi kualitas isi maupun kuantitas halamannya. Kitab ini tak kurang dari 560 bab yang terbagi 6 pasal. Pasal pertama bicara tentang macam-macam jenis pengetahuan (al-ma’ârif); kedua tentang model-model tindakan atau hubungan sosial (al-mu`âmalat); ketiga soal kondisi-kondisi spiritual (al-ahwâl); keempat mengenai titik-titik menetesnya spiritualitas (al-manâzil); kelima tentang titik-titik perjumpaan spiritual antara Tuan dan hamba (al-munâzalat); dan terkahir tentang tingkatan-tingkatan spiritualitas (al-maqâmat).

Namun dari begitu luasnya bidang bahasan Ibn Arabi, Zainul fokus menjawab soal apakah gagasan-gagasan Ibn Arabi mengandung semangat liberalisme keagamaan? Tak tegas betul jawaban Zainul. Namun ia memberi beberapa sinyal bahwa sebagian gagasan Ibn Arabi telah memuat seperangkat nilai dan ajaran yang dimuliakan para pemikir liberal sekarang, baik di Barat maupun di Timur. Ibn Arabi setidaknya telah mengakui (1) hak dan kebebasan tiap-tiap individu dalam berpikir dan berkeyakinan; (2) relativisme, inklusivisme, dan pluralisme kebenaran; (3) esoterisme atau pementingan sisi batin agama; (4) toleransi agama; dan (5) pemihakan kalangan minoritas dan kaum tertindas.

Sementara itu, Syafiq Hasyim memaparkan makalah tentang pembagian ilmu menurut Ibn Arabi, hubungan manusia dan alam, manusia dan citra Ilahi, Nabi dan wali; hakikiat dan syariat. Tapi Syafiq mengakui bahwa Futuhat bukanlah karya yang mudah ditangkap maksudnya. Ia mengaku sangat terbantu oleh buku Nasr Hamid Abu Zayd, Falsafatut Ta’wil `Inda Ibn Arabi (Filsafat Takwil Ibn Arabi) dalam memahami Futuhat. ”Untung ada buku pintar ini, sehingga pemikiran Ibn Arabi dalam Futuhat lebih gampang dimengerti,” jelas Syafiq.

Dari pemaparan dua pembicara tadi, peserta diskusi tampaknya masih penasaran tentang apa sebenarnya yang diinginkan Ibn Arabi dengan Futuhat. Mereka yang mengikuti sesi tentang Fushûsul Hikam segera tahu bahwa Ibn Arabi ingin mengungkap dimensi hikmah atau kebijaksanaan yang terkandung dalam kisah-kisah kerasulan mulai dari Adam sampai Muhammad. Tapi Futâhat?

Oleh sebagian orang, Futuhat memang dianggap Injîl al-Islâm al-bâthini atau ”kitab suci para penganut Islam esoterik”. Namun para pengkaji ilmiah kitab ini hanya menyebutnya gudang (mustauda’) segenap perhimpunan pengetahuan dan kebijaksanaan yang dimiliki Ibn Arabi. Sebagai karyanya yang terbesar, Futuhat juga memuat beberapa bagian dari kitabnya yang lain. Beberapa penggal puisi cinta Ibn Arabi dalam Tarjumanul Asywâq (Ungkapan Kerinduan) dan intisari ajaran hikmahnya di Fushus, juga termaktub dalam kitab ini.

Berhubung tak semua yang dituliskan Ibn Arabi gampang dimengerti, pembicara ketiga, KH Said Agil Siraj sengaja bicara terfokus pada inti pokok ajaran Ibn Arabi tentang wahdatul wujûd atau kesatuan wujud/eksistensi. Dengan gaya tutur yang penuh canda dan guyonan-guyonan segar, gagasan-gagasan Ibn Arabi mampu diurai Agil dengan urat syaraf peserta diskusi yang relatif sudah mengendor.

”Tasawuf bukan akhlakul karimah, bukan memperbanyak ibadah, bukan pula perdukunan,” gebrak Agil di awal pembicaraannya. ”Tasawuf yang hakiki hanya ada di tasawuf falsafi,” tegasnya. Namun ia tidak menafikan kegunaan apa-apa yang dianggapnya bukan benar-benar tasawuf tadi. Semua itu ada kegunaan masing-masing. ”Tapi kalau hendak bicara soal sufisme secara mendalam, mari bicara soal tasawuf falsafi,” ajaknya.

Di tengah tatapan peserta yang sudah segar dan antusias, Agil membedakan antara sufi, mutashawwif, dan guru tasawwuf. Sufi merupakan orang yang hidupnya sarat dengan refleksi-refleksi filosofis dalam melihat alam dan wujud, seperti Ibn Arabi. Sementara mutashawwif adalah orang yang belajar tasawwuf. Dan guru tasawuf, tak lain para pengajar tentang sufisme. ”Ya, seperti Pak Kautsar inilah!” canda Agil sambil menunjuk Dr. Kautsar Azhari Noer, pengajar mistisisme Islam di UIN Jakarta yang hadir juga sebagai peserta.

Said Aqil memang bintang malam itu. Ia mapu mengurai hal-hal yang ruwet dari Ibn Arabi menjadi sangat sederhana. Mungkin karena topik ini memang ”makanan” dia sejak lama. Disertasi doktornya di Universitas Ummul Qura, Arab Saudi, memang telah membahas soal tasawuf falsafi, dengan judul al-Insân wa Shillatuhu bilLâh `indat Tashawwuf al-Falsafi (Hubungan Manusia dan Tuhan dalam Tasawuf Falsafi). Karena itu, Agil mampu memberi penjelasan yang sangat gamblang tentang dasar penting pemikiran Ibn Arabi, yaitu konsep wahdatul wujud.

Dengan menggunakan papan tulis dan banyolan-banyolan, Agil membuat bagan tentang konsep wahdatul wujud Ibn Arabi. ”Kalau sama saya, sepuluh menit langsung ngerti,” klaim Agil. Dan betul saja, para peserta tampak cukup mengerti dengan bagan yang digambarkan Agil. Ia berhasil menerangkan bagaimana yang banyak timbul dari Yangsatu, proses yang fana berkembang dari Yangkekal, dan konsep-konsep tasawuf falsafi lainnya. ”Yang ada banyak, tapi yang wujud cuma satu,” terang Agil.

Namun yang tak kalah menariknya dari paparan Agil malam itu adalah upayanya memotret semacam gagasan Ibn Arabi di tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama kalangan ulamanya. Agil menunjukkan bahwa gagasan apapun punya sayapnya sendiri. Namun, gagasan-gagasan mistisisme di Indonesia juga bisa berkembang dengan sendirinya, baik dengan asupan gagasan dari luar, atau hasil refleksi lokal para sufi Indonesia sendiri. [Novriantoni]

Mempertimbangkan Ulang Orientalisme

Pekan ini (21/12), Jaringan Islam Liberal menggelar diskusi tentang Islam dan Orientalisme. Diskusi ini penting diadakan untuk meninjau, mengkritik, serta mengapresiasi kembali kajian-kajian orientalisme yang kaya itu, terutama dalam bidang doktrin dan peradaban Islam. Rasanya, sayang betul bila hasil kajian yang bersungguh-sungguh dan mendalam tentang Islam itu dibuang begitu saja, hanya karena kita sudah terjebak dalam pandangan yang pejoratif dan simplistik tentang orientalisme.

Terasa lebih sayang lagi bila kita mengabaikan kajian-kajian orang di luar kita hanya karena alasan-alasan ideologis dan psikologis, bukan karena alasan ilmiah. Penolakan ideologis atas orientalisme sampai kini sangat dipengaruhi oleh kritik-kritik intelektual semacam Anwar Abdul Malik (1963), Hisyam Jaid (1978), Edward Said (1978), dan Hassan Hanafi (1981) tentang keterkaitan orientalisme dengan proyek kolonialisme. Kritik semacam ini, kini sudah sepantasnya ditinjau ulang secara kritis.

Sementara penolakan yang bersifat psikologis datang dari kalangan agamawan dalam wujud buku-buku apologis seperti al-Islam wal Mustasyriqun (Islam dan Kaum Orientalis) karangan Mushtafa Sibai, al-Istisyraq wal Mustasyriqun (Orientalisme dan Kaum Orientalis) karangan Abdul Jalil Syalabi, al-Fikrul Islami wa Shillatuhu bil Isti`maril Gharbi (Pemikiran Islam dan Hubungannya dengan Penjajahan Barat) karangan Muhammad al-Bahi.

Mereka-mereka yang disebut belakangan ini mengeritik orientalisme bukan karena tesis-tesis para orientalis itu tidak lebih akurat dibandingkan antitesis mereka, tapi tak jarang justru karena mereka memang sedari awal tidak ingin mendengar pendekatan kritis dan ilmiah apapun terhadap agama. Terlebih bila kritik itu datang dari luar Islam. Padahal, faktanya tak jarang pengkajian ilmiah atas Islam yang dilakukan oleh kalangan orientalis jauh lebih bersungguh-sungguh dan bermutu dibandingkan kajian mereka yang hanya bersikap reaktif saja.

Tapi sebetulnya, sejarah tanggapan yang reaktif, baik yang bersifat psikologis maupun ideologis terhadap orientalisme, baru berkembang di dunia Arab setelah tahun 1960-an. Sebelum 1960-an, reaksi terhadap orientalisme jauh lebih berbobot dan cukup positif. Jajaran intelektual Mesir di eranya yang liberal, lebih terbuka dalam proses berdialog dan berdebat dengan kalangan orientalis. Bahkan, mereka memberi tempat yang proporsional bagi beberapa pemuka orientalis untuk melakukan kajian yang ilmiah terhadap dunia Timur, terutama tentang Islam.

Universitas Mesir yang kini menjadi Universitas Kairo, sebelum tahun 1960-an sempat menjadi tempat berkarir beberapa orientalis ternama seperti Arthur John Arberry, Ignaz Goldziher, Joseph Scacht, dan Louis Massignon. Tidak hanya melakukan respons yang positif, benih oksidentalisme pun sudah mulai disemai oleh kalangan intelektual semacam al-Thahtawi, Thaha Hussein, Amir Syakib Arsalan, Ali Abdul Raziq, Qasim Amin, dan sedikit-sedikit Muhammad Abduh.

Yang dimaksud benih-benih oksidentalisme di sini adalah respons yang alamiah tatkala intelektual dunia Timur juga melakukan kajian-kajian tentang peradaban Barat—sebagaimana orang Barat melakukannya terhadap Timur—dengan segenap kelebihan dan kekurangannya. Di samping telah menunjukkan semangat keterbukaan dan ilmiah untuk memahami orang lain, apa yang mereka lakukan juga menunjukkan bahwa dialog antarperadaban dan antarkebudayaan mungkin dilaksakan dengan cara-cara yang beradab dan ilmiah.

Kalau merujuk ke masa itu, tampak bahwa kecenderungan hitam putih ala Saidisme (merujuk ke Edward Said) dan Sibaisme (merujuk ke Musthafa Sibai) dalam memandang orientalisme, kini sudah tidak banyak gunanya lagi. Sebab konsekuensinya, kita akan dipaksa untuk mengabaikan banyak kajian dan temuan berharga dari kalangan orientalis (lama maupun baru) yang ikut menyumbangkan proses pengayaan khazanah kebudayaan kita, paling tidak dari segi literatur dan pemikiran.

Para intelektual Barat yang telah menghasilkan karya-karya keislaman bermutu seperti Philip K Hitti, Albert Hourani, William Montgomerry Watt, George Abraham Makdisi, Karen Armstong, Annemarie Scimmel, Henri Corban, Lapidus Ira, Sachiko Murata, William C. Chittick, untuk menyebut sebagian, sangat mubazir dilewatkan sumbangan pemikiran mereka bagi dunia kita.

Untuk itu, alih-alih bersikap emoh dan bermusuhan terhadap orientalisme, kita justru harus lebih waspada terhadap ideologi Saidisme dan Sibaisme. Kewaspadaan itu sangat kita perlukan demi memperkaya pehamahan kita tentang diri dan kebudayaan kita, walau lewat sudut pandang orang lain.[Novriantoni]